"Ivy nggak sengaja ketemu sama kamu dan Nabilah. Kamu--sabtu kemarin itu--ketemuan kan sama Nabilah di Rainbow Caffee?!"
Sempet ada jeda sebentar, yang akhirnya Matias berbicara juga. "I-iya, t-tapi a-aku ng-nggak ka-kayak yang kamu pikirin. Aku sama Nabilah pun nggak ada hubungan apa-apa. Murni ketemuan sebagai temen. Aku cuman cinta sama kamu, Ke."
Ternyata Kezia masih mau memaafkan Matias. Berlanjutlah kisah cinta mereka. Hanya saja, jalan di hadapan mereka berdua semakin terjal.
Berikutnya, tidak hanya tentang Matias dan Kezia. Ada juga kisah Martin Winter dan Vanessa Rondonuwu. Pun, kisah-kisah lainnya. Kisah yang sama manisnya.
Terima kasih banyak yang sudah menyimak season one RAINY COUPLE di tahun 2020 silam. Kali pertama aku menulis novel di platform.
NOVEL INI PERNAH MELEDAK DI NOVELTOON DI TAHUN 2020 SILAM!
Season 1 Rainy Couple
(https://noveltoon.mobi/id/share/102447)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sejak Kenal Ngana, Sekonyong-konyong Harmonis
Pagi itu, suasana rumah Kezia terasa dingin walaupun matahari mulai bersinar terik. Bukan karena cuaca, melainkan karena suasana hati di dalamnya. Setelah pertengkaran kecil dengan Thalia tadi pagi, Kezia memilih mengurung diri di kamar.
Tak berselang lama, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Kali ini bukan Melisa. Sosok yang mendekat dan kemudian mengetuk pintu kamar Kezia adalah Martin.
"Celine... bisa mo masuk, kah?" suara Martin pelan.
Kezia tak langsung menjawab. Karena dia tahu, Martin bukan tipikal yang suka mengganggu, Kezia pun mengangguk pelan dari balik pintu yang sedikit terbuka.
Martin masuk pelan-pelan, duduk di kursi rotan dekat jendela. Ia menatap Kezia, lalu berkata dengan nada hati-hati, "Celine... ngana baik-baik jo kah?"
Kezia menarik nafas dalam. Ia menggeleng. Tak ada kata-kata keluar, hanya sorot mata yang sudah lelah menahan beban.
Martin tidak langsung bertanya lebih lanjut. Ia tahu Kezia sedang rapuh.
"Ada masalah ulang dengan Kak Thalia, kah?" tanya Martin pelan.
Kezia mengangguk. "Biasa, Matias ulang. Semua yang de bilang, salah di mata dia. Seolah-olah kita tra bisa pilih laki-laki sendiri. Dia pikir dia paling tau mana yang cocok."
Martin tersenyum simpul, tapi bukan senyum mengejek.
"E do do e... Kak Thalia itu keras kepala skali memang. Tapi dia sayang ngana. Cuma caranya bae itu kadang macam tentara."
Kezia tergelak pelan.
"Tapi Celine," lanjut Martin. "Jo mo bilang satu hal jo. Aku nyanda mo campur soal Matias, nyanda kayak dulu-dulu ulang. Aku sekarang, ada yang lain mo aku pikir."
Kezia menoleh, penasaran. "Apa?"
Martin tersipu, lalu tertawa kecil. "Ada cewek yang baru kenal di kafe kemarin. Namanya Vanessa."
"Eh?" Kezia mengangkat alisnya.
Martin lalu menggeser duduknya lebih dekat. Ia tampak bersemangat sekali.
"Dia orang Sangihe. Tapi paham Tagalog juga. Cakep, baik, terus kurasa, dia lain dari yang pernah kenal. Ndak banyak tanya soal kerjaan juga, dia cuma tanya, 'Ngana sayang sungguh kah?'"
Kezia ikut tersenyum. "Lucu ngana. Jadi suka ngana sama itu cewek?"
Martin mengangguk mantap. "Belum pernah rasa macam ini, Celine. Rasa-rasanya, su ketemu yang seirama."
Kezia menatap Martin lama. Dalam diamnya, ia ikut merasa bahagia. Mungkin memang sudah waktunya, pikir Kezia, untuk tidak berharap Martin selalu ada di belakangnya, menanti-nanti cinta yang tak kunjung datang.
"Aku senang dengarnya, Tin," ucap Kezia pelan. "Ngana pantas bahagia juga."
Martin tersenyum penuh syukur.
"Jo mo bilang, jangan terlalu lama Celine tahan diri. Kalau Matias bikin Celine tra nyaman, tra bahagia, coba pikir ulang. Jangan cuma bertahan karena takut sendiri."
Kezia menatap lantai. Kata-kata Martin menggugah hatinya.
"Tapi, yakin ngana tau apa yang terbaik."
Tiba-tiba, suara teriakan Melisa terdengar dari luar kamar.
"Martin! Ko ada di atas kah? Rio telepon ko. Katanya ada yang nyari ko. Namanya Vanessa!"
Martin kaget, lalu berdiri reflek. "Eh? Serius kah?"
"Serius! Buruan turun!"
Martin melirik Kezia. "Nda papa jo kalo turun?"
Kezia mengangguk. "Turun jo. Kasih kabar Vanessa. Bilang aku titip salam juga."
Martin tertawa, lalu mengepalkan tangan seperti memberi semangat. "Celine kuat. Aku percaya."
Tak lama kemudian, Martin turun ke bawah dan menelepon balik Rio. Setelah beberapa menit bicara, Martin berjanji akan bertemu Vanessa sore nanti di sebuah taman kota. Sementara itu, di kamar atas, Kezia kembali terduduk di tempat tidurnya. Namun kini senyum kecil tampak di sudut bibirnya. Ia bahagia, setidaknya satu orang yang dulu menaruh hati padanya, kini menemukan seseorang yang membuat hatinya bernyanyi.
*****
Sore hari, di taman kota
Martin berdiri dekat air mancur, mengenakan kaus biru langit dan celana jins lusuh. Dari kejauhan, Vanessa datang dengan kaus merah jambu, kardigan kuning, dan rok selutut berwarna putih. Senyuman Vanessa memancar, membuat Martin gugup.
"Ngana datang tepat waktu jo," ucap Vanessa.
"Ndak sabar mo ketemu ngana," jawab Martin jujur.
Mereka berjalan bersama menuju bangku taman.
"Vanessa, mo bilang satu hal," ucap Martin dengan suara pelan. "Dari pertama lihat ngana, sepertinya ada nada yang dicari-cari selama ini."
"Nada?"
Martin tersenyum. "Iya. Rasa hati ini macam musik. Dulu bunyinya kacau. Tapi waktu kenal ngana, tiba-tiba sekonyong-konyong harmonis. Rasa-rasanya su ketemu yang seirama."
Vanessa tersipu, lalu tertawa kecil. "Ngana manis skali, Martin."
"Ah, serius ini. Jo mo bilang, kalo ngana mo kasih kesempatan, berjanji nyanyi for ngana, bukan cuma di pesta, tapi sampai hidup ini habis."
Vanessa menatap Martin dalam-dalam. Ia tersenyum, lalu mengangguk pelan.
"Kalau begitu, mari nyanyi sama-sama."