NovelToon NovelToon
Istri Kedua Suamiku

Istri Kedua Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Spiritual / Kehidupan di Kantor / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Suami ideal
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: ARSLAMET

Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.

Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.

“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”

Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.

Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?

Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.

Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Suara yang tidak pernah sama

Malam telah larut. Lampu-lampu rumah sakit meredup seperti cahaya temaram yang ragu untuk tetap menyala. Rendi duduk di tepi ranjang, memandang Bunga yang terbaring dengan wajah pucat dan selimut putih membungkus tubuhnya.

Jarum infus menetes perlahan—ritme waktu yang seolah memperpanjang diam dan penantian.

Ia belum tidur. Matanya sembab menahan letih, tapi pikirannya tetap terjaga, dihuni suara-suara yang tak berhenti. Tentang laporan proyek. Tentang panggilan Alisya. Tentang Rasya yang mungkin sedang bertanya, "Ayah, kapan pulang?"

Samar, suara lirih memecah keheningan.

“Ahh…”

Rendi terperanjat, sontak bangkit dan meraih tangan Bunga yang mulai bergerak. Mata wanita itu perlahan terbuka, basah, tak sepenuhnya sadar tapi cukup kuat untuk mengenali wajah pria yang duduk di sampingnya.

Tanpa aba-aba, Bunga mengangkat tubuhnya perlahan dan memeluk Rendi. Erat. Seakan pelukan itu adalah jangkar terakhir yang menyelamatkannya dari karam.

Rendi diam. Tubuhnya kaku. Napasnya tertahan.

“Maaf, Pak…” suara Bunga pecah oleh isak yang tertahan. “Karena aku… karena aku, keluarga hangat Bapak jadi sedikit goyah. Kalau saja waktu itu Ayahku tidak memaksa pernikahan itu, mungkin... mungkin Bapak tidak akan seperti ini sekarang. Bukan atasan yang begitu asing. Dan bukan... bukan suami yang hanya tertulis dalam akta.”

Tangisnya pecah. Tangis yang selama ini disimpan dalam tubuh yang terlalu sibuk bekerja, terlalu takut merasa.

Rendi tak membalas pelukan itu. Ia memejamkan mata. Rasanya asing—ada wanita lain yang memanggilnya "suami", tapi bukan Alisya. Bukan suara yang biasa membangunkannya tiap pagi. Bukan tangan yang biasa menyuapinya roti di pagi hari, sambil berkata, “Kamu harus makan dulu sebelum pergi kerja.”

Ia menghela napas panjang, membuka pelan pelukan itu.

“Sudahlah, Bunga... Ayah ku juga terlibat. Aku… aku pun waktu itu tak cukup kuat untuk menolak. Tapi sekarang, kita di sini... dalam situasi yang seharusnya tidak membuatmu menangis lagi,” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan yang dibungkus rasa bersalah.

Ia berdiri, menekan tombol pemanggil, lalu berkata, “Aku panggil dokter dulu, ya.”

Tak lama kemudian, seorang dokter datang. Memeriksa tekanan darah, menanyakan beberapa gejala, dan menyimpulkan dengan nada ringan namun tegas, “Dia hanya kelelahan parah. Tidak ada gangguan serius. Bisa pulang malam ini, tapi harus benar-benar istirahat.”

...****************...

Di perjalanan pulang menuju penginapan, langit Yogyakarta seperti menyimpan hujan di kelopaknya. Jalanan basah, lampu-lampu kota memantul di aspal seperti bayangan kenangan yang belum selesai.

Bunga berjalan pelan ke arah mobil. Tak banyak bicara. Ia tahu, diam kadang lebih baik daripada kalimat yang berpotensi membuat luka makin dalam.

Rendi membukakan pintu mobil untuknya tanpa sadar, tanpa ragu. Gerakan spontan, tapi tulus.

Bunga menatapnya sejenak, lalu masuk ke dalam. Di dalam dadanya, suara hatinya bergema, “Mas… Emang dasar hatimu baik.”

Tapi ia tak mengucapkannya. Hanya mengangguk pelan saat Rendi mulai menjelaskan.

“Nanti malam kamu tidur di kamar saya. Aku di sofa, biar bisa cek kamu setiap saat. Istirahat saja, urusan pekerjaan biar aku selesaikan besok. Kita pulang lusa pagi.”

Kata-katanya tenang. Tapi nadanya menyiratkan perlindungan yang dalam. Bukan romantis, bukan mesra, tapi… penuh tanggung jawab.

Bunga hanya bisa mengangguk.

Di balik kemudi, Rendi memandang kaca spion. Malam di belakangnya tampak gelap dan panjang. Lalu, perlahan, ia menggenggam setir, menatap ke depan.

Dalam hati, ia berbisik lirih:

"Alisya… Rasya… maafkan aku. Aku hanya sedang mencoba menyelamatkan semuanya, meski diriku sendiri makin terbelah."

Malam itu tak ada bintang, tapi cahaya kecil tetap datang dari dalam dada: sebuah niat untuk pulang, secepat mungkin—bukan hanya ke rumah, tapi ke hati yang seharusnya ia jaga sejak awal .

...****************...

Langit malam Yogyakarta menggantung tenang, seolah menahan napas atas cerita yang tengah berlangsung. Di dalam mobil yang melaju perlahan, hanya deru mesin dan nafas Rendi yang terdengar. Di kursi sebelahnya, Bunga tertidur pulas. Wajahnya tenang, bahkan nyaris kekanak-kanakan, seolah beban hidup yang lama membungkam tubuhnya kini sebentar ditanggalkan oleh efek obat tidur yang diresepkan dokter.

