NovelToon NovelToon
My Secret Husband

My Secret Husband

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Aliansi Pernikahan
Popularitas:9.6k
Nilai: 5
Nama Author: lestari sipayung

Kelanjutan dari Kurebut Suami Kakak Tiriku, kisah ini mengikuti Rei Alexander, anak angkat Adara dan Zayn, yang ternyata adalah keturunan bangsawan. Saat berusia 17 tahun, ia harus menikah dengan Hana Evangeline, gadis cantik dan ceria yang sudah ditentukan sejak kecil.

Di sekolah, mereka bertingkah seperti orang asing, tetapi di rumah, mereka harus hidup sebagai suami istri muda. Rei yang dingin dan Hana yang cerewet terus berselisih, hingga rahasia keluarga dan masa lalu mulai mengancam pernikahan mereka.

Bisakah mereka bertahan dalam pernikahan yang dimulai tanpa cinta?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

17. SISI LAIN HANA

Rei tiba-tiba menggenggam tangan Livy yang hendak melangkah pergi, padahal gadis itu belum menjawab pertanyaannya. Gerakan itu membuat Livy terhenti seketika, tubuhnya membeku oleh sentuhan yang terasa begitu tegas.

"Rei!" lirih Livy, suaranya nyaris tak terdengar, tatapannya memelas seolah memohon agar lelaki itu melepaskannya. Namun, Rei tak bergeming sedikit pun. Tatapan dinginnya tetap mengunci mata Livy, seolah memberi isyarat bahwa ia tak akan membiarkan gadis itu pergi sebelum mendapatkan jawaban yang ia tunggu.

Akhirnya, Livy menunduk, matanya menghindari tatapan Rei yang begitu menusuk. "Maaf," ujarnya pelan, suaranya terdengar berat seiring dengan rasa bersalah yang menyesakkan dadanya.

Rei masih memandangnya tajam, lalu perlahan melepaskan genggaman tangannya. "Buat apa kau minta maaf?" tanyanya akhirnya, suara dinginnya masih membekas di telinga Livy, seolah menuntut jawaban yang lebih dari sekadar kata maaf.

“Buat semuanya!” sahut Livy, suaranya meninggi, menggema di antara jarak yang kini terasa semakin rapuh di antara mereka.

Namun jawaban itu justru membuat Rei semakin murka. Sorot matanya tajam menusuk Livy, seolah kata “maaf” tak lagi berarti apa-apa.

“Aku tidak butuh permintaan maafmu,” desisnya pelan tapi tegas, seolah menahan gejolak di dadanya yang sudah lama tertahan. “Aku hanya butuh penjelasan. Kenapa kau meninggalkanku tanpa satu pun kejelasan?” lanjutnya, akhirnya melontarkan pertanyaan yang selama ini mengendap dalam diamnya, menggumpal dalam hatinya yang penuh luka.

Livy menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan yang nyaris meledak. Ia tidak sanggup menjawab, tak tahu harus mulai dari mana. Namun ia pun sadar, bahkan jika ia memilih pergi saat ini juga, Rei tidak akan membiarkannya begitu saja. Pria itu akan terus mengejarnya, menuntut jawaban yang selama ini ia sembunyikan.

“Baiklah,” ucap Livy dengan nada sarkas, mengangkat dagunya sedikit, berusaha menutupi kegugupan yang mulai menggerogoti. “Kau mau tahu alasannya, kan?”

Tatapannya kini menantang, tapi suaranya bergetar saat melanjutkan, “Aku terpaksa. Aku terpaksa karena aku harus mengikuti permintaan keluargaku. Aku harus pindah... dan dijodohkan.” Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya. “Aku kembali ke sini lagi karena keluargaku pindah tugas… sekaligus untuk mengikuti calon suamiku nanti.”

Kata-kata itu meluncur cepat, tapi terasa begitu berat baginya untuk diucapkan. Ucapan itu membuat atmosfer berubah drastis, seperti ada sesuatu yang pecah di antara mereka.

Rei terpaku. Jantungnya berdegup tak karuan. Matanya menatap kosong ke arah Livy, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Apa katanya?” gumamnya dalam hati, kemudian mengulang dengan suara lirih, “Kau… dijodohkan?”

Kata itu seolah memukulnya keras. Napasnya tercekat. Ia tak tahu harus merasa marah, kecewa, atau hanya pasrah pada kenyataan yang tak pernah ia harapkan.

