Lima tahun lalu, Liliane Lakovelli kehilangan segalanya ketika Kian Marchetti—pria yang dicintainya—menembak mati ayahnya. Dikhianati, ia melarikan diri ke Jepang, mengganti identitas, dan diam-diam membesarkan putra mereka, Kin.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali. Kian tak menyadari bahwa wanita di balik restoran Italia yang menarik perhatiannya adalah Liliane. Namun, pertemuan mereka bukan hanya tentang cinta yang tersisa, tetapi juga dendam dan rahasia kelam yang belum terungkap.
Saat kebenaran terkuak, masa lalu menuntut balas. Di antara cinta dan bahaya, Kian dan Liliane harus memilih: saling menghancurkan atau bertahan bersama dalam permainan yang bisa membinasakan mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caesarikai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semakin Penasaran
Karena tak menemukan petunjuk apapun dari Kin, Kian mulai menyelidiki restoran yang ia kunjungi pekan lalu. Hingga muncul sebuah nama, Kaneshiro Yuri.
Rasa penasaran yang memuncak, membawanya hingga berdiri di depan Notte d'Oro. Restoran itu begitu ramai, namun terasa hening bagi Kian saat dia melangkah masuk. Interiornya memancarkan kemewahan khas Italia, dengan lampu-lampu redup dan dekorasi kayu yang elegan. Aroma sake hangat dan daging panggang memenuhi udara, menciptakan atmosfer yang nyaman bagi pelanggan.
Kian tidak tertarik pada semua itu. Yang dia inginkan hanyalah jawaban.
Seorang pelayan segera menyapanya dengan sopan, membungkuk dalam sebagai bentuk penghormatan bagi orang Jepang. “Selamat malam, Tuan. Apakah sudah reservasi?”
Kian melirik pria itu dengan tatapan dingin yang menusuk. “Aku ingin bertemu dengan pemilik restoran ini. Kaneshiro Yuri.”
Pelayan tersebut cukup terkejut, pasalnya Kaneshiro Yuri tak banyak dikenal oleh orang-orang. Hanya beberapa pelanggan tetap yang pernah melakukan negosiasi bisnis dengan Yuri yang mengetahui tentangnya.
Pelayan itu pun tampak sedikit ragu. "Maaf, Tuan. Nona Yuri sedang sibuk. Jika Tuan ingin bertemu dengannya, mungkin bisa membuat janji terlebih dahulu—"
Belum sempat pelayan itu menjelaskan, Kian menyela sudah dengan nada tajam "Katakan padanya, Kian Marchetti ingin berbicara. Ini bukan permintaan."
Pelayan itu terdiam sesaat, sebelum akhirnya mengangguk hormat. “Tunggu sebentar. Aku akan memberitahukannya.” Ucapnya dan segera bergegas masuk ke dapur.
Liliane sedang memeriksa laporan keuangan restoran saat pelayan masuk dengan wajah gugup.
Pelayan tersebut menghampiri Liliane. "Nona Yuri, ada tamu yang ingin bertemu denganmu. Namanya… Kian Marchetti."
Tangan Liliane langsung membeku seketika. Matanya melebar, tetapi ekspresinya segera dikendalikan. Nama itu—nama yang selama ini menghantui masa lalunya—kini terdengar begitu dekat.
Liliane menarik napas dalam, lalu bangkit dengan tenang. Ia berkata dengan wajah datar, tapi tegas. "Bawa dia ke ruang VIP."
Di ruang VIP, Kian membiarkan dirinya duduk di salah satu kursi dekat jendela, memperhatikan suasana sekitar dengan waspada. Restoran ini jelas bukan tempat biasa. Pelayannya terlatih dengan baik, para tamunya tampak berasal dari kalangan elite, dan ada sesuatu dalam cara semua orang berbicara yang menunjukkan disiplin tinggi.
Tak lama, suara langkah sepatu hak tinggi mendekat, dan seorang wanita muncul dari balik tirai pemisah.
Dia mengenakan gaun hitam satin yang jatuh dengan anggun, rambut panjangnya disanggul rapi, dan bibirnya dihiasi lipstik merah menyala. Dengan percaya diri, wanita itu berjalan ke arahnya, setiap gerakannya tampak terukur dan penuh perhitungan. Matanya yang tajam menatap Kian dengan sikap yang hampir familiar.
