Anara Bella seorang gadis yang mandiri dan baik hati. Ia tak sengaja di pertemukan dengan seorang pria amnesia yang tengah mengalami kecelakaan, pertemuan itu malah menghantarkan mereka pada suatu ikatan pernikahan yang tidak terduga. Mereka mulai membangun kehidupan bersama, dan Anara mulai mengembangkan perasaan cinta terhadap Alvian.
Di saat rasa cinta tumbuh di hati keduanya, pria itu mengalami kejadian yang membuat ingatan aslinya kembali, melupakan ingatan indah kebersamaannya dengan Anara dan hanya sedikit menyisakan kebencian untuk gadis itu.
Bagaimana bisa ada rasa benci?
Akankah Anara memperjuangkan cintanya?
Berhasil atau berakhir!
Mari kita lanjutkan cerita ini untuk menemukan jawabannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama eNdut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Pernikahan
[21/3 20.26] Tyas: Sopir sudah siaga di depan rumah, acara akan di mulai pukul delapan pagi dan kini waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan.
Nara dan Bu Murni berjalan menuju mobil utama, sementara keluarga Pakde Darno menggunakan mobil yang berbeda walaupun dengan mobil yang di siapkan oleh Johan. Beberapa pengawal terlihat bersiap untuk mengawal mereka sampai ke tempat acara. Tak butuh waktu lama hingga kini mereka telah sampai di gedung serba guna yang akan di langsungkan nya pernikahan. Nara cukup terkejut saat melihat banyaknya warga yang hadir di sana. Tepat di sebelah gedung serba guna tersebut terdapat lapangan bola yang di sulap begitu apik dengan tenda dan dekorasi yang terlihat seperti pesta kebun dengan konsep standing party di mana di sana sudah tersaji beberapa stand makanan yang siap di nikmati sesuai waktu yang sudah di tentukan.
"Ibu, meriah sekali, kenapa banyak warga yang hadir Bu?", ucap Nara sembari memperhatikan sekeliling, di mana mobil kini sudah memasuki pelataran gedung pernikahan.
"Iya Nak, Ibu juga tidak menyangka jika acaranya akan mewah seperti ini. Mungkin keluarga Nak Vian yang mengundang mereka".
Memang benar dugaan Bu Murni jika mereka berbagi kebahagiaan dengan mengundang semua warga tanpa menerima uang sumbangan atau bisa di bilang uang kondangan. Semua warga bebas datang dan menikmati jamuan dengan syarat berpakaian rapi dan sopan. Keluarga Papa Agam juga memberikan santunan kepada lansia, anak yatim dan piatu serta orang-orang yang membutuhkan, tentu saja data penerima santunan itu di bantu oleh aparat Desa setempat.
"Nara gugup Bu".
"Yang tenang Nak, Ibu yakin semuanya akan berjalan baik".
Bu Murni menggenggam tangan Nara, berusaha memberikan energi positif untuk putrinya. Dengan itu Nara membalasnya dengan mengangguk di sertai dengan senyuman kecil.
Bersamaan dengan kedatangan mobil mewah yang di hiasi bunga tersebut, para warga yang melihatnya mulai menebak-nebak jika mobil itu pasti membawa sang pengantin. Riuh bisikan serta suara Ibu-ibu yang bergosip mulai memenuhi barisan para tamu. Mereka sudah mengetahui jika pernikahan tersebut adalah pernikahan Anara yang beberapa hari lalu kabar tenang dirinya cukup menghebohkan dan kini pernikahan yang meriah ini membuat kabar tentangnya kembali menjadi topik utama.
Keluarga Vian yang sebelumnya menginap di sebuah penginapan sudah lebih dulu sampai dan laki-laki itu kini sudah duduk di kursi dengan berhadapan langsung dengan seorang penghulu. Vian memasang wajah tenang, ia telah menyiapkan mental sebelumnya, lagi pula ini juga bukan yang pertama baginya setelah pernikahan terpaksa yang ia lalui dulu.
Suara musik khas pengantin mulai berbunyi saat Nara yang di gandeng oleh Bu Murni serta Pak Darno melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan di mana prosesi ijab qobul akan berlangsung, sontak semua mata yang berada di ruangan tersebut beralih menatap sosok Nara, gadis yang terlihat begitu cantik dan menawan dengan balutan kebaya putih dengan bawahan jarik batik berwarna coklat.
Bu Murni melepaskan gandengannya, mengarahkan Nara untuk duduk di kursi bersebelahan dengan Vian yang masih menatap takjub gadis itu.
"Kamu cantik sekali Nara".
Nara hanya menjawabnya dengan anggukan serta sebuah senyuman, entah mengapa ia merasa sulit untuk mengeluarkan kata-kata.
Berbeda dengan Vian yang santai, Nara sendiri terlalu gugup saat ini, terlihat dari jari-jari tangannya yang tidak bisa diam memelintir bawahan kain kebaya yang di kenakan nya.
"Untuk mempersingkat waktu mari kita mulai acaranya. Bagaimana saudara Vian, apa anda sudah siap?", tanya Pak Penghulu yang selanjutnya di angguki oleh lelaki itu.
Perlu di ketahui bahwa Nara menggunakan wali hakim sebagai walinya karena Ayah Nara sudah meninggal dunia dan beliau tidak memiliki saudara kandung disini, sementara untuk Nara sendiri ia merupakan anak tunggal.
Pak penghulu itu juga mengangguk menanggapi Vian, lalu menjabat tangan Vian bersiap mengucapakan doa untuk ijab Qabul mereka.
