Judul buku "Menikahi Calon Suami Kakakku".
Nesya dipaksa menjadi pengantin pengganti bagi sang kakak yang diam-diam telah mengandung benih dari pria lain. Demi menjaga nama baik keluarganya, Nesya bersedia mengalah.
Namun ternyata kehamilan sang kakak, Narra, ada campur tangan dari calon suaminya sendiri, Evan, berdasarkan dendam pribadi terhadap Narra.
Selain berhasil merancang kehamilan Narra dengan pria lain, Evan kini mengatur rencana untuk merusak hidup Nesya setelah resmi menikahinya.
Kesalahan apa yang pernah Narra lakukan kepada Evan?
Bagaimanakah nasib Nesya nantinya?
Baca terus sampai habis ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Beby_Rexy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Farrel mengendarai mobil sportnya dengan kecepatan penuh, jalanan yang sunyi di area villa sepanjang puluhan kilometer itu membuat suara deru mobil yang di kendarai oleh Farrel terdengar begitu nyaring di segala penjuru.
Hati Farrel terasa panas semenjak mendengar pengakuan Evan mengenai apa yang telah ia lakukan pada Nesya. Semakin ucapan itu terngiang semakin dalam kaki Farrel menginjak pedal gas mobilnya.
Perjalanan sepanjang puluhan kilometer itu pun menjadi sangat singkat hingga tiba di persimpangan jalan raya, Farrel memilih untuk mengurangi laju mobilnya lalu memutuskan untuk menepi.
Sejenak ia menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, berusaha menarik napas dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan. Nesya merupakan seorang gadis pertama yang membuat Farrel tertarik, sejak awal dia di tugaskan oleh Evan untuk menguntit Narra, Farrel akhirnya menemukan Nesya sebagai sosok gadis yang mampu memikat hatinya.
“Kenapa harus Evan.” Farrel bergumam dengan tatapan yang mengedar ke jalan raya di depannya.
Pertemanannya bersama Evan bukan baru sebentar, Evan memiliki sifat yang perfeksionis dan ambisius sehingga dia harus mendapatkan apa saja jika itu yang dia inginkan. Dan itu semua di dukung oleh otak encernya. Farrel sendiri mengakui jika hanya dirinya dan Ian saja tanpa Evan maka nama mereka berdua tak akan bisa sebesar sekarang.
Farrel meraih ponselnya lalu menghubungi sebuah nomor, tak lama berdering, panggilan itu langsung terhubung dengan seseorang yang berada di beda negara dengannya.
“Farrel?” Ucap suara di balik ponsel Farrel.
“Ya, bisa kah kamu menggantikanku saat ini, Ian?” Sahut Farrel terdengar putus asa.
“Tumben sekali, apa yang terjadi disana? Apa Evan memberimu banyak pekerjaan?” Ian mencoba berkelakar, bukan tidak peka, Ian pun tahu bagaimana repotnya bekerja dengan Evan. Akan tetapi mereka berdua sangat setia pada Evan, karena Evan sudah begitu banyak berjasa terhadapa Ian dan Farrel.
“Tidak ada, aku hanya butuh rehat.”
Ian terkekeh, tak biasanya sahabat sekaligus rekan kerjanya itu terdengar seperti itu, seperti sedang meraju. “Ayolah katakan ada apa? Aku belum pernah mendengarmu mengeluh seperti itu. Apa ini ada hubungannya dengan istrinya Evan?”
“Namanya Nesya,” jawab Farrel dengan cepat, dan itu membuat Ian tahu apa penyebabnya.
“Kamu menyukainya?” Tanya Ian yang sebenarnya juga sudah tahu sejak lama.
“Jauh sebelum Nesya menjadi tumbal.”
Ian tertawa renyah mendengarnya. “Itu bukan tumbal Bro, itu namanya jodoh. Ada kuasa Tuhan diatas keinginan kita.”
“Tapi Evan berbuat tidak baik padanya, dan juga melanggar kesepakatan kita untuk tidak…” Farrel tak sanggup untuk melanjutkan kata-katanya.
