Kirana Aulia, seorang asisten junior yang melarikan diri dari tekanan ibu tirinya yang kejam, tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan pahit, ia hamil setelah insiden satu malam dengan CEO tempatnya bekerja, Arjuna Mahesa.
Sementara Kirana berjuang menghadapi kehamilan sendirian, Arjuna sedang didesak keras oleh orang tuanya untuk segera menikah. Untuk mengatasi masalahnya, Arjuna menawarkan Kirana pernikahan kontrak selama dua tahun.
Kirana awalnya menolak mentah-mentah demi melindungi dirinya dan bayinya dari sandiwara. Penolakannya memicu amarah Arjuna, yang kemudian memindahkannya ke kantor pusat sebagai Asisten Pribadi di bawah pengawasan ketat, sambil memberikan tekanan kerja yang luar biasa.
Bagaimana kelanjutannya yukkk Kepoin!!!
IG : @Lala_Syalala13
FB : @Lala Syalala13
FN : Lala_Syalala
JADWAL UPLOAD BAB:
• 06.00 wib
• 09.00 wib
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lala_syalala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IKSP BAB 1_Tahta Dingin Sang Pewaris
Aula utama PT. Mahardika Jaya Nusantara (MJN) terasa dingin dan sunyi, meskipun dipenuhi ratusan pasang mata yang menatap ke atas panggung.
Aroma karpet mahal dan krisan yang baru dipotong mendominasi udara, berpadu dengan ketegangan yang menggantung layaknya asap.
Hari ini adalah hari penyerahan tongkat kekuasaan, sebuah momen monumental yang telah dinanti-nantikan oleh para pemegang saham, dewan direksi dan seluruh karyawan selama tiga tahun.
Di tengah panggung yang diterangi sorot lampu studio, berdiri tiga sosok yang menjadi inti dari drama korporat ini.
Di sisi kiri, Bapak Harun Mahesa, pendiri dan CEO legendaris MJN, sosok yang dikenal dengan ketajaman visi dan tangan besinya.
Di sisi kanan, Ibu Laksmi, sang istri, yang matanya menyimpan kekhawatiran yang hanya bisa dipahami oleh seorang ibu.
Dan di tengah, berdiri tegak, dalam balutan setelan jas abu-abu arang yang dijahit khusus, adalah Arjuna Mahesa.
Arjuna. Nama yang secara harfiah berarti ksatria yang tak terkalahkan. Namun, di bawah lampu yang menyilaukan itu, ia tampak seperti patung yang diukir dari es.
Wajahnya yang tampan dan tegas tidak menunjukkan sedikitpun emosi, seolah-olah ia sedang menghadiri rapat dewan biasa, bukan penobatan dirinya sebagai pemimpin perusahaan senilai triliunan rupiah.
Harun Mahesa, yang rambutnya telah memutih seiring berjalannya waktu, melangkah maju ke podium. Suaranya masih menggelegar, namun ada nada melankolis yang sulit disembunyikan.
“Tiga puluh tahun yang lalu, saya memulai Mahardika dari nol. Hari ini, ia berdiri tegak sebagai pilar industri kita. Saya bangga dengan apa yang telah saya capai, namun saya tahu, masa depan membutuhkan energi dan pemikiran baru,” ujar Harun, jeda sejenak untuk menatap putranya.
“Maka, dengan ini, saya resmi menyerahkan jabatan Chief Executive Officer PT. Mahardika Jaya Nusantara kepada putra saya, Arjuna Mahesa.”
Tepuk tangan bergemuruh, namun Arjuna tidak bergerak. Ia menunggu hingga tepukan itu mereda, kembali pada keheningan yang tebal, sebelum ia akhirnya maju. Ia menyambut mikrofon dengan gerakan yang tenang dan terukur, bahkan terkesan kaku.
"Terima kasih, Bapak Harun Mahesa," ucap Arjuna, suaranya dalam dan berwibawa, memotong keheningan seperti pisau.
"Ini bukan sekadar serah terima jabatan, melainkan penyerahan tanggung jawab besar yang dibangun dengan keringat dan dedikasi. Saya mengapresiasi warisan yang Bapak tinggalkan."
