ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 : Jamuan Sabtu Malam
Sinar matahari pagi menelusup lewat tirai tipis jendela kamar Elina. Ia terbangun dengan rasa kantuk yang belum tuntas, tapi pikirannya langsung dipenuhi oleh kejadian semalam.
Wajah Adrian. Nada suaranya. Tatapan tajamnya. Dan kalimat itu..."Kenapa aku ingin selalu menyelamatkanmu?"
Elina menatap langit-langit kamar sempitnya. Ia menarik napas panjang. Hatinya campur aduk. Malu. Bingung. Tapi juga... hangat. Ada sesuatu dalam sikap Adrian yang tidak bisa ia tolak, meski nalurinya terus memintanya menjaga jarak.
Ia bergegas bangun, bersiap untuk bekerja. Hari ini adalah hari kerja biasa di TK, tempat yang selalu memberinya sedikit kedamaian. Tapi hari ini berbeda. Ada beban di dadanya yang lebih dari biasanya.
Di sisi lain kota, di rumah megah Leonhart...
Adrian duduk di ruang makannya, menatap roti panggang yang belum disentuh. Claire duduk di seberangnya, dengan senyum manis dan mulut kecil yang terus berbicara tentang tugas seni dan teman barunya di sekolah.
"Daddy?" Claire memanggil, membuat Adrian tersadar.
"Hm?"
"Daddy tidak makan?"
Adrian tersenyum kecil. "Maaf. Daddy sedang memikirkan sesuatu."
Claire mendekatkan kursinya. "Tentang Miss Elina, ya?"
Adrian menatap putrinya, sedikit terkejut. "Kenapa kamu pikir begitu?"
"Karena Daddy selalu memikirkan Miss Elina. Dan karena Daddy selalu senyum sendiri setiap aku bilang namanya," ujar Claire polos.
Adrian tertawa kecil, tapi tidak menjawab. Ia hanya mengacak rambut putri kecilnya dengan lembut.
Tak lama kemudian, ia mengantar Claire ke sekolah seperti biasa. Tapi kali ini, bukan hanya untuk menemani putrinya. Ia ingin memastikan... Elina baik-baik saja.
Di gerbang sekolah TK...
Elina sedang membantu salah satu murid turun dari mobil orang tuanya ketika suara langkah cepat menghampirinya dari arah gerbang. Saat menoleh, ia mendapati Adrian berdiri di sana, mengenakan jas abu-abu dan tatapan yang tak bisa ditebak.
Elina membeku. "Tuan Leonhart?"
"Boleh bicara sebentar?" tanyanya, dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.
Elina mengangguk, lalu menoleh ke guru lain untuk minta izin meninggalkan barisan anak-anak. Mereka berjalan ke sisi taman kecil di samping gedung sekolah.
"Aku minta maaf," kata Adrian tiba-tiba. "Kalau semalam aku membuatmu tidak nyaman."
Elina menggeleng. "Tidak... aku yang harusnya minta maaf. Seharusnya aku tidak..."
"Kamu tidak salah," potong Adrian. "Kamu sedang berusaha bertahan. Dan aku... mungkin salah karena terlalu ingin melindungimu."
Elina menunduk. "Tapi aku bukan tanggung jawab anda Tuan Adrian!"
Adrian menatapnya lama. "Aku tahu!"
Sunyi menggantung di antara mereka. Lalu bel sekolah berbunyi dari kejauhan.
Elina menarik napas, menguatkan diri. "Terima kasih... karena kamu tidak menghakimi."
Adrian mengangguk pelan. "Dan kamu harus tahu... kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan."
Mereka berpisah di antara deru langkah kaki anak-anak dan suara tawa kecil yang mulai memenuhi halaman. Tapi ada sesuatu yang berubah. Perasaan yang tidak lagi bisa disangkal, dan jarak yang perlahan mulai menghilang.
...****************...