Ian kembali menjawab. “Kita sudah mengenal Evan sangat lama sekali, Farrel. Selama hidupnya dia hanya pernah mencintai satu wanita dan itu adalah Fira, yang malah mencampakkan dirinya karena Evan tak dipilih sebagai penerus perusahaan seperti Erwin. Setelah kejadian itu Evan menjadi dingin dan menurutku wajar jika dia bersikap kurang baik pada Nesya, akan tetapi jika Evan membuat keputusan untuk membawa Nesya ke atas ranjangnya, aku bisa pastikan bahwa dia menyukai gadis itu. Dia juga sedang ingin menyembuhkan luka hatinya. Bro, relakan lah.”
***
Di depan rumah dari kediaman keluarga Nesya, sang kakak tengah berjibaku dengan perasaannya. Setelah di permalukan di villa milik Evan siang tadi, dirinya yang langsung kehilangan arah tujuan itu kini memilih untuk menemui sang ibu, Kinan. Tentunya dengan suatu tujuan yaitu meminta ibunya untuk menjemput Nesya, karena dirinya sudah tidak bisa melakukan apapun lagi.
Narra baru tiba sekitar pukul tujuh malam di kediaman ibunya, mengendarai sebuah mobil peninggalan mendiang sang ayah, Narra berkendara kesana kemari membawa pikiran yang kacau balau. Dirinya merutuki kebodohannya di malam sial itu hingga dirinya harus mengandung benih orang lain, juga marah pada Evan yang sama sekali tak ingin menunjukkan batang hidungnya.
“Padahal aku sudah dua kali datang kesana, para pelayan disana tidak mungkin tidak melapor pada Evan. Lalu kenapa dia tak mau menemuiku? Bahkan Farrel juga menolak panggilan teleponku. Setidaknya jika hubungan ini berakhir katakanlah sesuatu, Evan.” Narra menitikkan air matanya, namun bukan karena penyesalan melainkan amarah yang membara.
Teringat lagi pada perlakukan Rosaline yang dengan tega menampar dirinya, Narra memegang pipi kirinya yang hingga kini masih merasakan perih sampai ke hati. Sayangnya, dia sama sekali tak memikirkan apa yang terjadi pada Nesya, apa kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi pada adiknya itu. Dan jika sesuatu yang buruk terjadi, seharusnya Narra sadar kalau itu adalah karena dirinya.
Dari arah pintu rumah tampak Sifa, sahabat Nesya yang baru saja keluar dan langsung mendekati mobil Narra yang terparkir di halaman rumah mungil tersebut. Narra langsung menurunkan kaca mobilnya dan memberikan senyuman terpaksa pada Sifa.
“Kak Narra, baru kelihatan. Dimana Nesya?” Sifa menengok ke dalam mobil mencari keberadaan sahabatnya.
“Euh, kamu baru selesai bekerja? Aku punya uang untuk kamu, untuk tambahan belanja.” Narra berusaha mengalihkan pembicaraan dan dengan cepat merogoh tasnya untuk mengambil beberapa lembar uang lalu ia berikan kepada Sifa, namun sahabat Nesya itu malah menolaknya.
“Tidak usah, Kak. Hari ini Sifa dapat gaji dari Ibu, Sifa hanya bertanya dimana Nesya? Bukankah sudah seharusnya sekarang dia pulang?” Wajah Sifa terlihat serius, di saat Nesya di desak pada hari pernikahan kala itu, Sifa tak bisa banyak ikut campur dan berusaha untuk percaya saja pada Narra. Akan tetapi ketika setelah menunggu hingga dua hari dan ternyata Nesya tak kunjung pulang, entah mengapa Sifa merasa kalau Narra sengaja menjebak Nesya.
Mendapat tatapan seperti itu Narra pun menjadi kesal. “Sebaiknya kamu pulang saja, urusan keluarga kami tak perlu kamu tanyakan, Sifa.”
Narra mencoba membuka pintu mobilnya untuk keluar dari sana namun ketika baru terbuka sedikit tangan Sifa malah menutupnya kembali, hal itu membuat Narra semakin kesal hingga melayangkan tatapan marahnya kepada Sifa yang sedang menatapnya datar.