Ia memindai ruangan itu dengan tatapan mata elangnya, tatapan yang mampu membuat para eksekutif senior, yang usianya dua kali lipat darinya, merasa seperti pegawai magang yang baru masuk.
"Dalam tiga tahun terakhir, saat menjabat sebagai Chief Operating Officer, saya telah melakukan studi mendalam mengenai peluang dan tantangan Mahardika di era digital ini. Visi saya jelas: membawa Mahardika melampaui batas yang ada. Kita akan melakukan efisiensi, menerapkan inovasi disruptif, dan, yang paling penting," ia berhenti, menekankan kata-kata berikutnya, "kita akan menghilangkan elemen yang tidak produktif dan menghambat laju perusahaan."
Pernyataan itu terdengar seperti ancaman halus. Beberapa wajah di barisan depan terlihat pucat. Mereka tahu, di balik wajah dingin Arjuna, ada kecerdasan taktis yang luar biasa, didukung oleh gelar MBA dari Harvard dan pengalaman memimpin anak perusahaan di luar negeri. Ia bukan CEO yang akan duduk manis menikmati warisan. Ia adalah revolusioner.
"Pergantian kepemimpinan ini akan menjadi awal dari reformasi total," lanjutnya.
"Saya tidak menoleransi kemalasan, kelalaian, atau ketidakmampuan beradaptasi. Saya meminta dedikasi 100% dari setiap individu di sini. Jika Anda tidak siap berlayar di kapal ini dengan kecepatan maksimal, pintu keluar terbuka lebar."
Pidato itu singkat, tajam, dan tidak mengandung basa-basi sama sekali, jauh berbeda dengan gaya Harun Mahesa yang hangat. Ini adalah show of force pertama Sang CEO baru. Ia telah menetapkan standar: Dingin. Profesional. Tak Tergoyahkan.
Setelah acara resmi selesai, Harun Mahesa mendekati Arjuna di belakang panggung.
“Pidato yang bagus, Nak. Sedikit terlalu tajam, tapi… efektif,” kata Harun sambil menepuk bahu putranya.
Arjuna hanya mengangguk, tanpa senyum. “Saya hanya menyampaikan fakta, Papa. Perusahaan ini terlalu gemuk dan terlena dengan zona nyaman.”
“Aku tahu, tapi jangan terlalu keras pada dirimu sendiri juga. Cobalah sesekali untuk menikmati hidupmu. Malam ini… setelah pesta perayaan, mengapa tidak bersantai? Pergi keluar, bertemu orang baru.”
Arjuna menghela napas, gestur yang jarang ia tunjukkan.
“Saya tidak punya waktu untuk hal-hal tidak penting, Pa. Ada tiga proposal merger yang harus saya pelajari, dan saya ingin jadwal rapat direksi pertama saya besok pagi jam delapan.”
Laksmi, yang datang mendekat, menggenggam tangan putranya.
“Sayang, Papa benar. Kamu baru saja menjabat. Kamu perlu istirahat. Mama ingin kamu bahagia, bukan hanya sukses.”
Arjuna menatap lembut pada ibunya, satu-satunya orang yang mampu melunakkan ekspresinya.
"Saya akan istirahat, Ma. Setelah Mahardika menjadi nomor satu di Asia."
Ia memberikan ciuman di dahi ibunya, jabat tangan formal pada ayahnya, dan kemudian berbalik. Ia tidak perlu lagi merayakan. Baginya, satu-satunya perayaan adalah melihat angka-angka di laporan keuangan menunjukkan warna hijau cerah.
Dua jam kemudian, Arjuna sudah berada di lantai paling atas, di ruang kerjanya yang baru, yang kini berhak ia sebut 'kantor CEO'. Ruangan itu luas, dengan jendela kaca setinggi langit-langit yang menawarkan panorama kota metropolitan yang membentang hingga cakrawala. Namun, matanya tidak tertarik pada pemandangan tersebut. Ia lebih tertarik pada tumpukan map dan tablet yang sudah menunggunya di meja kayu mahoni.