Sabtu malam turun dengan angin sejuk yang menggesek lembut jendela mobil. Adrian mengemudi sendiri, sementara Claire duduk di kursi belakang, memeluk boneka kelinci kesayangannya.
"Nenek bilang malam ini ada puding cokelat," gumam Claire penuh semangat.
Adrian menoleh sejenak lewat kaca spion, bibirnya tersenyum kecil. "Tapi jangan minta dua mangkok seperti minggu lalu, ya."
Gadis kecil itu tertawa, dan sejenak, dunia terasa normal.
Ia benar-benar tak menduga ada sesuatu di balik undangan neneknya malam itu. Ajakan makan malam keluarga, lengkap dengan permintaan khusus untuk membawa Claire, terdengar seperti perhatian seorang nenek biasa. Tidak ada peringatan, tidak ada kecurigaan.
Mobil mereka berhenti di halaman depan rumah tua keluarga Leonhart, berdiri megah dengan lampu taman yang menyala temaram. Pelayan membukakan pintu dengan sikap hormat. Tapi begitu melangkah ke ruang tamu, Adrian langsung tahu, ini bukan sekadar jamuan keluarga.
Seorang wanita muda berdiri anggun di sana, mengenakan gaun satin berwarna merah marun, rambutnya disanggul rapi, dan senyum manis menghiasi wajah cantiknya. Tapi yang paling mencolok dari semuanya: dia bukan bagian dari keluarga Leonhart.
Nenek Adrian muncul dari arah ruang makan, sorot matanya penuh harap. "Ah, Adrian, akhirnya kau datang! Ini Lilian Crowe, putri dari keluarga Crowe, kau tahu kan? Duduklah, kita makan malam bersama."
Adrian berdiri membeku beberapa detik sebelum mengangguk kaku. "Tentu."
Lilian menyodorkan tangannya. "Senang sekali bisa bertemu dengan Anda, Tuan Leonhart. Dan ini pasti Claire? Manis sekali."
Claire hanya mengangguk canggung. Ada sesuatu dari suara wanita itu yang terdengar... tidak sungguh-sungguh. Dan Claire, meski masih kecil, bisa merasakannya.
"Kasihan sekali, hidup tanpa ibu, ya?" ucap Lilian tiba-tiba, setengah berbisik ke arah Claire.
Adrian menoleh cepat. Tatapannya tajam. "Saya lebih suka tidak membicarakan hal itu, Nona Crowe!"
"Oh! Maafkan saya. Hanya bercanda...!" ucapnya sambil tertawa pelan. Tapi ada kedutan kecil di sudut bibirnya, seolah menahan kekesalan yang nyaris tak terlihat.
Makan malam dimulai. Di depan nenek, Lilian tampak sempurna. Ia tertawa pada waktu yang tepat, menyuapi Claire potongan kecil puding cokelat, bahkan memuji betapa baiknya Adrian sebagai ayah tunggal. Tapi Adrian mengamati lebih dalam. Di bawah meja, Lilian menyikut kursi Claire dengan tidak sabar saat gadis itu lambat makan. Saat Claire tanpa sengaja menjatuhkan sendok, tatapan dingin menghujam dari balik senyuman.
Ia membenci anak-anak. Itu jelas. Senyumannya hanya topeng.
Adrian menyadari semuanya, dan seiring berjalannya jamuan, detak hatinya semakin berat.
Usai makan malam, sebelum Lilian sempat mengeluarkan jurus rayuan berikutnya, Adrian berdiri.
"Terima kasih untuk jamuannya. Tapi kami harus pulang, sudah cukup malam untuk Claire."
Neneknya mencoba membujuk, "Adrian, baru saja mulai..."
"Lain kali saja," potong Adrian tegas. Ia menggenggam tangan Claire erat, tak menoleh lagi pada wanita di ruang makan itu.
Begitu mobil melaju meninggalkan kediaman megah itu, Claire bersuara pelan. "Daddy...aku nggak suka dia. Dia pura-pura baik. Dan dia menyeramkan."