Sementara itu, mata Livy mulai berkaca-kaca. Ia dapat melihat jelas raut kecewa dan luka di wajah Rei, dan itu menyayat hatinya lebih dari apa pun. Ia hanya mampu mengangguk pelan, menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang hampir tumpah.

Rei mengusap wajahnya dengan kasar, tangannya gemetar, dadanya terasa sesak. Ia tak tahu lagi harus mengatakan apa. Lidahnya kelu, pikirannya kosong. Yang ia rasakan hanyalah perih yang mengendap di relung hatinya.

“Hei, ternyata kalian di sini. Kalian dipanggil ke ruang guru.”

Suara Hana terdengar tiba-tiba, mengejutkan Rei dan Livy. Entah sejak kapan gadis itu muncul, langkahnya ringan dan tanpa suara. Keduanya refleks menoleh, menatap Hana tanpa berkata sepatah kata pun.

Rei masih terpaku di tempatnya, pikirannya masih melayang pada percakapan barusan, sementara Livy langsung mengambil langkah cepat, meninggalkan mereka tanpa menoleh lagi. Hana memandangi mereka bergantian dengan alis sedikit berkerut. Ia dapat merasakan suasana aneh di antara mereka, tapi memilih untuk tidak bertanya. Meski rasa penasaran mulai menjalar dalam dirinya, ia pun segera melangkah pergi.

 

Malam harinya, suasana di mansion tetap berjalan seperti biasa. Tidak ada keributan, tidak ada canda tawa antara Hana dan si kembar. Sejak pulang sekolah, Hana lebih memilih mengurung diri di kamar. Bahkan saat waktu makan malam pun tiba, ia tak kunjung turun. Nyeri di perutnya masih terasa menusuk, membuatnya enggan melakukan banyak hal. Adara sempat membantunya, dan kini Hana hanya ingin beristirahat dengan tenang.

Hana sempat terlelap, namun beberapa saat kemudian ia terbangun karena ingin ke toilet. Ia bangkit perlahan dari ranjang, dan sekilas matanya melirik ke arah meja belajar—Rei masih di sana. Duduk dengan ekspresi datar, sibuk dengan entah apa yang sedang ia kerjakan. Tapi Hana tak peduli. Ia sedang tidak ingin berbicara banyak, apalagi dengan pria itu.

Setelah dari toilet, Hana berjalan kembali menuju tempat tidurnya. Namun langkahnya terhenti sejenak ketika mendapati Rei kini sudah berada di dekat ranjangnya, membawa kompresan hangat di tangannya.

“Sedang apa kau?” tanya Hana datar, matanya menatap Rei dengan penuh tanya.

Rei mengangkat kompresan perlahan. “Sini, biar aku kompres. Kau kesakitan, kan?”

Hana diam. Tidak langsung menjawab. Ia tak menyangka pria itu akan sejauh ini memperhatikannya.

“Tidak perlu. Aku bisa sendiri,” tolak Hana, mencoba tetap tegar.

Namun Rei tetap bertahan di tempatnya. “Biar aku saja. Kau butuh ini.”

“Aku bilang, aku bisa sendiri. Jangan memaksaku,” ucap Hana lebih keras, suaranya nyaris seperti teriakan. Ada ketegangan dalam nadanya, seolah ada amarah yang tersembunyi.

Rei terdiam, kaget melihat reaksi Hana yang begitu tajam. Ia hanya ingin membantu, namun justru disambut kemarahan yang tak ia mengerti.

“Pergilah,” ujar Hana pelan tapi dingin, suaranya datar, tidak ingin perdebatan lebih panjang.

Rei akhirnya bangkit dan menjauh tanpa kata. Ia tidak ingin memperkeruh suasana. Tapi hatinya bertanya-tanya… kenapa Hana begitu marah? Apakah hanya karena nyeri yang ia alami? Atau ada sesuatu yang lebih dalam yang belum ia ketahui?

Diam-diam, Rei menyadari bahwa ada sisi dari Hana yang belum pernah ia pahami sepenuhnya.

1
Na Noona
lanjut dong, dri kemarin ga up up
Ayu Sipayung: Sedang proses kk, sabar ya.....

jangan lupa baca karya terbaru author sembari menunggu up selanjutnya ya...
total 1 replies
Na Noona
belum up tor
na Nina
lanjut
na Nina
lanjut tor
Na Noona
up tor
Na Noona
up tor, aku sukaaa ceritanya
Chachap
kurang panjang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!