Sebuah jebakan kotor dari mantan kekasih memaksa Jenara, wanita karier yang mandiri dan gila kerja, untuk melepas keperawanannya dalam pelukan Gilbert, seorang pria yang baru dikenalnya. Insiden semalam itu mengguncang hidup keduanya.
Dilema besar muncul ketika Jenara mendapati dirinya hamil. Kabar ini seharusnya menjadi kebahagiaan bagi Gilbert, namun ia menyimpan rahasia kelam. Sejak remaja, ia didiagnosis mengidap Oligosperma setelah berjuang melawan demam tinggi. Diagnosis itu membuatnya yakin bahwa ia tidak mungkin bisa memiliki keturunan.
Meskipun Gilbert meragukan kehamilan itu, ia merasa bertanggung jawab dan menikahi Jenara demi nama baik. Apalagi Gilbert lah yang mengambil keperawanan Jenara di malam itu. Dalam pernikahan tanpa cinta yang dilandasi keraguan dan paksaan, Gilbert harus menghadapi kebenaran pahit, apakah ini benar-benar darah dagingnya atau Jenara menumbalkan dirinya demi menutupi kehamilan diluar nikah. Apalagi Gilbert menjalani pernikahan yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Genep Belas
“Kak, siapa yang sudah menghamili kamu? Pria brengsek mana yang bersikap kurang ajar dengan kakak kesayanganku? Akan aku sunat burung jahanamnya nanti!” ujar Kinara, matanya berkaca-kaca karena marah.
Jenara tertawa terbahak-bahak, tawa yang langka dan sangat lepas. Ucapan polos Kinara yang mengancam ‘sunat’ itu membuatnya seketika merasa terhibur dan merinding.
“Bukan salah pria itu,” jawab Jenara setelah tawanya mereda. Kinara menatapnya bingung.
Jenara mendekatkan bibirnya ke telinga Kinara. Suaranya berbisik, penuh pengakuan yang mengejutkan.
“Kinara, aku akan jujur. Sebenarnya… Kakak yang sudah memperkosanya.”
“Apa!!!” Kinara menjerit kaget, menatap Jenara dengan mata terbelalak lebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
...*********...
Di Jakarta, kantor pusat Perusahaan Althaf
Althaf menyandarkan punggungnya yang lelah pada kursi eksekutifnya. Lampu ruang kerjanya masih menyala terang, meskipun jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Selama Gilbert keluar negeri untuk 'urusan pribadi mendesak' yang misterius, pekerjaan di perusahaannya benar-benar menumpuk. Althaf sudah bekerja lembur selama tiga hari berturut-turut, tetapi laporan dan berkas bukannya berkurang, namun semakin bertambah.
Althaf menghela napas, mengusap wajahnya yang kusam. Ia tak habis pikir bagaimana cara kerja mantan atasan sekaligus sahabatnya itu. Gilbert, sebagai COO, benar-benar efisien. Kini, Althaf harus mengambil alih dua peran sekaligus, membuatnya nyaris kehabisan energi.
Pintu ruang kerjanya diketuk perlahan.
“Masuk,” sahut Althaf, tanpa mengangkat kepala dari tumpukan berkas yang harus dia tanda tangani.
Alena, istri Althaf, masuk ke dalam ruangan. Ia sengaja mampir untuk melihat bagaimana kondisi Althaf yang telah lembur selama tiga hari. Alena terlihat cantik dan segar, senyum menenangkan terbit di bibirnya. Tak lupa, Alena membawa dua gelas ice coffee dingin dari kafe favorit Althaf.
“Selamat malam, Tuan Althaf. Sepertinya Anda sedang bersahabat karib dengan kafein dan kertas,” canda Alena, meletakkan salah satu gelas kopi di depan Althaf.
Althaf mengangkat kepalanya, senyum lelah muncul melihat kehadiran istrinya. “Malam, Sayang. Kamu seperti malaikat yang dikirim untuk menyelamatkan aku dari tumpukan pekerjaan ini.”
Ia menarik Alena mendekat dan mencium pipinya. Alena duduk di tepi meja, menatap kekhawatiran di mata suaminya.
“Bagaimana, Mas? Apakah benar-benar seburuk ini?” tanya Alena, mengusap bahu Althaf.
“Buruk. Gilbert benar-benar tidak manusiawi. Dia hanya menelepon, bilang ada force majeure yang sangat penting, lalu bilang, ‘Urus.’ Semua ini membuatku sakit kepala, Alena! Dua minggu penuh pekerjaan ditumpuk, dan dia hanya bilang, 'urus’,” keluh Althaf, sambil menyesap kopi dinginnya.
“Dia juga mengirimi Mas draft perjanjian pra-nikah dari pengacara. Kau tahu, Alena? Pisah harta total. Detailnya sangat kaku. Dia benar-benar serius dengan 'urusan' ini.”
