Cerita ini mengisahkan sepasang suami isteri yang sudah dua tahun lamanya menikah namun tidak kunjung diberikan momongan.
Mereka adalah Ayana dan Zulfahmi.
Namun karena desakan sang ibu yang sudah sangat mendambakan seorang cucu dari keturunan anak lelakinya, akhirnya sang ibu menyarankan untuk menjodohkan Fahmi oleh anak dari sahabat lamanya yang memiliki anak bernama Sarah agar bisa berpoligami untuk menjadi isteri keduanya
Rencana poligami menimbulkan pro dan kontra antara banyak pihak.
Terutama bagi Ayana dan Fahmi sendiri.
Ayana yang notabenenya anak yatim piatu dan tidak memiliki saudara sama sekali, harus berbesar hati dengan rencana yang mampu mengguncangkan jiwanya yang ia rasakan seorang diri.
Bagaimanakah kelanjutan kisah Ayana dan Fahmi?
Apakah Ayana akan menerima dipoligami dan menerima dengan ikhlas karena di madu dan tinggal bersama madunya?
Ikuti kisahnya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mahkota Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semakin Dingin
"Eh, maaf Difa. Hehehe, jadi tidak fokus begini." Ucap Ayana.
"Tidak apa-apa, Umi. Ada yang sedang Umi pikirkan, kah?" Tanya Difa.
"Tidak ada, Difa. Hanya sedikit lelah saja mungkin." Jawab Ayana sedikit berbohong.
"Oh iya, Umi. Difa boleh bertanya tentang Kyai Zidan?" Difa bertanya kembali kepada Ayana.
Ayana mengangguk.
Tok..
Tok..
Tok..
Dengan kompak Ayana dan Difa menoleh kearah sumber suara ketukan pintu diruangan Ayana itu.
"Difa! Kamu kemana saja? Ikut aku sebentar, sekarang!"
"Kyai?" Ucap lirih Difa.
Difa langsung menoleh kembali kearah Ayana, Ayana memberikan kode untuknya agar segera menuruti perintah Zidan.
Zidan menatap sekilas mata Ayana, ketika Difa hendak beranjak dari tempat duduknya.
Zidan langsung membalikkan tubuhnya dengan diekori Difa dibelakangnya.
(Kak Zidan kenapa ya? Seperti acuh sekali denganku, apa aku membuat kesalahan?)
Batin Ayana.
"Ah, sudahlah!" Gumam Ayana, ia kembali melanjutkan aktifitasnya.
***
"Ada apa Kyai mencari Difa?" Tanya Difa ketika dirinya dan Zidan sudah berada diruangan Zidan.
"Aku akan membuat peraturan kepada seluruh karyawan agar bulan depan segera tinggal disini. Maka dari itu, selama satu bulan ini. Kalian membereskan apa yang seharusnya kalian bereskan." Perintah Zidan kepada Difa.
Difa tercengang mendengar perintah Zidan.
"Apakah pengajaran Pesantren akan mulai beroperasi secara penuh, Kyai?" Tanya Difa.
"Betul, aku juga akan segera membangun rumah pribadi disini." Jelas Zidan.
"Baik, Kyai."
"Diruangan Ayana, apa yang kamu bicarakan kepadanya?" Zidan tiba-tiba bertanya kepada Difa tentang Difa yang berbincang-bincang dengan Ayana.
"E-e.. Difa hanya berkenalan lebih lanjut dengan Umi, Kyai. Karena tempo hari hanya sekilas saja." Jawab Difa.
Zidan tampak memperhatikan ekspresi wajah Difa.
"Yakin?" Tanya Zidan kembali seperti ia tidak puas dengan jawaban Difa.
Difa mengangguk, ia tidak ingin membocorkan apa saja yang sudah ia ceritakan kepada Ayana.
"Baiklah, nanti aku akan mengantarkan kamu pulang. Jangan menolak!" Titah Zidan kepada Difa.
Difa terkejut mendengar ucapan Zidan.
Namun, ia hanya terdiam. Karena, Zidan tidak penolakan dari Difa.
"Alafu, Kyai. Difa permisi dulu!" Ucap Difa hendak pergi meninggalkan Zidan.
