Jessy, 30th seorang wanita jenius ber-IQ tinggi, hidup dalam kemewahan meski jarang keluar rumah. Lima tahun lalu, ia menikah dengan Bram, pria sederhana yang awalnya terlihat baik, namun selalu membenarkan keluarganya. Selama lima tahun, Jessy mengabdi tanpa dihargai, terutama karena belum dikaruniai anak.
Hingga suatu hari, Bram membawa pulang seorang wanita, mengaku sebagai sepupu jauh. Namun, kenyataannya, wanita itu adalah gundiknya, dan keluarganya mengetahui semuanya. Pengkhianatan itu berujung tragis—Jessy kecelakaan hingga tewas.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua. Ia terbangun beberapa bulan sebelum kematiannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nikmati Duniamu Sebelum Runtuh
Bram duduk santai di sofa, berbincang dengan Mama Ella dan Molly. Sementara itu, Fina—wanita yang diklaim sebagai 'sepupu'—tampak berusaha terlihat lemah dan butuh perlindungan.
Jessy tertawa pelan. "Sepupu? Omong kosong macam apa itu?"
Pikiran Jessy kembali melayang ke kehidupan pertamanya. Ia mengingat dengan jelas bagaimana Fina datang ke rumah ini, bagaimana wanita itu dengan manisnya menempel pada Bram dan memperlakukan dirinya seolah-olah ia hanya tamu tak diundang di rumahnya sendiri.
Jessy masih menatap layar ponselnya. Ia geram dengan ucapan Bram selanjutnya. "Ah jadi dia memang sudah berencana menceraikanku setelah Fina hamil dan melahirkan?"
Jessy mendengus. Kali ini, ia justru tersenyum penuh kemenangan.
Karena ia tahu satu rahasia besar.
Bram itu mandul.
Jessy hampir tertawa terbahak-bahak saat mengingat kenyataan itu. Jika Fina benar-benar hamil, maka sudah pasti anak itu bukan milik Bram!
"Dengan kata lain," gumam Jessy sambil menyeringai, "Fina hanya memanfaatkan Bram untuk mendapatkan harta dan status sosial."
Betapa ironisnya, pria yang mengkhianatinya kini justru tengah dibodohi oleh wanita yang ia bela mati-matian. Bram yang selalu merasa dirinya pria hebat, pria yang percaya diri bahwa ia bisa memiliki segalanya, ternyata hanya seorang pria yang sedang dibodohi.
Jessy masih menatap ponselnya, ekspresi nya berubah menjadi dingin, dalam hatinya, ada bara api yang perlahan membesar.
"Jadi ini alasan Bram selama ini bersikap manis?" pikirnya sinis. "Bukan karena dia takut kehilangan aku, tapi karena dia takut kehilangan hartanya."
Jessy mengepalkan tangannya erat. Selama ini, ia berpikir bahwa Bram tetap mempertahankannya karena mungkin masih ada sedikit rasa kasih sayang. Tapi ternyata tidak. "Semua hanya tentang uang."
Pikiran Jessy melayang ke kehidupan pertamanya. Kecelakaan mobil yang merenggut nyawanya… mobilnya yang tiba-tiba tidak bisa rem…
"Apa mungkin… rem mobilku blong bukan karena kecelakaan? Apa itu perbuatan Bram?!" tanya nya.
Jessy merasakan tubuhnya gemetar halus, bukan karena takut, melainkan karena amarah yang mendidih.
Jika benar, maka Bram bukan hanya pengkhianat, tapi juga seorang pembunuh.
Jessy mencoba menenangkan dirinya.
Semakin lama ia mendengarkan percakapan mereka, semakin jelas betapa rendahnya mereka memandangnya. Mereka menganggapnya sebagai beban.
"Mandul? Tidak berguna? Beban?" Jessy tertawa pelan, penuh ejekan.
Ia meletakkan ponselnya di atas meja, lalu bersandar di kursinya.
"Kau terlalu percaya diri, Bram," gumamnya, bibirnya melengkung sinis.
Ia menatap langit-langit dengan tatapan tajam. "Bram, kau kira siapa yang membuat karirmu melejit? Siapa yang memperkenalkanmu pada klien-klien besar? Kau pikir keberuntungan datang begitu saja padamu? Kepala mu itu sangat tak berguna."
Jessy tersenyum miring, matanya berkilat penuh rencana. "Kau salah besar. Tanpa aku, kau bukanlah siapa-siapa."
Selama ini, para investor yang menanamkan modal ke perusahaan Bram adalah mereka yang percaya pada Jessy. Klien-klien besar yang bekerja sama dengan perusahaan Bram juga datang karena rekomendasinya.
Jika bukan karena Jessy yang meyakinkan mereka, Bram hanya akan menjadi pria biasa dengan perusahaan kecil yang stagnan.
Jessy meneguk air putih yang selalu ada di kamarnya. "Jika mereka menganggapku sebagai beban, maka aku akan menunjukkan betapa berharganya aku sebenarnya."
Ia mengambil ponselnya, membuka daftar kontak, dan mulai mengetik beberapa pesan.
— Tuan Wang, saya ingin berbicara dengan Anda mengenai proyek terbaru yang akan segera diumumkan di acara perusahaan X.
— Tuan Lin, bagaimana kabar Anda? Saya ingin mendiskusikan kembali investasi yang pernah kita bicarakan sebelumnya.