"Saya nikahkan engkau dan saya kawinkan engkau saudara Alvian dengan saudari Anara Bella dengan mas kawin emas batangan seberat lima ratus gram di bayar tunai".
"Saya terima nikah dan kawinnya Anara Bella dengan mas kawin tersebut di bayar tunai", ucap Vian dengan begitu lantang dan sangat jelas dalam satu tarikan nafas.
"Bagaimana semua saksi? Sah?", tanya Pak Penghulu yang langsung di jawab secara serempak oleh para saksi.
"SAH".
Lolos sudah air mata Nara, sekarang mereka resmi menjadi pasangan suami istri yang sah menurut agama dan juga hukum.
Pak penghulu kembali mengucapkan doa untuk pernikahan mereka. Semua tersenyum bahagia, apa lagi kedua orang tua mempelai. Apa yang mereka rencanakan sudah terlaksanakan dan berjalan lancar. Mereka sama-sama bersyukur dan saling berpelukan.
Pak Penghulu lantas meminta Vian untuk mengecup kening Nara yang kemudian di teruskan dengan Nara mengecup punggung tangan Vian.
Setelah itu mereka sama-sama bertukar cincin. Baru di saat itu kedua orang tua mereka menghampiri Nara dan juga Vian yang sudah sah menjadi sepasang suami istri.
Acara berjalan dengan lancar, semua orang ikut merasakan kebahagiaan. Setelah acara berakhir semua tamu yang di dominasi oleh warga sekitar hilir mudik pamit kepada kedua mempelai. Pesta pernikahan ini berlangsung hampir empat jam, meski terasa singkat bagi Nara dan Vian namun sangat mengesankan.
Saat gedung tempat pesta pernikahan di gelar kini sudah sepi dari para tamu, Nara dan Vian bisa bernafas dengan lega. Kini hanya tinggal keluarga inti termasuk orang tua keduanya serta keluarga Pakde Darno yang kini saling berbincang. Sementara Johan dan juga bawahannya yang lain mengawasi para pekerja yang membereskan gedung tersebut.
Di sisi lain dalam ruangan yang sama, Vian duduk berdua dengan Nara, mereka menikmati buah potong yang membuat mereka merasa cukup segar setelah lelahnya menjalani prosesi acara.
"Kamu lelah sayang?", tanya Vian yang berpindah duduk berjongkok di depan Nara, tangan lelaki itu terulur hendak menyentuh sepatu yang Nara kenakan.
"Apa yang kamu lakukan Mas?".
Tanpa memperdulikan pertanyaan Nara, Vian meneruskan niatnya untuk melepas sepatu hak tinggi setinggi sepuluh sentimeter itu dari kaki Nara.
"Mas tahu jika kakimu pasti sangat pegal dan tidak nyaman. Lihatlah ada ruam merah di sini bahkan sampai lecet", ucap Vian yang sebenarnya sudah sejak tadi menyadari gerak gerik aneh Nara pada kakinya.
"Sebenarnya iya Mas, tetapi aku merasa bahagia", jawab gadis itu dengan jujur. Gadis itu tersenyum melihat Vian yang masih sibuk melepas kedua sepatu yang ia kenakan.
"Alah, kalian romantis sangat, membuatku iri saja", ucap Ami yang tiba-tiba datang dan menyela.
"Suatu saat nanti kamu pasti akan mendapatkan jodoh yang seperti kamu inginkan Ami".
"Amin, Amin Mbak Nara".
Tak jauh setelah itu terlihat Mama Arin dan Bu Murni datang menghampiri ketiganya.
"Ada apa Vian?", tanya Mama Arin yang melihat aktivitas putranya.
"Kaki Nara sakit Ma".
"Oh astaga".
Mama Arin lantas meminta salah satu bawahannya untuk mengambil sandal dan juga salep pereda nyeri yang tersimpan dalam kotak obat yang selalu ada di dalam mobilnya.
"Biar aku saja yang mengoleskannya Ma", ucap Nara saat Mama mertuanya hendak melakukannya.
"Tidak perlu sayang, Mama yang akan melakukannya". Dengan telaten Mama Arin mengoleskan salep tersebut pada kaki Nara yang lecet.
"Terimakasih Ma".
"Sama-sama sayang. Oh iya, walaupun Mama pikir jika ini bukan kali pertama bagi kalian namun sebagai orang tua kita sudah menyiapkan tempat untuk kalian berbulan madu".
"Bulan madu?", ucap keduanya secara bersamaan, Nara dan Vian saling melempar pandang.
"Kenapa ekspresi kalian seperti itu? Ah atau jangan-jangan kalian belum melakukan malam pertama?".
Wajah Nara bersemu merah, ia malu sekaligus takut saat membayangkan arti dari bulan madu itu sendiri. Apa lagi pertanyaan mertuanya yang langsung das des tanpa tedeng aling-aling tersebut.
Nara merasa sangat malu dan tidak nyaman dengan pertanyaan Mama Arin. Ia tidak tahu harus menjawab apa dan hanya bisa menunduk dengan wajah merah.
Vian, yang menyadari keadaan Nara, segera mengambil alih situasi. "Ma, jangan bahas itu disini, masih ada seseorang yang belum boleh mendengar kata-kata tersebut Ma", ucap Vian sembari melirik ke arah Ami.
Ami yang menyadari perkataan Vian di tunjukkan kepadanya hanya bisa menatap tajam Vian dan memanyunkan bibirnya. Mama Arin tersenyum dan mengangguk. "Baiklah-baiklah, Mama tidak akan membahasnya".