Setelah aku selamat dari kecelakaan itu, aku berhasil untuk bertahan hidup. Tetapi masalah yang kuhadapi ternyata lebih besar daripada dugaanku. Aku tersesat dihutan yang lebat dan luas ini. Aku mungkin masih bisa bertahan jika yang kuhadapi hanyalah binatang liar. Tapi yang jadi masalah bukanlah itu. Sebuah desa dengan penduduk yang menurutku asing dan aneh karena mereka mengalami sebuah penyakit yang membuat indera penglihatan mereka menjadi tidak berfungsi. Sehingga mereka harus mencari "Cahaya" mereka sendiri untuk mengatasi kegelapan yang amat sangat menyelimuti raga mereka. Mereka terpaksa harus mencari dan mencari sampai bisa menemukan mata mereka yang hilang. Dan akhirnya mereka bertemu dengan kami. Beberapa penumpang yang selamat setelah kecelakaan itu, harus bertahan hidup dari kejaran atau mungkin bisa kusebut penderitaan mereka atas kegelapan yang menyelimuti mereka. Berjuang untuk mendapatkan "Cahaya Mata" mereka kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecerdasan Mereka
Kejadian tadi membuatku terus bertanya-tanya akan para makhluk yang terus mengejar kami. Saat pertama kali aku bertemu dengan salah satu dari mereka, dan saat aku menghajar makhluk yang mencoba untuk membawa pergi Kak Willie, aku menjadi semakin penasaran untuk mencari tahu informasi lebih mendalam tentang mereka.
Apakah mereka masih layak disebut sebagai zombie? Apakah zombie masih memiliki kemampuan untuk berbicara? Bahkan memiliki kemampuan untuk membujuk kami dengan iming-iming yang menggiurkan sehingga membuat kami untuk percaya kepada mereka? Pertanyaan itu terus menghantui pikiranku.
Akhirnya kami pun sampai ditempat persembunyian kami. Aku segera melaporkan kejadian yang baru saja menimpa kami kepada Pak Bonadi. Kami pun mulai duduk melingkar untuk mendiskusikan masalah ini bersama-sama.
"Mereka cukup cerdas juga ya," gumam Pak Bonadi sembari menopang dagu.
"Kalo semisal mereka menderita suatu virus, maka mereka tidak mungkin saling memakan temannya sendiri. Hal itu dibantahkan saat kejadian kita di bus kemarin lusa," ucapku.
"Mereka juga menyerang hewan-hewan lain dan hanya mengambil matanya saja. Bukan memakannya," sambungku.
"Mereka juga berteriak cahaya, cahaya. Apa maksudnya itu?" gumam Pak Juari.
"Aku pernah ngecek salah satu dari mereka setelah aku gorok lehernya. Terus aku coba cek nadinya, dan nadinya seperti melemah secara perlahan-lahan. Berarti aku bisa menyimpulkan kalau mereka mungkin masih hidup dan bukan terkena suatu parasit," ucap Kak Ayu.
Dengan pernyataan-pernyataan yang kami lontarkan, bisa disimpulkan bahwa mereka bukanlah zombie, melainkan orang-orang yang sedang menderita penyakit secara bersamaan. Mereka menderita kebutaan secara massal. Aku tidak bisa menyebutkan mereka menderita kebutaan, lebih tepatnya bola mata mereka seperti dicabut atau dihilangkan secara paksa.
Apakah ini sebuah penyakit? Atau mereka sengaja melakukannya untuk tujuan tertentu? Atau mungkin sebuah kutukan? Aku berharap aku bisa menemukan titik temunya. Dan mungkin aku bisa bernegosiasi kepada para makhluk-makhluk itu agar kita sama-sama aman dan tidak saling menyakiti.
Diskusi ini membuat rasa kantukku pun datang. Kami pun mengakhiri diskusi dan segera bersiap-siap untuk tidur. Aku dan Aini memutuskan untuk tidur dilantai bawah karena menurutku akan lebih aman untuk menyelamatkan Aini jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Aku ditemani Kak Willie, Kak Ayu dan Vivi. Sisanya memilih untuk tidur dilantai atas.
Aku memposisikan tubuhku senyaman mungkin dengan bersandar dipojok ruangan dan memberikan lututku sebagai bantal untuk Aini. Dia pun mulai berbaring dikakiku dan mulai tertidur. Sebelum tidur dia tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuatku merasa terharu.
"Kak! Kita terus sama-sama sampai pulang ya. Aku gak mau ditinggal sama kakak," ucap Aini menatapku dengan sungguh-sungguh.
"Iya, An. Apapun yang terjadi, kamu bakalan sama kakak. Kakak akan jaga kamu," jawabku sembari tersenyum hangat kepadanya.
