Buku Merah Maroon seolah menebar kutukan kebencian bagi siapapun yang membacanya. Kali ini buku itu menginspirasi kasus kejahatan yang terjadi di sebuah kegiatan perkemahan yang dilakukan oleh komunitas pecinta alam.
Kisah lanjutan dari Rumah Tepi Sungai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Akan Mengikutimu
Kegelisahan jelas tergambar di raut wajah Nana. Dia duduk di depan ranjang tempat Gery terbaring. Mata laki-laki berbadan besar itu masih tertutup. Terdengar beberapa kali Gery mengigau kesakitan.
Apa yang harus Nana lakukan sekarang? Hujan kian deras, dengan suara petir memekakkan telinga. Serangga hutan yang sedari tadi berisik, kini sama sekali tak ada yang tersisa. Luka Gery tampak basah. Darah terus merembes. Perawatan dari Bu Anggun seolah tidak terlalu berpengaruh.
Dimana Pak Nafi'? Dimana Pak Dolah? Bagaimana mungkin penanggungjawab kegiatan di saat seperti ini malah menghilang? Nana benar-benar menyesal sudah bersedia ikut di kegiatan perkemahan kali ini. Seandainya saja Aldo tidak mengusulkan memberi kejutan di hari ulang tahun Rina, semua hal buruk tidak akan terjadi.
"Hadiah taek!" pekik Nana meluapkan emosinya.
Nana tahu betul, Aldo hanya ingin bermesraan dengan pacarnya di tengah hutan. Aldo mengatakan, ingin merasakan sensasi yang berbeda. Orang gendeng macam apa yang bersedia mengabulkan permintaan aneh dari Aldo? Nana merasa bodoh. Ia menggenggam erat sudut sprei.
Yuzi duduk di ruang tamu menemani Aldo yang tengah kesakitan. Bagian belakang kepalanya benjol dibanting Nana. Yuzi memasukkan es batu ke dalam sebuah kantong plastik dan meletakkannya di kepala Aldo.
"Dasar perempuan genderuwo. Tenaganya macam buto!" gerutu Aldo. Yuzi diam tidak menyahut. Dengan telaten gadis itu merawat luka benjolan di kepala Aldo.
"Sudah lumayan kempes," ujar Yuzi meraba rambut Aldo.
"Aku pun mengkhawatirkan Gery. Aku sudah berusaha menelpon Ayah meminta bantuan. Seharusnya dia tidak perlu bersikap berlebihan seperti itu." Aldo masih terus menggerutu. Yuzi menghela napas.
"Kamu harus mengerti, Gery sangat penting artinya bagi Nana. Seperti halnya dirimu di mataku Aldo," balas Yuzi. Pandangannya sayu.
"Tapi yang terjadi pada Gery bukan salahku. Itu semua kecelakaan. Sama halnya dengan gadis itu. Kamu ngerti kan Yuzi?"
Yuzi kembali memasukkan es batu pada kantong plastik. Dia enggan menjawab pertanyaan Aldo. Yuzi sudah sangat hafal dengan perangai laki-laki itu. Pendapatnya sulit dibantah.
"Jangan diam saja Yuzi. Aku butuh pertimbangan. Bagaimana menurutmu? Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Aldo kesal.
"Kita menunggu hujan reda. Setelah itu ajak paksa Pak Nafi' untuk pulang. Keselamatan Gery yang utama. Kalaupun ada yang belum kembali, biarkan menginap di rumah ini semalam," jawab Yuzi. Aldo manggut-manggut setuju.
"Ya dua celeng Rana dan Bastian malah bermain di tengah hutan. Mungkin mereka tengah berteduh di tenda saat ini," gerutu Aldo.
Yuzi menggigit bibirnya. Dia tidak menyukai sifat Aldo yang selalu menyalahkan orang lain dalam setiap kesempatan. Namun demikian, dari dulu Yuzi merasa tidak bisa menjauhi anak kepala sekolah itu.
Masih jelas dalam ingatan Yuzi, pertemuan pertamanya dengan Aldo. Bocah laki-laki yang tampan dan wangi. Berjalan di lorong sekolah dengan baju putih birunya yang mentereng. Matanya yang jernih dengan rambutnya yang lurus tebal, dalam sekali pandang Yuzi sudah jatuh hati.
Rasa suka masa SMP yang awalnya dikira hanya cinta monyet, cinta main-main. Yuzi tidak menduga semua itu berubah menjadi obsesi. Dia mengikuti Aldo, mengagumi Aldo, bahkan bersedia berbuat nakal untuknya.
"Kamu tahu, aku selalu menyukaimu," ucap Yuzi tiba-tiba. Aldo mengernyit. Seolah wajahnya berucap aku sudah bosan mendengarnya.