“Apa sih mau mu? Apa kurang jelas ucapanku tadi?!” Sergah Narra mulai naik pitam, selama hidupnya belum pernah ada yang menantang dirinya seperti itu. Apalagi oleh anak kecil seperti Sifa.
“Kembalikan Nesya, kak. Sifa khawatir padanya karena ponsel Nesya sama sekali tidak bisa di hubungi. Apakah dia masih hidup atau tidak disana, tidakkah kakak merasa khawatir?” Tanya Sifa sedikit menyindir.
“Jaga bicaramu itu, Sifa. Aku ini kakaknya tentu saja aku yang lebih mengkhawatirkan adikku! Dia masih hidup dan baik-baik saja kalau kamu ingin tahu. Pulang sana!” Narra kembali membuka pintu mobilnya dan berhasil berdiri di hadapan Sifa.
“Asal kakak tahu, Ibu dan Bude juga marah dan tak ingin bicara pada kakak. Jika kakak kesulitan membawa Nesya pulang biar Sifa yang menjemputnya kesana.”
Narra menggeram kesal, melihat Sifa sama saja seperti menghadapi Nesya. Sifat dua gadis itu sama-sama kerasnya, tak pernah bisa akur dengan dirinya. Tanpa ingin meladeni Sifa lagi, Narra melengos lalu melenggang meninggalkan Sifa yang terus menatap dirinya dengan kekesalan.
Pintu rumah itu belum terkunci setelah Sifa keluar dari sana, sehingga Narra bisa langsung masuk begitu aja tanpa mengetuk pintunya.
Rumah yang kecil itu hanya memiliki satu buah ruangan kecil di bagian depan yang di gunakan untuk mengepak pesanan katering setiap harinya. Biasanya di ruangan itu menjadi tempat Nesya dan Sifa bekerja sambil bercanda berdua, sedangkan satu ruangan di bagian belakang menjadi tempat dapur untuk memasak. Untuk kamar sendiri hanya ada dua buah dengan ukuran tiga meter persegi, yang satu di gunakan untuk tidur sedangkan satu kamar lainnya di gunakan untuk penyimpanan barang-barang.
Nesya dan Sifa sering tiduran di ruang depan saja, beralaskan karpet mereka berdua tak pernah mengeluh. Sifa sendiri mempunyai orang tua namun sering menginap di rumah Nesya jika ada banyak pekerjaan hingga larut malam.
“Ibu.”
Kinan dan Bude terkejut mendengar suara yang mereka pikir adalah Nesya, keduanya langsung menengok kearah suara namun harus kecewa lantaran Narra lah yang berdiri disana.
“Dimana adikmu, nduk?” Tanya Bude pada Narra, dia dan Kinan masih sibuk membereskan sisa masakan yang kelebihan.
Narra tak lantas menjawab, dia memperhatikan sang ibu yang seperti tak mempedulikan kehadirannya dan malah pura-pura sibuk membereskan pekerjaannya.
“Ibu, aku butuh bantuan ibu. Untuk menjemput Nesya,” pinta Narra, dia sadar bahwa ibunya kecewa sebab sejak siang tadi ibunya itu terus menolak panggilan telepon darinya.
“Kenapa minta bantuan ibu? Bukankah kamu yang jauh lebih pintar?” Tanya Kinan sarkas, nada bicaranya pun terdengar ketus. Saat berbicara dia juga tak mau menatap Narra.
“Aku bukan tidak mau, Bu. Tapi mereka disana semuanya menghalangi aku, mereka juga menolak kehadiranku. Ibu harus kesana dan meminta Evan untuk memulangkan Nesya, dan apa ibu tahu? Evan bahkan mengurung Nesya di sebuah menara seorang diri.”
Mendengar pemaparan Narra tersebut, Bude langsung terkejut sedangkan Kinan diam sambil mengepalkan kedua tangannya. Jika itu benar, hati ibu mana yang tidak sakit.