"Silahkan!"
***
"Agata, Amir. Kita makan siang dulu yuk." Ajak Kamal pada mereka.
Agata dan Amir yang sedang menyelesaikan tugas dari Kamal, menoleh kearah suara Kamal yang tengah berdiri di hadapannya.
"Ayo, kebetulan aku juga sudah lapar sekali." Jawab Agata.
"Mbak Hikmah masak apa ya hari ini?" Sahut Amir
"Sudah, ayo makan saja apapun yang mbak Hikmah masak. Kita harus menikmati hasil masakannya." Jawab Kamal.
"Baiklah, yuk kita makan!" Sahut Agata kembali.
Mereka berjalan meninggalkan ruangan dan segera berjalan menuju pantry khusus karyawan Pesantren.
Karena, Dapur untuk para santri dan santriwati sengaja dibedakan.
Sesampainya di dapur, mereka mendapati adanya Difa dan beberapa pengajar lainnya.
Ya, hanya Difa dan pengajar lainnya.
Dimana Zidan dan Umi?
"Hai, Difa. Kamu sendiri saja?" Tanya Kamal.
Difa menoleh kearah Kamal.
"Iya. Kalian tidak bareng dengan Kyai dan Umi?" Difa balik bertanya.
"Lho, memangnya Kyai dan Umi belum makan siang?" Sahut Agata yang ikut bertanya.
"Kata mbak Hikmah, Kyai dan Umi belum datang kesini." Jawab Difa kembali.
Kamal, Agata dan Amir saling berpandangan.
"Sepertinya ada yang tidak beres dengan Kyai dan Umi." Gumam Kamal.
"Aku melihat Kyai dan Umi seperti sedang tidak baik-baik saja. Apakah mereka sedang marahan?" Ucap Difa kepada mereka.
"Nah, itu yang menjadi pertanyaan kita akhir-akhir ini. Ada apakah gerangan? Padahal kita selalu bahagia kalau Kyai dengan Umi sedang bersama. Chemistry mereka tuh dapat sekali. Cocok deh pokoknya!" Sahut Agata.
"Iya, aku merasa ada sesuatu diantara mereka." Sahut Amir.
"Bagaimana kalau kita selidiki? Aku tidak mau jika Kyai dan Umi tidak akur begini. Rasanya bagaimana gitu." Imbuh Kamal.
Difa hanya menyimak mereka dengan menunduk. Ia hanya bisa pasrah dengan keadaan, karena hanya merekalah yang tahu persis bagaimana watak Zidan dan Ayana.
"Hei, kalian! Kenapa belum makan siang juga? Ayo, nanti keburu habis!" Teriak Hikmah dari kejauhan.
Mereka menyadari suara melengking dari Hikmah.
"Iya, mbak siap. Kyai dan Umi belum datang makan siang?" Jawab Kamal.
"Belum, tumben ya mereka belum datang. Mungkin masih sibuk. Tapi, aku sudah pisahkan masakan khusus untuk mereka." Hikmah menjawab pertanyaan Kamal.
"Baiklah, Mbak." Sahut Kamal kembali.
Merekapun berdiri dengan berderet mengantri untuk mendapatkan makanan. Seperti ketika ingin mengambil makanan di sebuah pesta acara pernikahan saja.
***
Tok..
Tok..
Tok..
"Kak Zid. Aku boleh masuk?" Ayana berdiri didepan pintu ruangan Zidan.
Zidan menoleh kearah suara yang sangat ia kenali.
"Silahkan!" Jawab Zidan begitu dingin.
Ayana berjalan mendekat dan duduk dikursi depan meja Zidan.
"Hmm.. Kak Zid. Mengapa Kak Zid sekarang berbeda? Kakak sedang marah ya sama aku?" Ayana memberanikan dirinya untuk bertanya kepada Zidan.
Zidan menunduk tanpa melihat wajah Ayana yang berada dihadapannya.
(Aku tidak berubah, Za. Aku masih sama seperti dulu. Aku tidak marah, tapi aku hanya sedikit kecewa denganmu)
Batin Zidan menjawab.
Ayana tidak mendapat respon dari Zidan. Zidan terus membisu dan menunduk dengan fokus mata lurus kearah layar laptopnya.
