Gagal menikah!One night stand dengan pria asing yang tak dikenalnya.
Anggun terancam dijodohkan oleh keluarganya, jika dia gagal membawa calon suami dalam acara keluarga besarnya yang akan segera berlangsung.
Tapi secara tak sengaja berpapasan dengan pria asing yang pernah bermalam dengannya itu pun langsung mengajak si pria menikah secara sipil.Yang bernama lengkap Sandikala Mahendra.Yang rupanya Anggun tidak tahu siapa sosok pria itu sebenarnya.
Bukan itu saja kini dia lega karena bisa menunjukkan pada keluarga besarnya jika dia bisa mendapatkan suami tanpa dijodohkan dengan Darma Sanjaya.
Seorang pemuda playboy yang sangat dia benci.Karena pria itu telah menghamili sahabat baik Anggun tapi tidak mau bertanggung jawab.Pernikahan asal yang dilakukan Anggun pun membuat dunia wanita itu dan sekaligus keluarga besarnya menjadi berubah drastis dalam sekejap.
Akankah pernikahan Anggun berakhir bahagia?Setelah mengetahui siapa sosok pria itu sebenarnya?Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mitha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Anggun menatap undangan berlapis emas di tangannya. Perkumpulan istri pengusaha. Nama Kala tercetak jelas di dalamnya, mengidentifikasinya sebagai "Nyonya Kala Pranaja."
Anggun menghela napas panjang. Ia masih belum terbiasa dengan status ini. Kala mungkin sudah mengakuinya sebagai bagian dari hidupnya, tapi dunia luar masih terasa asing.
Di tempat lain, Kala menutup laptopnya dengan kasar begitu sekretarisnya, Nadira, memberitahu kabar itu.
"Undangan itu datang langsung ke rumah? Dan dia menerimanya?" Suaranya terdengar tegang.
Nadira mengangguk. "Ya, Pak. Ibu Anggun sudah memastikan kehadirannya."
Kala mengusap wajahnya. Ini bukan tentang dirinya yang malu atau tak ingin memperkenalkan Anggun, tapi ia tahu bagaimana dunia itu bekerja. Para istri pengusaha bukan sekadar berkumpul untuk berbincang ringan—mereka penuh perhitungan, licik, dan mampu merusak seseorang dengan sekali kalimat.
Anggun tidak seharusnya menghadapi mereka sendirian.
Kala meraih ponselnya, menekan nomor Anggun.
"Hei," suara lembut Anggun terdengar di seberang.
"Kau menerima undangan itu?" Kala langsung ke inti.
Anggun tersenyum kecil. "Ya. Kenapa? Kau keberatan?"
Kala terdiam sejenak. "Bukan begitu. Aku hanya tidak ingin mereka memperlakukanmu dengan tidak baik."
"Kau meragukan aku bisa menghadapinya?"
"Bukan itu, Anggun. Dunia mereka penuh dengan permainan. Mereka mungkin akan menguji atau merendahkanmu."
Anggun terkekeh. "Kala, aku bukan gadis lemah yang tidak bisa menghadapi sedikit tekanan."
Kala menghela napas. "Aku akan menemanimu."
"Tidak perlu," potong Anggun. "Jika aku ingin berdiri di sisimu, aku harus bisa menghadapi mereka sendiri, bukan?"
Kala terdiam. Ia ingin membantah, tapi ada kebanggaan dalam suara Anggun yang membuatnya tersenyum kecil.
"Baiklah," ucapnya akhirnya. "Tapi jika terjadi sesuatu, hubungi aku."
"Tentu, Tuan Pranaja."
Kala bisa mendengar senyum dalam suaranya, tapi tetap saja, hatinya tak tenang.
—
Hari pertemuan tiba. Anggun melangkah masuk ke ballroom hotel dengan percaya diri, mengenakan gaun elegan berwarna navy. Seluruh ruangan terdiam sesaat ketika ia muncul, sebelum bisikan-bisikan kecil mulai terdengar.
Seorang wanita anggun dengan senyum profesional menghampirinya. "Nyonya Kala Pranaja, saya Nina Hartono. Senang bertemu dengan Anda."
Anggun tersenyum dan menjabat tangannya. "Senang bertemu dengan Anda juga."
"Apa ini pertama kalinya Anda menghadiri acara seperti ini?" tanya Nina, matanya penuh selidik.
"Ya," jawab Anggun tanpa ragu. "Tapi saya cukup cepat beradaptasi."
Beberapa wanita lain berkumpul di sekitarnya, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terdengar sopan tapi tersirat ujian.
"Dari keluarga mana Anda berasal?"
"Pernikahan Anda dan Pak Kala cukup tiba-tiba, ya?"
