Dalam keheningan, Nara Wibowo berkembang dari seorang gadis kecil menjadi wanita yang mempesona, yang tak sengaja mencuri hati Gala Wijaya. Gala, yang tak lain adalah sahabat kakak Nara, secara diam-diam telah menaruh cinta yang mendalam terhadap Nara. Selama enam tahun lamanya, dia menyembunyikan rasa itu, sabar menunggu saat Nara mencapai kedewasaan. Namun, ironi memainkan perannya, Nara sama sekali tidak mengingat kedekatannya dengan Gala di masa lalu. Lebih menyakitkan lagi, Gala mengetahui bahwa Nara kini telah memiliki kekasih lain. Rasa cinta yang telah lama terpendam itu kini terasa bagai belenggu yang mengikat perasaannya. Di hadapan cinta yang bertepuk sebelah tangan ini, Gala berdiri di persimpangan jalan. Haruskah dia mengubur dalam-dalam perasaannya yang tak terbalas, atau mempertaruhkan segalanya untuk merebut kembali sang gadis impiannya? Ikuti kisahnya dalam cerita cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA PULUH EMPAT
Suasana dalam mobil yang semula hening itu seketika berubah saat Nara melontarkan kata-kata yang membuat Gala tertegun. Dia mengamati Nara dengan tatapan penuh tanya, terheran-heran mengapa tiba-tiba Nara yang selalu menjaga jarak darinya, kini malah memberikan respons yang tidak biasa. Menerima ciuman darinya tanpa penolakan.
Ditambah lagi dengan cara Nara yang memanggil Gala, seakan membangkitkan kisahnya bersama Nara yang terkubur jauh.
"Bisa ulang sekali lagi," ucap Gala dengan suara yang sedikit bergetar, tidak percaya dengan kejadian yang baru saja berlangsung. Tapi alih-alih menanggapi permintaan itu, Nara hanya tersenyum simpul dalam hati, senang karena memikirkan fakta bahwa Gilsa sebenarnya adalah adik Gala, bukan istrinya.
Perasaan lega dan bahagia itu membuat Nara ingin segera berbagi kabar baik dengan Gala, tetapi Nara memutuskan untuk menahan diri sejenak.
Nara dengan cepat mengalihkan pandangannya ke arah jalan, mencoba menghindari tatapan intens dari Gala.
"Bisa jalan sekarang, Prof? Saya sudah ngantuk," katanya dengan suara yang berusaha terdengar lelah. Gala masih terpaku sejenak, mencoba memproses perubahan sikap Nara yang tiba-tiba itu.
Dalam keheningan yang kembali menyelimuti Gala akhirnya kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sesampainya di apartemen, Nara dengan cepat berjalan ke dapur meninggalkan Gala yang duduk di sofa, untuk sekedar meluruskan pinggangnya.
"Ara ke dapur sebentar," pamitnya singkat sambil berlalu. Hening seketika mendominasi ruangan. Gala terperangah mendengar kata "Ara" batin Gala baru engeh, pada apa yang Nara ucapkan, nama panggilan yang selama ini hanya pernah ia gunakan dalam masa-masa yang sudah berlalu.
"Ara...? Apa dia telah mengingat sesuatu?" Batin Gala penuh tanya. Jantungnya mulai berdesir, sebuah kegelisahan yang membakar sekaligus membuatnya begitu ingin tahu.
Beberapa menit berlalu, Nara bergerak lincah dari dapur dengan segelas air hangat di tangannya. "Ini diminum obatnya, Mas," ujarnya lembut, sambil menyerahkan obat dan gelas kepada Gala.
Di saat itu, jantung Gala yang semula berdebar dengan tenang, kini berubah menjadi irama yang bergemuruh, menggema di seluruh dadanya. Gala menatap dengan mata terbelalak, kehilangan kata-kata, seakan lidahnya terkunci. Namun, dari dalam kekacauan emosinya, ia berhasil merangkai keberanian untuk meminta klarifikasi pada sang istri.