"Kak, kalau aku ada salah, aku minta maaf ya. Oh iya, Kak Zid tidak makan siang? Makan siang bareng yuk!" Bujuk Ayana pada Zidan.
"Kamu makan saja!" Jawab Zidan begitu cuek.
Ayana menyadari bahwa Zidan memang sedang acuh dengannya.
"Kak Zid, nanti sore sebelum pulang ke rumah, bisa sekalian antar aku ke dokter? Untuk mengambil hasil pemeriksaan kesehatan aku dan Mas Fahmi. Bisa 'kan?" Ucap Ayana kembali.
Zidan tampak berpikir sejenak. Ia teringat bahwa ia sudah menjanjikan kepada Difa untuk mengantarkannya pulang.
"Tidak bisa, kamu sendiri saja!" Jawab Zidan.
Ayana mengerutkan dahinya.
"Kak Zidan benar tidak bisa antar aku?" Tanya Ayana sekali lagi.
Tidak ada respon dari Zidan. Ia tetap diam.
Merasa dirinya diacuhkan oleh Zidan, ia hendak pergi meninggalkan Zidan.
"Ya sudah, tidak apa-apa nanti aku sendiri saja. Jangan lupa makan siang ya, Kak Zid. Maaf aku telah mengganggu kamu!" Ayana pergi meninggalkan Zidan dengan segera.
Ia melangkahkan kakinya menjauh dari pandangan Zidan.
Barulah Zidan mengalihkan pandangannya, ia melihat Ayana pergi meninggalkannya. Tampak punggung Ayana hanya sekilas saja.
"Maafkan aku, Za. Aku tidak bermaksud seperti ini. Maaf aku telah ada janji untuk mengantarkan Difa pulang. Itu kan yang kamu mau?" Gumam lirih Zidan dengan perasaan sedihnya.
Zidan sedang berusaha untuk menjaga jarak dengan Ayana yang notabenenya telah menjadi adik iparnya.
Rasa cinta dan sayangnya tetap akan Zidan berikan kepada Ayana seorang. Bukan Difa, bahkan dengan yang lainnya.
***
Ayana keluar dari ruangannya, ia hendak melihat apakah ojek onlinenya sudah sampai atau belum.
Tas jinjingnya ia letakkan diatas meja kerjanya.
Ia tampak sibuk sesekali mengecek layar ponselnya.
Namun, ketika ia sedang menanti ojek online. Ia melihat Zidan sedang berjalan bersama Difa menuju parkiran mobil.
Dari kejauhan, Ayana melihat Zidan membukakan pintu untuk Difa. Difa pun memasuki mobil Difa.
Ketika Zidan berputar dan akan memasuki pintu mobil bagian kemudi, tidak sengaja Zidan dan Ayana saling memandang.
Pandangannya saling bertemu satu sama lain.
Karena merasa tidak nyaman dipandangi oleh Ayana, Zidan bergegas masuk kedalam mobil dan segera melajukan mobilnya yang didalamnya sudah ada Difa.
"Jadi Kak Zidan tidak bisa antar aku karena sudah ada janji dengan Difa?" Gumam Ayana lirih.
Ia sempat mematung dan penuh dengan tanda tanya.
"Mbak Ayana?" Teriak seorang ojek online.
Ayana menyadari kedatangan ojek online tersebut.
"Eh, iya Pak. Tunggu sebentar ya, Pak." Ayana masuk kedalam ruangan dan segera mengambil tas nya yang berada diatas mejanya.
Ia segera berjalan mendekati ojek online dan pergi menuju Rumah Sakit.
***
Malam hari.. Hujan begitu deras diluar sana. Suara petir saling bersahut-sahutan.
"Assalamu'alaikum." Fahmi memasuki rumahnya dengan sedikit berlari karena terkena tampias dari tetesan air hujan.
Seperti biasa, terdapat Bu Fatimah sedang menyaksikan acara televisi. Ditemani dengan Zidan yang sibuk dengan layar laptopnya disamping Bu Fatimah.
"Wa'alaikumsalam." Sahut Bu Fatimah dan Zidan dengan kompak.