Namun, sayangnya Kian tidak dapat segera mengenali siapa dia. Sekalipun Kian berusaha keras untuk mengingatnya.
Wanita itu berhenti di hadapannya, lalu membungkuk kecil. “Selamat malam. Aku Kaneshiro Yuri. Kudengar kau ingin bertemu denganku, Tuan?”
Kian menegakkan punggungnya, matanya tak lepas dari wajahnya. “Kian Marchetti.”
Sebuah ekspresi samar melintas di wajah wanita itu, tetapi hanya sekejap, sebelum dia kembali tenang.
“Ah, Tuan Marchetti. Aku sudah mendengar namamu. Salah satu pengusaha terkenal dari Italia, bukan?” nada bicaranya sopan, tapi ada sedikit nada tajam di dalamnya.
Kian tidak membuang waktu. “Aku tidak datang untuk berbasa-basi, Nona Kaneshiro. Aku mencari seorang anak bernama Kin.”
Liliane tidak bereaksi berlebihan. Dia hanya sedikit memiringkan kepalanya, seolah sedang berpikir. “Kin? Nama yang cukup umum. Ada banyak anak bernama Kin di Tokyo.”
Kian menyipitkan matanya. “Bocah itu berbicara dalam bahasa Italia. Dia memanggilku ‘Signore’ saat aku bertemu dengannya di sini. Dan anehnya ..." Dia berhenti sejenak, suaranya sedikit lebih tajam. “Dia bersama dengan pengawal Kaneshiro Takeshi.”
Untuk sesaat, ada keheningan di antara mereka.
Lalu, Liliane tersenyum kecil, menyandarkan diri pada kursinya dengan santai. “Dan apa yang membuatmu berpikir bahwa aku memiliki hubungan dengan anak itu, Tuan Marchetti?”
Kian mengamatinya dengan tajam. “Instingku jarang salah.”
Liliane tertawa kecil, nadanya rendah dan hampir meremehkan. “Insting, ya? Itu hal yang menarik, tetapi aku khawatir kau membuang waktu. Aku menjalankan restoran, bukan panti asuhan.”
Kian mengetuk jemarinya di atas meja, tidak bergeming. “Aku tidak berpikir kau hanya pemilik restoran biasa, Nona Kaneshiro. Kau terlalu tenang. Terlalu terkendali.”
Liliane tersenyum lagi, tapi kali ini ada kilatan bahaya di matanya. “Atau mungkin aku hanya terbiasa menghadapi orang-orang yang berpikir bahwa mereka bisa menggali terlalu dalam.”
Kian mendekat sedikit, menurunkan suaranya. “Aku ingin jawaban. Jika kau tahu sesuatu tentang anak itu, lebih baik katakan.”
Liliane balas mencondongkan tubuhnya, suaranya hampir berbisik. “Aku akan memberimu saran, Tuan Marchetti. Tidak semua pertanyaan perlu dijawab. Dan tidak semua kebenaran layak untuk ditemukan.”
Mendengar itu, Kian mengepalkan tangannya di atas meja. “Kau terdengar seperti sedang menyembunyikan sesuatu.”
Liliane tak mengindahkannya. Ia mengambil gelas sake dari meja dan menyesapnya dengan tenang. “Atau mungkin aku hanya mencoba menyelamatkanmu dari kekecewaan yang tidak perlu.”
Kian menatapnya lebih lama, perasaannya semakin tidak nyaman. Ada sesuatu tentang wanita ini yang mengusik pikirannya—sesuatu yang hampir dikenalnya, tetapi tetap saja terasa asing.
Sebelum dia bisa berbicara lebih lanjut, Liliane memberi isyarat halus kepada pelayannya. “Tolong antarkan tamu kita ke pintu keluar.”
Pelayan itu segera mendekat. “Tuan Marchetti, aku akan mengantar Anda.”
Kian mendecakkan lidahnya, lalu berdiri. Dia tahu dia tidak akan mendapatkan lebih banyak informasi malam ini. Namun, satu hal sudah jelas baginya—wanita ini bukan orang biasa.