Kemudian dia mulai memejamkan matanya dan tertidur di pangkuan ku. Tak terasa air mataku menetes melihatnya yang tertidur dengan pulas. Aku merasa gagal menjadi seorang kakak karena telah membawanya kedalam situasi ini. Tak terasa aku pun mulai tertidur bersamanya.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Saat aku larut dalam tidurku, tiba-tiba aku mendengar suara gaduh yang berasal dari lantai dua. Dengan perlahan aku pun mulai membuka kedua mataku dan melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku melihat keatas dan bertanya kepada Novan.
"Van! Ada apaan disana?" tanyaku lirih.
"Shhh! Ada banyak orang diluar, Kak" jawab Novan lirih. Aku pun terkejut mendengarnya.
Kemudian Pak Bonadi pun langsung mematikan lentera yang menerangi kami. Seketika suasana menjadi gelap gulita. Aku langsung menyesuaikan penglihatanku. Kemudian Mas Doni pun menuruni tangga dan mulai membangunkan Kak Ayu dan Vivi yang tidur di sebelahku. Setelah mereka terbangun, Mas Doni pun menjelaskan situasi yang sedang terjadi.
"Diluar sana ada beberapa orang yang datang. Kita harus segera sembunyi ke lantai atas dan membuang tangganya," ucap Mas Doni lirih. Kami pun hanya mengangguk menurutinya.
Aku pun membangunkan Aini dan segera memanjat ke lantai atas. Aku mempersilahkan Aini untuk naik terlebih dahulu dan mengamati dibawahnya. Dia terlihat kesusahan tapi aku menyemangatinya. Dia pun berhasil, dan aku pun mulai naik keatas.
Setelah semua berada diatas, aku membantu Mas Doni menarik tangganya dan menaruhnya disana. Agar kalau terjadi sesuatu kami bisa langsung turun tanpa harus nekat melompat kebawah. Aku kemudian melihat di sebalik jendela tanpa kaca disisi ruangan ini. Aku melihat beberapa orang yang berjalan dengan normal tidak seperti sebelumnya. Mereka juga terlihat memiliki bola mata yang masih terlihat normal.
"Dilihat dari sisi manapun, mereka tetaplah berjalan sempoyongan tetapi bertingkah layaknya seseorang yang berjalan normal," gumam Pak Bonadi.
"Mereka juga terlihat sering mengucek matanya saat ini. Ciri-ciri yang mirip sama orang tua tadi," sambung Pak Juari.
Kami mengamati tingkah laku orang-orang itu dan berpikir apakah aman untuk menemui mereka atau harus menghindari mereka. Kemudian mereka pun berjalan ke arah pintu depan dan kemudian mengetuknya.
"Permisi! Apakah disini ada orang?" kami berdiam diri tak memberikan jawaban. Kemudian terdengar suara lagi.
"Halo? Mas? Pak? Kakak? Adek? Aku mau bertamu ini?" sambung suara itu.
Orang itu membujuk kami untuk segera membukakan pintu. Tetapi kami tidak menghiraukannya dan menunggu apa yang selanjutnya terjadi. Setelah tanpa jawaban, suara itu pun berubah menjadi bisik-bisik yang sulit untuk didengarkan dari atas sini. Tetapi samar-samar aku dapat mendengarkan sedikit isi percakapannya.
"Keliatannya tidak ada orang,"
"Tapi aku melihat cahaya disekitar sana tadi,"
"Apa kamu yakin?"
"Yakin sekali. Cahaya itu keluar, kemudian masuk lagi ke rumah ini,"
"Ayo kita coba dobrak saja," setelah percakapan itu, sudah tak terdengar suara lagi.
Cahaya apa maksudnya? Cahaya lentera kah? Aku masih belum mengerti apa yang mereka bicarakan. Tetapi mereka berjalan menjauhi rumah kami. Kami pun bisa bernapas lega. Kemudian Kak Willie angkat bicara.
"Gue tadi pipis diluar, tapi gak bau kan? Udah gue siram pasir kok tadi," ucap Kak Willie dengan muka pucat dan senyum yang dipaksakan. Kami pun serentak memandanginya.
"Cahaya yang keluar kemudian masuk kembali ya? Apa mungkin mereka bisa membaca aura tubuh kita? Makanya mereka bisa selalu menemukan kita dimana pun kita berada," guman Pak Bonadi.
"Mungkin benar. Tapi kemampuan itu juga tidak bisa digunakan untuk menembus benda padat kan? Mereka tidak tau kita bersembunyi diatas sini," tambah Pak Juari.
"Benar. Tapi kita harus selalu waspada. Mereka mungkin bisa melihat dari kejauhan dengan melihat aura tubuh kita. Dan bisa disimpulkan aura tubuh kita terlihat dengan jelas diantara lebatnya hutan ini," sambung Pak Bonadi.
Keadaan pun kembali sunyi. Kami saling berpikir tentang apa yang sedang dibicarakan oleh orang-orang tadi. Tak berselang lama, terdengar beberapa suara langkah kaki diluar sana. Kemudian diikuti suara dobrakan keras yang mencoba untuk memaksa masuk rumah kayu ini.