— Tuan Hiroshi, saya memiliki tawaran menarik yang mungkin akan menguntungkan Anda lebih dari kerja sama dengan perusahaan X.
Jessy mengirim pesan-pesan itu dengan tenang, tanpa ragu sedikit pun. Ia tahu betul bahwa para investor dan klien lebih percaya padanya.
"Ketika acara kantormu berlangsung, Bram," bisik Jessy sambil tersenyum sinis, "Aku akan membuat mereka semua mundur. Akan kubuat acara yang tidak pernah kalian bayangkan dan tak terlupakan."
Matanya berkilat penuh kepuasan.
Ia bisa membayangkan bagaimana wajah Bram yang penuh kepercayaan diri itu akan berubah menjadi ketakutan saat satu per satu investor menarik diri. Bagaimana Mama Ella dan Molly akan panik melihat kejayaan Bram perlahan runtuh. Apalagi wanita itu, Jessy percaya jika ia hanya menginginkan harta Bram.
Jessy tersenyum semakin lebar. "Kalian akan menyesal telah meremehkanku."
Jessy meletakkan ponselnya dan kembali menatap layar CCTV. Di sana, Bram sedang tersenyum bangga saat memeluk Fina.
Jessy menggeleng sambil tersenyum penuh arti.
"Nikmati selagi bisa, Bram. Karena sebentar lagi, duniamu akan runtuh."
Jessy yang sedang bersandar santai di ranjang mengalihkan pandangannya ketika ada suara ketukan di pintu diiringi dengan suara Bi Tuti yang terdengar lembut tapi tegas.
Tok!!! Tok!!! Tok!!!
"Neng Jessy, ini Bibi," kata Bi Tuti dari balik pintu.
Jessy menghela napas pelan, matanya melirik ke layar CCTV yang masih menampilkan ruang tamu. Di sana, Bram sedang duduk dengan angkuh di sofa, sementara Mama Ella dan Molly terlihat menatapnya dengan ekspresi menuntut. Fina, si wanita murahan itu, duduk dengan manis di samping Bram, seolah-olah sudah menjadi nyonya rumah.
"Ah, ternyata Bi Tuti sudah datang." ucap Jessy.
Jessy meluruskan kakinya, menggeliat sebentar sebelum bangkit berdiri. Ia berjalan santai ke arah pintu dan membukanya.
Begitu melihatnya, Bi Tuti menunduk sopan. "Tuan Bram menunggu Anda di ruang tamu, Neng."
"Aku mengerti. Aku akan turun sebentar lagi." Jessy tersenyum tipis, lalu menutup pintu dengan tenang.
Sebelum keluar, ia melirik pantulan dirinya di cermin besar di sudut kamar. Dengan cepat, ia merapikan sedikit rambutnya dan memastikan ekspresinya tetap netral.
"Tenang. Tersenyum. Jangan tunjukkan emosi apa pun."
Kemudian, dengan langkah santai dan percaya diri, ia berjalan keluar dari kamar, menuruni tangga menuju ruang tamu.
Jessy menuruni tangga dengan santai, langkahnya ringan seolah tidak ada yang istimewa dengan kejadian hari ini. Berbeda dengan kehidupan pertamanya, di mana ia akan langsung bertanya dengan antusias, "Mas sudah pulang?" Kali ini, ia hanya mengangkat alis sedikit dan berkata datar.
"Oh, kau sudah pulang. Ada apa?" ucap Jessy dengan tenang.
Di ruang tamu, Bram duduk dengan percaya diri di sofa utama, sementara di sebelahnya ada seorang wanita dengan senyum manis yang terlalu dibuat-buat. Mama Ella dan Molly juga ada di sana, memperhatikan dengan ekspresi penuh harapan.
Bram menoleh ke arah Jessy yang sangat cantik hari ini.
"Kenapa istriku sangat cantik hari ini? Ia seperti Jessy ketika aku pertama kali bertemu dengannya." ucap Bram dalam hati.
Bram menyadarkan dirinya lalu tersenyum tipis. "Sayang... Ini kenalkan, sepupu jauh Ibu. Dia sementara tinggal di sini dulu, karena orang tuanya baru saja meninggal. Namanya Fina."
Jessy mengarahkan pandangan ke wanita di sebelah suaminya. Mata Fina berbinar saat menatapnya, seolah sangat senang bisa bertemu dengannya.
Dengan nada lembut, Fina berkata, "Mas Bram sudah banyak bercerita tentang Mbak Jessy."
"Kenapa wanita ini sangat cantik? Bukankah kata mas Bram istrinya sederhana, gak suka makeup? Tapi kenapa ia sangat cantik? Jangan sampai mas Bram berubah pikiran." ucap Fina dalam hati.
Ah… kata-kata itu. Jessy bisa merasakan deja vu yang kuat.
"Sama persis seperti di kehidupan pertamaku," batinnya.
Namun, kali ini Jessy tidak terpengaruh. Ia tetap tenang dan menjawab santai, "Oh, begitu."
Di kehidupan pertamanya, Fina membawa makanan untuknya karena ia memohon pada Bram karena dirinya sedang lapar, karena semua masakannya di habiskan oleh mertua nya, bahkan molly dan temannya. Tapi sekarang? Jessy sudah makan dengan baik dan tidak membutuhkan belas kasihan siapa pun.