Sebelum pergi, dia menatap Liliane sekali lagi. “Aku tidak akan berhenti sampai aku menemukan jawaban.”
Liliane tersenyum tipis, matanya berkilat. “Kalau begitu, aku harap kau siap menerima konsekuensinya.”
Kian tidak menjawab, hanya berbalik dan melangkah pergi. Namun, saat dia melewati pintu restoran, dia tahu bahwa ini baru permulaan.
Sepeninggalan Kian, Liliane segera menghirup rakus udara di sekitarnya. Lima tahun sudah dia tak bertemu dengan mantan kekasihnya itu yang sekaligus merupakan ayah dari putranya. Namun, dia tak pernah menyangka akan bertemu dalam kondisi seperti tadi.
Liliane bahkan harus mengubah penampilannya, makeup yang dipakainya harus bold agar tak ketahuan, dan pakaiannya harus cukup seksi. Untung saja Nanami bergerak cepat dalam mendandaninya. Semoga saja Kian tak mengenalnya tadi.
Tetapi untuk apa Kian menanyakan Kin? Dan hal apakah yang membuat Kian datang ke sini selain menggali informasi tentang putranya?
Saat dirinya sedang melamun, seorang anak lelaki berlari ke arahnya dan menubruk kakinya. "Mommy ..." panggilnya manja.
Liliane tersadar, dia menunduk dan mengelus surai lembut Kin. "Killian ... Kenapa kau datang lagi?"
Kin reflek mendongak untuk menatap ibunya dengan wajah garang. "Mommy benar-benar tidak mengizinkan aku datang ke sini lagi?"
Dan Liliane pun mengangguk dengan senyum penuh kemenangan. "Sesuai perjanjian, Kin ... Kau sudah melanggar aturan dari Mommy beberapa kali."
Namun, bukannya sedih, Kin justru ikut tersenyum. "Tapi hari ini Ayah Ryuu yang membawaku kemari, bukan Mommy ..."
"Mommy tak berhak memarahiku kalau begitu," ucapnya kemudian berlari menuju ke dapur untuk meminta margherita pizza pada koki yang bertugas.
Liliane yang melihat kepergian Kin hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil bersedekap dada. "Anak siapa dia?" gumam Liliane merasa heran dengan sikap anaknya.
Ryuu yang sejak tadi hanya menonton pun mulai tertawa. "Dia tidak mirip denganmu sama sekali."
Mendengar celetukan Ryuu, Liliane menoleh cepat. "Tentu saja. Aku tidak pernah berlaku seperti itu pada Daddy ataupun Jiisan dan Obaasan." Ucap Liliane membela diri.
Ryuu berjalan mendekati Liliane. "Mungkinkah ayahnya?"
"Ayahnya? Ayah siapa?" tanya Liliane bingung.
"Ayah Kin. Ayah biologisnya." Ucap Ryuu.
"Kudengar dia datang lagi," lanjutnya dengan nada tenang.
Ryuu memang tahu sebagian kisah hidup Liliane, tapi dia tidak tahu identitas maupun nama asli Liliane. Ryuu hanya mengetahui bahwa Liliane pernah memiliki hubungan dengan Kian Marchetti, namun hubungan mereka kandas dan Liliane baru sadar dirinya mengandung saat mereka telah selesai.
Liliane sontak menghela napasnya. "Ya, dan kau tidak tahu betapa mengerikannya adegan tadi? Bagaimana jika Kin datang saat dia masih di sini?"
Wanita muda itu menatap Ryuu dengan lekat. "Dengar, Ryuu. Aku bukan melarangmu membawa Kin kemari, hanya saja ... Kau bisa menghubungiku dulu sebelum membawanya. Aku tidak mau hal ini terjadi lagi nantinya."
Ryuu terlihat kikuk, kemudian mengangguk. "Maafkan aku, ini memang kesalahanku. Kin tadi merengek menginginkan margherita pizza, aku tidak bisa membuatkannya di rumah, jadi aku menjemputnya dan membawanya kemari."
"Baiklah, tak apa. Terimakasih untuk perhatianmu pada putraku, Ryuu. Kau sangat baik."
"Tentu. Aku ayahnya juga."[]
***
seruny......
nyesel klo g baca karya ini