"Apa yang Anda lakukan sebelum menikah?"
Anggun tetap tersenyum, menjawab dengan tenang tanpa membiarkan mereka mengendalikan percakapan. Hingga seseorang berkata dengan nada meremehkan,
"Kami mendengar bahwa Anda bukan berasal dari kalangan bisnis atau sosialita. Anda pasti cukup terkejut masuk ke dalam dunia ini."
Anggun menatap wanita itu, tersenyum kecil. "Benar, saya bukan bagian dari dunia ini sebelumnya. Tapi saya tidak merasa perlu terkejut. Saya percaya dunia ini bukan hanya tentang asal-usul, tapi bagaimana kita menyesuaikan diri dan berkembang."
Beberapa wanita saling bertukar pandang, terkesan dengan jawabannya. Namun, seorang wanita lain tersenyum sinis.
"Menyesuaikan diri memang penting. Tapi, sayangnya, tidak semua orang bisa bertahan."
Anggun balas tersenyum. "Saya rasa itu tergantung pada seberapa kuat seseorang. Saya sendiri cukup percaya diri."
Ketegangan kecil itu terputus ketika seseorang berdehem di belakang mereka. Anggun menoleh, terkejut melihat Kala berdiri di sana dengan ekspresi tajam.
"Maaf, saya terlambat," katanya, melingkarkan tangan di pinggang Anggun. "Apa saya melewatkan sesuatu?"
Anggun tersenyum kecil, sementara beberapa wanita terlihat gelisah dengan kedatangan Kala.
"Tak banyak," jawab Anggun pelan. "Aku hanya membuktikan bahwa aku memang pantas berada di sini."
Kala menatapnya lama, sebelum akhirnya tersenyum bangga. "Aku tidak pernah meragukanmu."
Dan dengan itu, Anggun tahu—ia telah memenangkan pertempuran pertamanya di dunia Kala.
Sendirian.
Setelah acara usai, Anggun berjalan keluar dari ballroom dengan kepala tegak. Di sampingnya, Kala tetap menggenggam tangannya, seolah ingin memastikan ia baik-baik saja.
“Kau tidak perlu datang,” ucap Anggun pelan, meskipun dalam hatinya ia bersyukur Kala muncul di saat yang tepat.
Kala menoleh ke arahnya, sudut bibirnya sedikit terangkat. “Aku tahu kau bisa menghadapi mereka sendiri, tapi aku tidak akan membiarkan mereka meremehkanmu.”
Anggun tersenyum kecil, merasakan kehangatan dalam kata-kata Kala. Namun, sebelum mereka mencapai mobil, seorang wanita dari acara tadi memanggil.
“Nyonya Kala.”
Anggun dan Kala berhenti. Wanita itu, Nina Hartono, mendekat dengan anggun.
“Saya hanya ingin mengatakan, Anda menangani percakapan tadi dengan sangat baik,” ujarnya dengan nada ramah.
Anggun tersenyum. “Terima kasih. Saya hanya menjawab sesuai yang saya yakini.”
Nina melirik Kala sesaat sebelum kembali menatap Anggun. “Saya akan mengadakan acara makan malam pribadi minggu depan. Akan menjadi kehormatan jika Anda bisa datang. Kami butuh lebih banyak wanita seperti Anda dalam lingkaran ini.”
Anggun melirik Kala, mencari reaksinya.
Kala hanya mengangkat alis, lalu menatap Nina. “Kami akan mempertimbangkannya.”
Nina tersenyum sebelum melangkah pergi.
Saat mereka masuk ke dalam mobil, Anggun tertawa kecil. “Kau sepertinya tidak terlalu menyukai lingkaran sosialmu sendiri.”
Kala mendesah. “Mereka lebih sering bermain politik daripada sekadar bersosialisasi. Tapi aku harus akui, kau berhasil menghadapinya dengan sangat baik.”
Anggun menatapnya dengan bangga. “Aku harus berterima kasih karena kau membuatku belajar cepat.”
Kala tersenyum, tapi kemudian matanya menjadi serius. “Aku ingin memastikan satu hal, Anggun. Jika kapan pun kau merasa tidak nyaman, kau tidak perlu memaksakan diri masuk ke dunia ini.”
Anggun terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku tahu, Kala. Tapi jika aku ingin berdiri di sisimu, aku harus kuat. Aku tidak akan lari hanya karena beberapa wanita mencoba menguji atau meremehkanku.”
Kala menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi aku tetap akan selalu ada untukmu.”
Anggun tersenyum. Ia tahu, dengan Kala di sisinya, ia bisa menghadapi dunia mana pun.
"Ternyata, sedikit menyenangkan menjadi Nyonya Kala." Monolog Anggun kemudian.