"Mungkin bagimu aku hanya gadis menor, hobi berdandan yang penasaran padamu. Tapi nyatanya perasaanku padamu lebih dari itu. Aku iri mengetahui kamu menyiapkan kejutan pada Rina dengan perkemahan ini. Mungkin bagi Nana dan lainnya, kamu hanya ingin bermesraan dengan Rina di tengah hutan. Padahal aku tahu persis kamu sudah menyiapkan cincin untuk Rina. Banyak gosip di luar sana yang menyebutkan kamu sering menyewa hotel sepulang sekolah. Aku tahu kamu pernah melakukannya dengan Rina, tetapi tidak sesering yang dipikirkan orang-orang. Kamu baik, tapi kamu membutuhkan perhatian yang lebih. Dan aku bisa memberikan semua itu Do," jelas Yuzi nyaris tidak menarik napas saat berucap.
"Tutup mulutmu itu Yuzi. Ucapanmu barusan membuatku terdengar lemah. Aku tidak haus perhatian. Cukup! Diamlah!" sergah Aldo memalingkan wajah. Yuzi pun mengatupkan mulutnya. Selama beberapa saat lamanya, ruang tamu berubah hening. Hanya terdengar rintik hujan.
Aldo beranjak dari duduknya. Dia mengintip keluar rumah. Kabut tebal berwarna putih padat mengiringi turunnya air hujan. Kolam ikan aligator tak terlihat dari ruang tamu.
"Bukannya Putra tadi memberi makan ikan? Kemana perginya celeng satu itu? Batang hidungnya tidak terlihat dimanapun," tanya Aldo kala tersadar Putra menghilang. Yuzi hanya menggeleng.
Di luar pagar rumah, samar-samar terlihat sosok yang mengenakan jas hujan berwarna hitam berjalan mendekat. Aldo memicingkan mata, mencoba melihat siapa kiranya yang datang. Sosok itu berhenti dan berdiri sejenak di depan kolam ikan aligator.
"Yuzi, siapa kiranya yang berdiri di tengah hujan itu?" tanya Aldo. Yuzi beranjak dari duduknya. Dia berdiri di samping Aldo ikut mengamati sosok yang ditunjuk Aldo.
Perlahan si jas hujan hitam kembali melangkah. Semakin dekat, wajah di balik jas hujan hitam pun terlihat. Rupanya Pak Dolah Sang Survivor.
"Hai, ada apa? Apakah semua orang sudah berkumpul?" tanya Pak Dolah sembari tersenyum. Bibirnya sedikit membiru, mungkin kedinginan.
"Belum semuanya," jawab Aldo singkat.
"Apa yang Bapak lakukan di depan kolam saat hujan seperti ini?" tanya Yuzi penasaran.
Pak Dolah tidak segera menjawab. Ia melepas jas hujannya. Mengibaskan sebentar dan meletakkan di tepi lantai teras.
"Hanya ingin melihat ikan. Warnanya indah," jelas Pak Dolah setelah melepas sepatunya yang basah. Laki-laki itu masuk ke dalam rumah sembari mendesis kedinginan.
"Warnanya indah?" Yuzi mengernyit. Tentu saja perkataan Pak Dolah terkesan mengada-ada. Bagaimana mungkin ikan aligator memiliki warna yang indah di mata Pak Dolah? Atau mungkin seorang survivor memiliki standar keindahan yang berbeda dengan Nana?
"Maaf, bisakah aku meminta air hangat? Bisa minta tolong sampaikan ke tuan rumah?" pinta Pak Dolah menggigil.
"Biar aku saja," sahut Yuzi segera melangkah menuju ke dapur.
Aldo duduk kembali di sofa. Ia malas untuk bercakap-cakap dengan orang yang baru dikenalnya hari ini. Pak Dolah mengamati Aldo, kemudian tersenyum sinis.
"Kamu ketua komunitas ini kan? Maksudku club pecinta alam," tanya Pak Dolah memulai percakapan. Ia ikut duduk mendekati Aldo.
"Iya. Tapi bukan aku yang mengusulkan agar Anda ikut di perkemahan. Ada tidaknya Anda, kurasa tidak berpengaruh pada tujuan kegiatanku," sahut Aldo ketus. Terdengar menyebalkan. Pak Dolah manggut-manggut.
"Aku yang memilihkan tempat ini untuk berkemah. Mungkin aku tadi sempat menjelaskan jika tempat ini cocok untuk kegiatan perkemahan kalian. Meski begitu aku lupa memberitahu kalian, jika hutan ini sebenarnya menjadi tempat orang-orang yang putus asa untuk mengakhiri hidupnya, hingga detik ini," jelas Pak Dolah. Matanya menatap langit-langit rumah. Untuk sekilas, laki-laki itu mengeluarkan ekspresi sedih.
Wah, ada kuku? Kuku siapa yah 🤔🤔🤔
Mak Ijah kali ya yang grubak-grubuk mutusin kabel..