"Bisa diulang sekali lagi?" Gala meminta dengan suara beratnya, sulit percaya. Nara tersenyum, senyuman itu memancarkan godaan yang tidak tersembunyi, bibirnya yang merekah bagai mengundang dalam rona penuh teka-teki.
"Mas Gala," suaranya gemetar, seolah setiap silabus mengandung debaran. Membuat Gala segera menyamakan posturnya, punggungnya yang sempat bersandar kini tegak seolah ada pegas yang tiba-tiba melejit.
Sedetik kemudian, tanpa peringatan, Nara menjatuhkan diri ke pangkuan Gala, lembut namun begitu tegas. Dunia seakan memperlambat putarannya, dan Gala terpaku, nafasnya tertahan seakan terjebak dalam lukisan hidup yang tak bisa dijelaskan.
"Kamu...?" suaranya tersendat, tak mampu menyusun kata lebih lanjut, takjub dengan tindakan Nara yang mengejutkan.
"Emm... aku merindukanmu, Mas," Nara membisikkan dengan nada parau, matanya menelusuri setiap kedalaman mata Gala, tangannya yang halus melingkar menghangatkan leher Gala.
"Bisa jelaskan, apa maksud dari sikapmu ini...?" Gala akhirnya menemukan suaranya, namun masih terbata, napasnya berbaur dengan aroma kejutan dan ketidakpercayaan yang terpancar jelas di wajahnya.
"Bolehkan, gadis kecilmu ini, merindukanmu? Prof Gala?" Nara mendayu lebih intens, jemarinya menyusuri garis rahang Gala yang tegas, menyulut api dalam hening yang mendadak berkobar.
"Jangan bermain-main denganku, Nara..." suara Gala bergetar dengan nada peringatan yang serius.
"Kenapa? Apa kau merasa khawatir?" bisik Nara sambil menarik kerah kemeja Gala, mendekatkan wajah mereka hingga hampir bersentuhan. Gala menghela nafas berat, merasakan detak jantungnya yang berdegup kencang dan tak teratur, seolah memompa adrenalin yang membanjiri setiap pembuluh darahnya.
Pikirannya yang semula jernih, kini melayang ke arah yang tak terduga, dipenuhi gairah yang menggebu. Dengan gerakan yang cepat dan penuh ketegasan, Gala memutar tubuh Nara agar duduk menghadapnya. Suhu tubuhnya terasa meningkat, darahnya mendesir dengan kecepatan yang memabukkan.
Gala yang tak lagi dapat mengontrol situasi, tanpa peringatan,langsung mencium Nara, mengunci bibir mereka dalam lumatan yang penuh gairah. Nafas mereka tercampur, dan ketika Nara membalas dengan penuh kelembutan, Gala tersentak kaget namun kembali terbuai dalam gairah yang semakin membara.
Mereka terengah-engah setelah ciuman yang begitu mendalam dan penuh nafsu menghabiskan pasokan oksigen di otaknya. Dengan lembut, Gala melepas ikatan bibir mereka, mata sayunya penuh keharuan saat ia menatap Nara dalam diam.
“Apa artinya ini, Nara?” suaranya serak, mencari kejelasan dari apa yang Nara lakukan barusan. “Artinya, aku milikmu, Prof,” jawab Nara dengan suara yang lembut penuh godaan.Bibirnya mendekat pada daun telinga Gala, berbisik lembut membuat bulu kuduk Gala meremang berdiri.
“Aku telah mengingatmu, Mas, mengingat semua petualangan cinta kita yang sempat terhapus dari ingatanku.” Dunia seolah terhenti saat Gala terdiam, mata lelakinya melebar tak percaya.
“Apa ini hanya mimpi...?” bisiknya lembut, jemarinya menangkup wajah Nara yang berseri-seri.
"Ini bukan mimpi, Mas. Yang kamu rasakan ini nyata,” bisik Nara penuh kasih. Gala terdiam, mengambil nafas dalam, sebelum air mata kebahagiaan pecah dari sudut matanya.
Hatinya terasa mekar, saat dia menyadari bahwa doa-doa yang dipanjatkan di malam-malam sepi telah terkabul. Tuhan telah mengembalikan ingatan Nara yang hilang selama bertahun-tahun dengan cara yang paling indah.