“Bunga...” Rendi menepuk lembut bahunya.

Tak ada respons.

Ia mengguncang tubuhnya pelan. “Hei, ayo bangun... sudah sampai.”

Tetap sunyi.

Rendi menarik napas panjang. Ia mematikan mesin mobil, lalu turun, membuka pintu sebelah. Tangannya bergerak dengan hati-hati, mengangkat tubuh Bunga dalam pelukan. Rok selutut yang dikenakan Bunga sempat tersingkap oleh angin malam. Dengan gerak cepat tapi lembut, Rendi menutupi pahanya dengan jas yang sejak tadi ia kenakan.

Langkahnya pelan menuju kamar penginapan. Hati-hati, seolah takut membangunkan .

Sampai di kamar, Rendi membaringkan Bunga perlahan di atas kasur. Matanya tak sengaja bertemu dengan wajahnya yang tertidur dekat. Lalu, dalam sepersekian detik yang tak disengaja, bibir mereka bertabrakan. Ringan, tapi cukup untuk membuat jantungnya berdegup kacau.

Rendi segera menarik diri. “Astaga...” bisiknya lirih, tangan mengusap wajahnya, cepat-cepat ia menjauh.

Ia membuka pakaian kerjanya, masuk ke kamar mandi dan membilas tubuhnya. Ini kebiasaan lamanya—mandi sebelum tidur, agar tenang, agar bersih. Hanya mengenakan handuk di pinggang, ia keluar... dan lupa satu hal penting: Bunga masih di dalam kamar.

Dan malam kadang suka menggoda dalam diam.

Bunga masih tertidur. Tapi posisinya kini telah berubah. Blazer yang tadi ia kenakan tergeletak di lantai. Tubuhnya hanya dibalut tank top hitam dan rok yang tersingkap tinggi ke atas paha. Rendi tercekat. Segera, ia mengambil selimut dan menutup tubuh Bunga dengan penuh rasa bersalah.

Dalam hati, ia berseru: “Maaf... aku tidak bermaksud melihatmu seperti ini. Kau bukan milikku dalam hatiku, bahkan meski status berkata lain.”

Ia berbalik, mengambil pakaian, mengenakannya terburu-buru. Tapi ia tak sadar—Bunga ternyata terbangun.

Matanya terbuka perlahan, lalu kembali merem—pura-pura masih tidur.

Di balik kelopaknya yang terpejam, ia mencuri pandang. Dilihatnya Rendi, laki-laki yang kini resmi menjadi suaminya, meski tak pernah benar-benar menyentuh jiwanya. Hanya diam. Hanya dingin. Hanya asing.

Dan kini berdiri di seberang ruangan, mengenakan kaus tipis dan celana tidur, membelakangi cahaya lampu redup. Siluet tubuhnya memantul di dinding kamar seperti bayangan laki-laki yang tak pernah selesai dengan hatinya sendiri.

Air mata jatuh satu tetes. Tapi tak terdengar.

Rendi mendekati sofa, meletakkan ponselnya di atas perut. Ditekan layar. Muncul video singkat—Rasya sedang belajar menulis namanya sendiri.

“R-A-S-Y-A... ini nama aku, Ayah...” ucap anak itu dalam video dengan suara cempreng yang lucu.

Rendi tersenyum getir, lalu menahan napas. Dadanya ngilu.

Lalu ia berbisik pada diri sendiri, suara yang nyaris tak terdengar:

“Aku belum terbiasa... ada seorang wanita lain di satu ruang denganku... selain Alisya.”

Ia menghela napas. Mata setengah terpejam. Malam menelannya perlahan.

Di ranjang, Bunga mendengar kata-kata itu. Tangannya menggenggam selimut erat-erat, seolah ingin menutupi bukan hanya tubuhnya, tapi juga hatinya yang rapuh.

**“Aku tahu...” bisiknya dalam hati, “aku hanya singgahan. Tapi meski singgah, aku juga bisa merasa.”

Dan malam pun terus berjalan.

Tanpa kata.

Hanya napas yang saling menjaga jarak.

Namun hati—tak pernah benar-benar bisa diam saat luka dan rindu saling berbicara dalam diam.

1
Yati Syahira
sdh panjang bab tdk terungkap perselingkuhan suaminya aneeh bikin males baca
ARSLAMET: biar makin penasaran kak , hehehe staytune trus ya
total 1 replies
D͜͡ ๓KURNI CACAH
wanita sebaik dan secantik sabar alisha kok bisa si di sakiti Sama laku laku kampret Kya si Rendi
D͜͡ ๓KURNI CACAH
ngk rela bgt alisha di Madu
D͜͡ ๓KURNI CACAH
kampret Rendi sama bunga kok bisa nikah ...dasar laki laki apa pun ala San nya tetap tak di benarkan
Rubyna
kok gak ada kejelasan tiba tiba menikah karna apa, dan bunga seharus nya menolak tau kan kalau Rendi susah beristri
ARSLAMET: dukungan nya kaka , selalu berharap yang terbaik untuk tulisan ku dan semua hal hehe
Rubyna: semangat ya, noveltoon gak kayak dulu, asal kontrak sudah dapat cuan sekarang susah
total 4 replies
❤ Nadia Sari ❤
ketikannya kok center semua?
ARSLAMET: @ terimakasih sebelumnya atas sarannya ..
❤ Nadia Sari ❤: bagus yg awal aku tadi bacanya kayak lagu
total 3 replies
pembaca
lanjut kan tuk menuju sukses
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!