Fahmi berjalan mendekati Bu Fatimah dan Zidan. Kemudian mencium punggung tangan milik Bu Fatimah dan Zidan.
Bu Fatimah mengedarkan pandangannya, seperti sedang mencari seseorang.
"Lho, Ayana mana, Fahmi?" Tanya Bu Fatimah kepada Fahmi.
Fahmi mengerutkan dahinya.
"Ayana? Bukannya Ayana sudah pulang? Ini Kak Zidan sudah ada di rumah juga kan?" Fahmi balik bertanya.
Deg..
(Ayana? Mengapa ia tidak pulang bersama dengan Fahmi? Kemana dia sebenarnya?)
Batin Zidan mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
"Ayana belum pulang, Fahmi!" Jawab Bu Fatimah.
Fahmi langsung menatap tajam mata Zidan.
Keduanya kompak dengan rasa paniknya.
"Kak, Ayana tidak pulang bersama kamu?" Fahmi bertanya kepada Zidan.
"Tidak." Jawab Zidan singkat, ia berusaha menutupi rasa paniknya.
"Lalu Ayana kemana, Kak? Aku sudah memerintahkan Ayana untuk pulang bersama kamu. Sebelum pulang, dia akan ke Rumah Sakit mengambil hasil test dan setelah itu pulang. Dan aku bilang ke dia, kamu yang temani dia, Kak!" Jelas Fahmi.
Zidan mulai panik.
"Aku pikir, dia nanti dijemput kamu!" Jawab Zidan.
Ternyata yang Ayana minta untuk mengantarkannya untuk ke dokter memang benar adanya. Sedangkan ia malah mengabaikan Ayana begitu saja.
"Aduh, Ayana kemana ini? Mengapa jam segini belum pulang? Jangan-jangan terjadi sesuatu padanya!" Ucap Bu Fatimah.
Fahmi dan Zidan dibuat panik oleh ucapan Bu Fatimah.
"Hubungi ponselnya!" Perintah Zidan kepada Fahmi.
Zidan meraih ponselnya.
Ia mencoba menghubungi ponsel Ayana. Namun, ponselnya sedang tidak aktif.
Fahmi juga melakukan hal yang sama. Ia tampak khawatir sekali. Ia takut jika memang benar terjadi sesuatu kepada Ayana.
Fahmi berjalan kesana-kemari dengan panik, terus tertuju pada ponselnya.
"Ponselnya tidak aktif!" Ucap Fahmi.
Fahmi dan Zidan terus berusaha keras untuk terus menghubungi Ayana.
Hujan diluar sana begitu deras.
Sekitar sudah hampir tiga puluh menit, Fahmi dan Zidan terus menghubungi dan melacak ponsel Ayana.
"Assalamu'alaikum." Ucap suara lirih dan lemas yang tidak begitu asing ditelinga mereka.
Fahmi dan Zidan menoleh dengan kompak kearah sumber suara tersebut.
Betapa terkejutnya, ketika melihat seseorang yang tengah berdiri didepan pintu dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
"Ayana!" Ucap kompak Fahmi dan Zidan.
Ya, benar memang itu adalah Ayana. Ayana pulang dalam keadaan basah kuyup. Pakaiannya bersimbah darah bercampur dengan air hujan.
Tubuhnya begitu lemas dan ada beberapa luka pada tubuhnya.
Terutama pada bagian kakinya terasa sangat sakit.
Fahmi dan Zidan berlari mendekati Ayana.
Bu Fatimah mengekori dari belakang, ia juga tak kalah panik melihat keadaan Ayana yang sudah acak-acakan.
"Sayang! Kenapa keadaan kamu seperti ini?" Ucap Fahmi ketika memeluk tubuh Ayana.
Zidan tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya dapat melihat Ayana dari jarak dekat saja.
Wajahnya pucat, ia begitu kasihan terhadap Ayana.
"Nak, kamu kenapa bisa sampai seperti ini?" Tangis Bu Fatimah pecah.
"Sayang? Ceritakan! Kamu kenapa?" Tanya Fahmi sekali lagi.
Ayana memandang lemas manik-manik mata Fahmi. Tubuhnya tidak kuat berdiri kembali.
"M-Mas, A-Aku terserempet mobil..."