pernahkah kau membayangkan terjebak dalam novel favorit, hanya untuk menyadari bahwa kau adalah tokoh antagonis yang paling tidak berguna, tetapi Thanzi bukan tipe yang pasrah pada takdir apalagi dengan takdir yang di tulis oleh manusia, takdir yang di berikan oleh tuhan saja dia tidak pasrah begitu saja. sebuah kecelakaan konyol yang membuatnya terlempar ke dunia fantasi, dan setelah di pikir-pikir, Thanz memiliki kesempatan untuk mengubah plot cerita dimana para tokoh utama yang terlalu operfower sehingga membawa bencana besar. dia akan memastikan semuanya seimbang meskipun dirinya harus jadi penggangu paling menyebalkan. bisakah satu penjahat figuran ini mengubah jalannya takdir dunia fantasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr.Xg, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
Thanzi adalah anomali langka di tengah beton dan besi yang disebut kota. Di mana-mana orang berlomba, bersaing, dan sering kali abai. Tapi Thanzi? Dia adalah semacam suar kebaikan yang hidup. Bukan pahlawan super berkostum, bukan pula orang suci, melainkan hanya seorang pemuda biasa dengan hati yang terlalu besar untuk ukuran dadanya. Kemanusiaan adalah hobinya, dan membantu sesama adalah makanan jiwanya.
Setiap hari adalah misi kecil baginya. Pagi hari mungkin ia menghabiskan waktu menyeberangkan nenek-nenek tua yang membawa belanjaan segunung, memastikan langkah rapuh mereka aman dari ganasnya klakson taksi. Siang hari, ia bisa saja terlihat sedang mengejar dompet yang dijambret, napasnya tersengal namun matanya fokus mengejar si pelaku hingga dompet kembali ke tangan pemiliknya yang gemetar. Sore harinya? Jangan kaget jika Thanzi ditemukan sedang berjongkok di selokan, membujuk anak kucing kurus yang tersangkut atau mengulurkan tangan pada tunawisma yang kedinginan di bawah jembatan layang. Ia adalah "Si Penolong" sejati, tanpa pamrih, tanpa mencari pujian. Senyum tulus di wajah orang yang ia bantu sudah lebih dari cukup baginya sebagai imbalan. Hidupnya mungkin sederhana, gubuk kontrakan di gang sempit dan pekerjaan paruh waktu di minimarket, tapi Thanzi menemukan kebahagiaan sejati dalam setiap kebaikan yang ia taburkan. Baginya, kebaikan adalah satu-satunya mata uang yang benar-benar berharga.
Sore itu, terik matahari masih memanggang aspal jalanan kota Majalengka, di hari Kamis tanggal 22 Mei, sekitar pukul empat sore. Thanzi baru saja pulang dari shift sore di minimarket, langkahnya ringan walau tubuhnya sedikit pegal. Ia bersenandung pelan, memikirkan novel fantasi terbarunya yang belum sempat ia sentuh. Novel itu adalah pelariannya, dunia lain di mana ia bisa melupakan kekacauan realita dan menyelam dalam intrik sihir dan petualangan epik. Namun, sering kali ia harus menahan kekesalan dan bahkan kemarahan karena alur cerita yang terlalu mudah ditebak dan pahlawan yang terlalu... overpower. Dalam benaknya, kekuatan tanpa batas para tokoh utama itu lebih mirip ancaman daripada berkah.
Tiba-tiba, suara kepanikan memecah ketenangan. "AWAS! KAMBING LEPASK!"
Thanzi tersentak. Di tengah jalan raya yang ramai, melesatlah sesosok kambing dewasa berwarna putih kecoklatan. Binatang itu panik, matanya melotot, dan tanduknya bergerak acak, nyaris menyundul seorang anak kecil yang sedang asyik bermain gundu di pinggir jalan. Ibu si anak menjerit histeris, tapi kakinya terpaku.
Insting Thanzi langsung mengambil alih, lebih cepat dari kesadaran berpikirnya. Ini bukan lagi soal dompet yang dicopet atau kucing yang tersesat. Ini soal nyawa. Tanpa ragu, ia melesat ke tengah jalan, menerobos kerumunan yang menghindar.
"Hoi, hati-hati! Kambing!" teriak Thanzi, merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, mencoba menghadang laju kambing panik itu. Ia berharap bisa mengarahkan kambing itu menjauh dari anak kecil, mungkin ke arah parit atau lapangan kosong.
Namun, nasib, atau mungkin alam semesta, punya rencana yang sangat, sangat berbeda dan teramat konyol untuk Thanzi. Bukannya berhenti atau berbelok, kambing itu malah semakin kalap. Dengan kecepatan yang tak terduga, ia menundukkan kepala, dan dengan sekuat tenaga, menyeruduk tepat ke arah dada Thanzi.
BUGH!
Thanzi terhuyung ke belakang, rasa sakit luar biasa menghantam dadanya. Napasnya tercekat. Pandangannya berputar, langit berputar seperti gasing. Ia merasa tubuhnya melayang sesaat, lalu gravitasi menariknya dengan kejam. Detik berikutnya, sebuah rasa sakit menusuk yang jauh lebih parah menghantam bagian belakang kepalanya. Bukan aspal, bukan semen. Itu adalah batu, sebuah batu kerikil yang entah bagaimana bisa ada di sana, tersembunyi di balik genangan air kotor. Gelap. Segalanya menjadi hitam, sehitam malam tanpa bintang.