Alena tersenyum. “Ayolah, Mas. Jangan terlalu khawatir. Gilbert memang gila kerja, tapi dia tidak akan membiarkan perusahaan hancur. Lagipula, dia juga butuh waktu pribadinya. Dia manusia, bukan robot, meskipun kadang dia bertingkah seperti itu.”
“Tapi ini , Alena! Bagaimana kalau dia tiba-tiba memutuskan berhenti? Aku tidak bisa membayangkan perusahaan ini tanpa Gilbert. Aku sudah terlalu ketergantungan pada Gilbert.”
Alena tertawa renyah. “Tak perlu khawatir seperti itu. Tapi tidak mungkin. Dia terlalu mencintai perusahaan ini, Mas. Lagipula, dia tidak bisa lari dari tanggung jawab terbesarnya saat ini.”
Althaf menatap Alena. “Tanggung jawab? Maksudmu… calon istrinya?”
Alena bergeser, kini duduk di sebelah Althaf, penasaran. “Jadi, benar dia akan menikah?”
“Mungkin saja. Semalam dia meminta saya dibuatkan perjanjian pisah harta. Total, nol rupiah bersama. Benar-benar Gilbert. Aku bahkan tak paham apa yang ingin dia lakukan.”
Alena mengangguk. “Aku tahu dia akan melakukan itu. Tapi yang membuatku penasaran…”
Althaf memajukan kursinya, tertarik pada gosip langka tentang Gilbert. “Siapa? Siapa yang bisa menaklukkan Gilbert? Apakah benar dia…”
“Jenara Sanjaya,” bisik Althaf, rahasia. “Wanita paling dingin, kaku, dan paling sulit ditaklukkan di Jakarta. Dia Ice Queen di dunia bisnis. Sayang, dia itu memiliki tangan emas, setiap bisnis yang dia jalani tidak ada yang gagal. Pasti dia mendapatkan untung besar.”
Alena terkejut. “Jenara Sanjaya? Aku kenal dia. Memang wanita yang luar biasa cerdas, tapi sangat tertutup dan arogan. Wow. Benar-benar kejutan. Aku justru penasaran, bagaimana Gilbert bisa berhubungan dengan Jenara. Dia tidak pernah tertarik pada wanita yang dominan.”
“Dan aku justru penasaran, bagaimana Jenara bisa sampai hamil. Dia seolah tidak punya celah sedikit pun. Dia seperti benteng es yang tidak bisa ditembus.” Althaf menggelengkan kepala.
Mereka berdua larut dalam gosip tentang Gilbert dan calon istrinya, sejenak melupakan tumpukan pekerjaan.
Althaf menatap Alena yang duduk begitu dekat dengannya. Ia menyadari betapa ia merindukan waktu berdua seperti ini.
“Aku kangen, Alena,” bisik Althaf, meraih tangan istrinya dan mengecupnya. “Aku kangen kebersamaan kita. Setiap malam, Samudra dan Raina pasti akan mengganggu. Mereka selalu mencarimu.”
Wajah Alena berubah sendu. Ada rasa bersalah yang terpancar dari matanya. “Aku tahu, Mas. Maafkan aku.”
Althaf mengusap pipi Alena. “Raina memang selalu mencarimu. Sejak dia lahir, perhatianmu terbagi pada anak-anak. Aku tahu itu wajar, tapi aku rindu menjalin keromantisan denganmu, seperti dulu.”
Alena mencium Althaf dengan lembut di bibir, meminta maaf tanpa kata. Kemudian, ia beranjak dari kursi, duduk tepat di pangkuan Althaf, menghadap suaminya.
“Kalau begitu, Mas, sepertinya pekerjaanmu harus tertunda untuk saat ini.”
Althaf tak paham maksud Alena. “Tertunda? Tapi ini laporan—"
Nyatanya, Alena sudah tidak sabar. Jari-jari lentiknya mulai sibuk melepaskan dasi Althaf, kemudian membuka kancing teratas kemejanya.
Alena membungkuk, berbisik tepat di telinga Althaf, suaranya sangat menggoda, apalagi hembusan napasnya yang hangat membuat bulu kuduk Althaf berdiri.
“Mas, kamar pribadi di kantormu ini masih bisa digunakan, kan? Yuk, sekarang aja…” ajak Alena.
Althaf, yang semula lelah dan lesu, serasa mendapatkan tenaga baru, melupakan tumpukan pekerjaan di mejanya. Ia memeluk Alena erat.
Dengan seringai penuh gairah, Althaf langsung menggendong Alena ala bridal style, membawa istrinya masuk ke kamar pribadi yang terhubung dengan ruang kerjanya. Pintu tertutup, meninggalkan tumpukan berkas yang harus menunggu hingga pagi.