Adrian menoleh sejenak dan mengusap kepala putrinya lembut. "Kamu anak pintar. Dan kamu nggak perlu takut. Daddy janji, dia nggak akan pernah jadi bagian dari hidup kita."
Claire mengangguk, lalu tersenyum kecil. Tapi di hati Adrian, kemarahan mulai tumbuh pelan-pelan. Ia tahu, wanita seperti Lilian dan permainan seperti ini, bukan hal baru dalam dunia mereka. Tapi kali ini, itu menyentuh satu hal yang paling berharga baginya: Claire.
Dan ia tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya.
...****************...
Suasana ruang makan mendadak lengang begitu suara pintu depan menggaung menandakan kepergian Adrian dan Claire. Sisa aroma daging panggang dan teh hangat tidak cukup untuk mengusir hawa dingin yang menyelimuti meja panjang keluarga Leonhart.
Nyonya besar Leonhart meletakkan sendok garpunya dengan tenang, namun sorot matanya menyiratkan kekecewaan yang tak tersembunyi. Ia menatap pintu yang telah tertutup rapat, sebelum akhirnya beralih menatap Lilian yang masih duduk rapi di seberangnya.
"Dia meninggalkan meja makan... bahkan tidak menghiraukan ucapanku!" Suaranya tenang, namun tegas. "Sejak kapan cucuku kehilangan etika?"
Lilian tersenyum kaku, menyembunyikan kekesalan yang merayap. "Mungkin karena saya belum cukup menarik untuk membuatnya bertahan lebih lama."
Nyonya Leonhart hanya menanggapi dengan anggukan kecil. "Adrian memang keras kepala. Dia butuh waktu, tapi lebih dari itu... dia butuh diingatkan tentang tanggung jawabnya sebagai pewaris nama besar keluarga ini."
Lilian meneguk anggurnya sebelum menjawab, "Saya sudah berusaha, Nyonya Leonhart. Saya bersikap ramah, bahkan pada Claire..."
Nenek Adrian menajamkan pandangannya.
"Claire?!"
Lilian mengangguk. "Ya, Claire. Saya mencoba... sungguh."
Hening sesaat sebelum Nyonya besar Leonhart bersandar pelan di kursinya. "Aku tahu Claire bukan anak yang mudah ditaklukkan, tapi dia adalah segalanya bagi Adrian... dan bagiku. Jika kau ingin menjadi bagian dari keluarga ini, mulailah dari anak itu."
Lilian membuka mulut, ragu. "Saya tidak terbiasa berurusan dengan anak kecil. Tapi... saya bisa belajar."
Sang nenek menatapnya dengan tajam, tapi kali ini tak sekeras sebelumnya. "Aku tidak buta, Lilian. Aku tahu mana perhatian yang tulus dan mana yang dibuat-buat. Tapi jika kau mampu berpura-pura dengan baik, jika Claire merasa dicintai... maka aku bisa mentoleransi itu."
Ia meneguk teh, lalu menambahkan, "Asalkan tidak ada satu tetes pun air mata gadis kecil itu yang disebabkan olehmu. Karena jika itu terjadi... kau bukan hanya kehilangan Adrian, tapi juga perlindunganku."
Wajah Lilian menegang sejenak sebelum ia menundukkan kepala. "Saya mengerti, Nyonya Leonhart."
"Bagus." Nyonya Leonhart meletakkan cangkirnya, lalu berdiri dengan sikap anggun yang tegas. "Ingat ini: dalam keluarga Leonhart, seorang ibu bukan hanya pendamping, tapi penjaga. Claire butuh seorang wanita yang bisa merangkulnya. Bukan sekadar wanita cantik yang mengejar nama belakang."
Lilian hanya bisa mengangguk pelan, dengan senyum kecil yang perlahan-lahan berubah menjadi tekad licin.