Ketika kesadaran perlahan merangkak kembali, Thanzi merasakan sesuatu yang fundamental berbeda. Bukan bau knalpot dan sampah kota, bukan pula riuhnya klakson atau teriakan pedagang kaki lima. Yang ada hanyalah aroma lembap tanah hutan yang basah, bisikan dedaunan yang bergesekan, dan kicauan burung dengan melodi asing yang tak pernah ia dengar di kebun binatang mana pun.
Perlahan, kelopak matanya yang berat terbuka. Di atas kepalanya, bukan langit-langit kamarnya yang kusam atau langit biru kota yang penuh polusi. Yang ada hanyalah kanopi hutan yang menjulang tinggi, dahan-dahan raksasa saling bertautan, membiarkan sedikit cahaya matahari menembus seperti tetesan zamrud. Di sekelilingnya, pohon-pohon kuno dengan batang berlumut menjulang gagah, seolah-olah menjadi pilar-pilar sebuah katedral alam.
"Aku... mati?" gumam Thanzi, suaranya parau. Ia mencoba bangkit, tapi tubuhnya terasa aneh. Lebih ringan, seolah berat badannya berkurang setengah, namun juga terasa lebih lemah, seolah setiap ototnya telah lama tidak digerakkan. Dan pakaiannya? Bukan kaus favoritnya yang sudah lusuh dan celana jeans lamanya, melainkan kain kasar berwarna cokelat dan sepatu bot kulit yang terasa kebesaran.
Otaknya, yang masih berdengung akibat benturan, berusaha memproses realitas baru yang gila ini. Rasa sakit di kepala bagian belakangnya masih terasa, namun kini disertai dengan sensasi yang lebih aneh: ingatan-ingatan baru yang bukan miliknya, yang terasa asing namun juga begitu nyata, membanjiri benaknya seperti gelombang pasang. Sebuah nama: Thanzi. Sebuah keluarga. Sebuah latar belakang... yang sangat, sangat tidak menyenangkan. Sebuah dunia. Sebuah novel.
The Chronicles of Aeridor.
Nama novel itu mengulang di benaknya, menggema seperti lonceng. Sebuah novel fantasi yang telah ia baca berulang kali sampai hafal di luar kepala. Novel yang ia benci karena alurnya yang terlalu mudah ditebak dan para pahlawan yang terlalu, sangat, overpower. Tapi kini, Thanzi menyadari alasan di balik kebenciannya yang tersembunyi.
Ingatan-ingatan baru yang mengalir ini bukan hanya tentang novel itu, tetapi tentang konsekuensi mengerikan dari kekuatan tanpa batas para tokoh utamanya. Kehebatan mereka yang tak tertandingi, kemenangan mereka yang terlalu mudah, justru telah merusak keseimbangan fundamental dunia Aeridor. Setiap monster yang dimusnahkan tanpa perlawanan berarti, setiap sihir besar yang dilemparkan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan, setiap keputusan impulsif yang dibuat tanpa memikirkan pihak lain, telah menciptakan keretakan demi keretakan.
Bencana besar yang akan datang—gempa bumi abnormal, wabah penyakit yang tak terduga, kekeringan yang mematikan, atau bangkitnya kekuatan kegelapan yang lebih tua dari ingatan—semuanya bukan takdir, melainkan hasil kumulatif dari ke-overpower-an para pahlawan itu sendiri. Mereka tidak pernah menghadapi tantangan sejati, sehingga mereka tidak pernah belajar batas, tidak pernah menyadari dampak destruktif dari kekuatan tak terkendali mereka.
"Tidak... tidak mungkin..."
Thanzi menghela napas, napas yang terasa sesak oleh realitas baru yang gila ini. Ia tidak mati. Ia hanya... transmigrasi. Dan yang paling mengerikan dari semua ini, ia tidak terlempar sebagai pahlawan yang gagah, atau bahkan penjahat utama yang karismatik. Ia ada di dalam tubuh seorang figuran antagonis yang tidak berguna, yang bahkan namanya pun hampir tak pernah disebut di novel aslinya selain sebagai batu sandungan kecil yang diinjak pahlawan dalam perjalanan mereka menuju kemenangan yang mudah.
Sebuah senyum kecut terukir di wajah Thanzi. Dari "Si Penolong" yang mati konyol diseruduk kambing, kini ia menjadi... ini. Seorang figuran antagonis yang ditakdirkan untuk menjadi santapan monster atau tumbal intrik konyol, di dunia yang sedang menuju kehancuran karena pahlawan-pahlawannya terlalu hebat.
Tapi kemudian, sesuatu dalam diri Thanzi bergolak. Frustrasi lamanya pada plot novel ini kini bercampur dengan kemarahannya pada nasibnya sendiri, dan yang lebih penting, dengan rasa tanggung jawab yang tiba-tiba muncul. Jika alam semesta memberinya kesempatan kedua di dunia yang tidak adil ini, Thanzi akan memastikan ada perubahan. Bukan hanya untuk kesenangan pribadi, tetapi untuk menyelamatkan dunia itu sendiri.
"Baiklah, Aeridor," gumam Thanzi, menatap ke kanopi hutan seolah berbicara pada sang penulis takdir. "Jika kalian mau aku ada di sini, maka bersiaplah. Karena aku, Thanzi, akan mengubah alurmu. Aku akan memastikan para pahlawanmu merasakan perjuangan sesungguhnya, agar mereka tidak lagi menjadi penyebab bencana. Ini Thanzi. Dan aku bukan penjahat biasa."