"Aku sungguh bahagia, Dek," Gala berbisik lembut di telinga Nara, rasa lega bercampur gembira terpancar dari suaranya. Namun, di balik pelukan hangat itu, Nara jauh lebih merindukan suaminya yang telah ia abaikan selama ini.
"Terlebih aku Mas,Ara teramat merindukanmu" balas Nara, sembari menyurukkan wajah ayunya di leher jenjang Gala, ada rasa malu yang tersirat, namun kalah dengan rasa rindu yang menggebu.
"Emmm...mas tahu, itu yang mas rasakan selama ini" bisik Gala tak ingin kalah.
"Mas..." panggil Nara lembut,suaranya teredam dikulit leher Gala.
"Iya..." sahut Gala terdengar lembut penuh cinta, sembari menatap Nara dengan intens.
"Selama aku tak mengingatmu, apa Mas Gala memiliki teman dekat wanita?" tanya Nara, dengan rasa penasaran yang bercampur ragu. Nara menatapnya, mencoba membaca ekspresi wajah Gala, tetapi Gala hanya tersenyum kecil sembari menggenggam tangan Nara dengan lembut.
"Gak ada, dunia Mas isinya hanya kamu,kamu dan kamu" bisiknya, suaranya terdengar tenang. Deg… jantung Nara seolah berhenti berdetak mendengar jawaban itu. Ternyata cinta yang Gala meliki begitu besar untuknya.
"Hey… kok ngelamun. Apa kamu gak percaya kalau cuma ada kamu?" tanya Gala, mencoba menggoda dengan nada ceria, tetapi Nara justru merasa sedih dan bersalah pada Gala.
"Maaf, karena ingatanku yang buruk, kamu pasti merasa kesulitan menjalani semuanya sendiri. Apa aku merepotkanmu, Mas?selama aku tak mengingat tentang kita?" tanya Nara ingin tahu.
Gala mendekat dan dengan lembut mencubit hidung Nara, matanya berbinar penuh cinta yang mendalam. "Kamu ini tak hanya merepotkan,Mas, Nara. Kamu menyiksa hati dan pikiran Mas, setiap detiknya," ucap Gala dengan nada suara yang jujur melankolis. Nara mengerutkan kening, bingung.
"Maksud Mas..?" tanya Nara dengan bibir manyunnya.
"Apa kamu ingat, jika Kamu bahkan tak mengizinkan sentuhan ringan dari Mas, dan dengan tegas kamu, memasang tembok pembatas diantara kita, bahkan kamu sempat mengeluhkan malu mimilikiku, karena Masmu ini seperti 'om-om' seolah-olah Mas ini orang asing,di matamu. Mas rasa kamu tahu gimana rasanya jadi Mas, tiap hari harus melawan kerinduan pada istri mas sendiri, namun yang dirindukan mengabaikanku..." Gala membisikkan kata-kata itu sambil menatap langit langit ruangan.
Nara menunduk sejenak, matanya berkaca-kaca, kemudian berbisik lirih, "Maaf, sungguh itu di luar nalarku, Mas. Tapi tenang, mulai detik ini kamu bebas menyentuhku, dari ujung rambut hingga ujung kaki, aku seluruhnya milikmu."bisik Nara dengan tulus, tak ingin sedikit pun membuat pria spesialnya merasa sedih.
"Apa kamu yakin dengan ucapanmu?" tanya Gala seraya menatap dalam ke dalam mata Nara, memastikan tiada penyesalan yang tersembunyi.
"Tentu saja, Mas. Aku, Nara Wijaya, dengan kesadaran penuh, mengatakannya, aku adalah istri dari Gala Wijaya, yang memiliki diriku sepenuhnya," jawab Nara dengan tegas, tanpa keraguan sedikit pun. Seketika, suasana ruang tengah itu berubah, diwarnai dengan nuansa cinta yang mendalam, setiap sudutnya terasa hangat dan penuh dengan romansa, nuansa romantis penuh cinta.