“Pak Arjuna,” suara dari pintu menarik perhatiannya. Itu adalah Bayu, Kepala Staf Khusus yang telah mendampingi Arjuna sejak ia kembali dari luar negeri. Bayu adalah pria cerdas, patuh, dan yang paling penting, mampu mengikuti ritme kerja Arjuna yang gila.
“Ya, Bayu?”
“Semua jadwal sudah saya reschedule sesuai permintaan Bapak. Untuk rapat direksi, saya sudah siapkan agenda yang Bapak coret-coret tadi malam. Dan ini, file mengenai performa departemen Marketing tahun ini. Bapak Harun ingin Bapak memprioritaskan ini.”
Arjuna mengambil map itu, jarinya mengetuk sampulnya. "Bagaimana dengan kepala departemennya? Apakah dia sudah sadar bahwa era berleha-leha sudah berakhir?"
"Kepala Marketing, Bapak Wibowo, sedang sakit. Dokter memintanya untuk bed rest dua minggu. Jadi, sementara ini, operasional dipimpin oleh asisten senior."
"Siapa?"
"Bapak Bima. Tapi…" Bayu ragu-ragu.
Arjuna mengangkat alisnya yang rapi, "Tapi?"
"Bima adalah orang lama. Dia tidak punya pengalaman dengan kampanye digital. Sejujurnya, Pak, tim Marketing saat ini sedang kacau. Mereka butuh sentuhan baru, atau lebih tepatnya, perombakan total."
Arjuna bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela, namun pandangannya tetap tertuju pada dokumen di tangannya.
“Berikan saya ringkasan komprehensif mengenai seluruh staf di departemen Marketing. Mulai dari yang paling atas, hingga yang paling bawah. Saya ingin tahu siapa yang punya potensi, dan siapa yang harus kita singkirkan,” perintahnya.
“Siap, Pak. Akan saya kirimkan file digitalnya sebelum tengah malam.”
"Bagus. Dan Bayu," Arjuna berbalik, matanya berkilat dengan determinasi.
"Batalkan seluruh rencana pesta perayaan untukku malam ini. Gantilah dengan makan malam internal bersama jajaran vice president untuk membahas restrukturisasi. Sediakan kopi tanpa gula, jangan sentuh yang lain."
"Baik, Pak. Tapi... Bapak yakin? Ini hari besar Bapak."
Arjuna kembali ke mejanya, membuka map performa Marketing.
"Hari besar saya adalah ketika perusahaan ini kembali ke jalur pertumbuhan dua digit. Sampai saat itu, hanya ada kerja. Hanya kerja."
Bayu mengangguk, tahu betul sifat bos barunya. Arjuna Mahesa telah menerima tahta itu, dan kini, ia siap membersihkannya dari debu yang menumpuk.
Saat Bayu menutup pintu, Arjuna menyandarkan punggung ke kursi, merasakan beban jutaan karyawan dan pemegang saham yang kini ada di bahunya. Ia mengambil napas panjang. Dingin. Sendiri. Tetapi berkuasa. Ia adalah CEO, dan ia tidak akan membiarkan apapun, termasuk perasaan atau distraksi, menghalangi misinya.
Ia mengambil telepon genggamnya, mengetik pesan kepada Bayu: Tambahkan catatan di file Marketing: Saya ingin bertemu dengan semua staf level junior hingga supervisor secara tatap muka dalam dua hari ke depan.
Arjuna siap mengubah Mahardika. Ia siap bekerja hingga larut malam. Ia siap menghadapi musuh korporat.
Yang tidak ia sadari, satu-satunya hal yang tidak ia siapkan adalah kejutan kecil yang akan datang malam ini, di luar dinginnya kantornya, sebuah kejutan yang akan mengubah segalanya hanya dalam satu malam yang tidak ia rencanakan sama sekali.
.
.
Cerita Belum Selesai.....
trs knp di bab berikutnya seolah² mama ny gk tau klw pernikahan kontrak sehingga arjuna hrs sandiwara.
tapi ya ga dosa jg sih kan halal
lope lope Rin hatimu lura biasa seperti itu terus biar ga tersakiti