Sekuel SEKRETARIS KESAYANGAN
~
Meira pikir, setelah direktur marketing di perusahaan tempat dia bekerja digantikan oleh orang lain, hidupnya bisa aman. Meira tak lagi harus berhadapan dengan lelaki tua yang cerewet dan suka berbicara dengan nada tinggi.
Kabar baik datang, ketika bos baru ternyata masih sangat muda, dan tampan. Tapi kenyataannya, lelaki bernama Darel Arsenio itu lebih menyebalkan, ditambah pelit kata-kata. Sekalinya bicara, pasti menyakitkan. Entah punya masalah hidup apa direktur baru mereka saat ini. Hingga Meira harus melebarkan rasa sabarnya seluas mungkin ketika menghadapinya.
Semakin hari, Meira semakin kewalahan menghadapi sikap El yang cukup aneh dan arogan. Saat mengetahui ternyata El adalah pria single, terlintas ide gila di kepala gadis itu untuk mencoba menggoda bos
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkiTa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Buah tak jauh jatuh dari pohonnya
Meira memang sering menggerutu kesal, bahkan tak jarang dia merutuki Warsono, tiap kali dia merasa terintimidasi atas tingkah laku lelaki paruh baya itu. Memang Meira paham, segala kelakuan lelaki itu bukan di sengaja, melainkan karena usia Warsono yang tak muda lagi, tentu saja sedikit kesulitan dalam memahami seseuatu yang baru.
Gadis itu masih mencoba menenangkan diri, mengambil napas dalam-dalam. Antara percaya dan tidak, dengan kabar yang baru saja dia dengar. Bos yang sehari-hari selalu bersamanya, kini telah tiada. Pandangan Meira langsung tertuju pada pintu ruangan di hadapannya. Seketika, Meira merinding.
Dengan lutut yang masih gemetaran, gadis itu melangkahkan kakinya menuju ruangan para staf marketing. Terdengar riuh tawa riang di pagi hari, seperti biasa sebelum bos datang, mereka akan bersenang-senang menghibur diri.
“Kalian bisa tenang dulu, nggak?” suara Meira menghentikan tawa mereka. Meira tidak tahu harus seperti apa menggambarkan perasaannya kini. sedih? sepertinya tidak. Mungkin, lebih tepatnya dia syok. Iya benar.
“Sini gabung, tegang banget tuh muka kayak kanebo kering.” celetuk Dafa.
“Tauk tuh, dari tadi kesel mulu padahal pak botak belum datang—“
“Pak Warsono meninggal.” tegas Meira.
Lantas sebagian dari mereka ada yang tertawa cukup nyaring. “Jangan ngeprank Mei. Kita tau lo kesal setengah mampusss sama beliau, tapi nggak gitu juga.” ucap Nia.
“Innalillahi.” sambung Andi, ya hanya dia yang bersikap waras atas respon dari kabar yang Meira berikan. Staf baru yang sedikit culun itu pun berdiri. “Mbak Mei serius?” tanya lelaki itu.
“Muka gue tegang begini, menurut lo pada, gue bercanda?” Meira kembali terduduk lemah di kursi kosong yang tersedia di sebelah Daffa.
“Ya ampun—“ Nia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Merasa menyesal menganggap ini bercanda, apalagi, tiga hari lalu dia sempat kesal dan memaki bos mereka itu dalam hati, karena kesal dengan bos yang tidak percaya dengan data yang dia berikan.
“Jadi gimana nih? kita ngelayat, kan?” tanya Daffa lagi.
“Gue bingung.” Meira memegang kepalanya, bisa di bayangkan, orang-orang yang sehari-hari bersamanya di kantor kini telah tiada. Meira yakin malam ini, dia tidak akan bisa tidur dengan nyenyak.
“Almarhum sih, suka marah-marah kan pasti tensi darahnya naik—“
“Nggak baik bicarakan orang yang udah nggak ada, Nia. Jaga mulut lo!” kesal Meira. entahlah Meira hanya bingung saja dengan keadaan ini. Belum lagi, hari ini, dan beberapa hari ke depan, jadwal almarhum bosnya itu cukup padat. Untuk bertemu dengan beberapa klien. Bagaimana dia menghandle semuanya, sendirian?
🌸🌸🌸
“Udah dengar kabar hari ini, kan?” Ibra yang kini masih bersemangat menjalani hari-harinya sebagai pemimpin di perusahaannya sendiri, menelpon anaknya Darel Arsenio yang kala itu sedang menduduki posisi sebagai staf divisi marketing di perusahaan property miliknya.
Ya, dia tidak serta merta memberikan Darel posisi yang tinggi di perusahaan. Anak semata wayangnya itu harus memulai dan mengerti dari posisi yang rendah, minimal staf. Jika pengalaman dan hasil kinerjanya semakin baik, makan Ibra tidak ragu untuk memberikannya posisi yang lebih layak pada anaknya yang kini berusia dua puluh tujuh tahun itu.
“Belum, ayah.” ucapnya dengan nada halus.
“Warsono, direktur pemasaran di perusahaan cat kita, meninggal karena serangan jantung.” jelas Ibra.
“Ya, terus?” Darel, sifat acuh tak acuhnya tentu saja dia turunkan dari sang Ayah. Memang buah tak jauh jatuh dari pohonnya, tak hanya ketampanan yang El warisi darinya, tapi juga sifat. Kadang, Ibra sendiri kelimpungan menghadapi sikap anaknya yang termasuk sulit untuk di ajak bicara baik-baik, Darel hanya akan bersikap manis dan baik, kepada seorang wanita yang amat dicintainya setengah mati, yaitu bundanya.
“Menurutmu, untuk apa ayah mengabarkan ini?” suara Ibra agak meninggi, perdebatan kecil dan besar memang kerap terjadi di antara mereka.
“To the point aja, Yah. aku lagi sibuk.” tegas El.
Ibra berdecak, “Serahkan apa yang lagi kamu kerjakan, kepada rekanmu. Kamu temui ayah di atas sekarang!” titah Ibra, langsung memutus panggilan begitu saja.
Jika ayah sudah berkata tegas ditambah dengan nada tinggi, itu artinya ada hal yang sangat penting untuk di bicarakan. El tidak menggunakan lift khusus para pimpinan, untuk naik ke ruangan ayahnya. Layaknya staf lain, dia menggunakan lift umum. Meski El berupaya menyembunyikan tentang siapa dirinya, namun orang-orang di perusahaan tidaklah bodooh, dan langsung bisa menerka dia siapa, dari nama belakangnya, Arsenio. Menyebalkan.
Saat sebagian orang bisa merasa bangga menjadi anak pemilik perusahaan, El justru risi dan tidak nyaman. Apalagi, banyak staf-staf wanita yang sering mencari perhatian dengannya, namun jangan harap perhatian itu akan berbalas, karena El tidak pernah peduli. Bahkan sebagian dari wanita-wanita di sana menganggapnya tidak selera dengan mahluk yang namanya perempuan.
🌸🌸🌸
Next? jangan lupa like dan koment hihi biar rame