NovelToon NovelToon
Nekat Ngelamar Gus Tamvan

Nekat Ngelamar Gus Tamvan

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Nikah Kontrak / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: syah_naz

dengan gemetar... Alya berucap, "apakah kamu mau menjadi imam ku?? " akhirnya kata kata itu pun keluar dari lisan Alya yg sejak tadi hanya berdiam membisu.

"hahhh!!! apa!!... kamu ngelamar saya? "ucap afnan kaget
sambil menunjuk jari telunjuknya ke mukanya sendiri.
dengan bibir yg ber gemetar, Alya menjawab" i ii-iya, saya ngelamar kamu, tapi terserah padamu, mau atau tidaknya dgn aku... aku melakukan ini juga terpaksa, nggak ada pilihan.... maaf kalo membuat mu sedikit syokk dgn hal ini"ucap Alya yg akhirnya tidak rerbata bata lagi.
dgn memberanikan diri, afnan menatap mata indah milik Alya, lalu menunduk kembali... karna ketidak kuasa annya memandang mata indah itu...
afnan terdiam sejenak, lalu berkata "tolong lepaskan masker mu, aku mau memandang wajahmu sekali saja"

apakah Alya akan melepaskan masker nya? apakah afnan akan menerima lamaran Alya? tanpa berlama-lama... langsung baca aja kelanjutan cerita nya🤗

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bukan hanya sekedar kebetulan

Malam itu, Alya terduduk di pinggir tempat tidurnya, masih termenung memikirkan kejadian pagi tadi. Pertemuan dengan Afnan terus menghantui pikirannya. Ia merasa bersalah, tapi gengsi menghalanginya untuk meminta maaf.

“Apa aku harus minta maaf? Tapi... ah, nggak! Malu banget, tau ah!” Alya mengacak rambutnya sendiri, bingung dengan perasaannya.

Tiba-tiba, dering telepon memecah lamunannya. Alya segera meraih ponsel dan melihat nama Wilona tertera di layar.

“Halo, Alya! Assalamu’alaikum,” suara Wilona terdengar ceria dari seberang.

“Wa’alaikumussalam... Kak Wilooo! Kakak mau ke Kalimantan, ya?” tanya Alya dengan nada yang langsung berubah semangat.

"kok tau Al? " tanya wilona yang sedikit bingung dgn tebakan Alya yang benar.

"yaa tau lahh... Alya gitu lohh" ucap Alya dgn percaya diri. "eh, ngomong ngomong, kakak ngapain ke kalimantan kak, ada tugas? " tanya alya

“iya nih ada tugas dari mamih, besok aku berangkat ke sana. Mau beresin tugas sekalian mampir ke rumah nenek "ouhhh.....kata Alya." Eh, Al!”

“Iya, Kak?”

“Kita sempat ketemu, kan? Jalan-jalan bareng, yuk!” ajak Wilona dengan penuh antusias.

“Asiiik! Kakak mau ke gunung, nggak? Di sini ada gunung yang pemandangannya kayak di film-film India, sumpah keren banget!” jawab Alya, suaranya dipenuhi kegembiraan.

“Wah, kamu suka film India, ya? Ngaku aja, deh!” goda Wilona sambil tertawa.

“Apaan sih, Kak? Nggak, ah. Mana ada!” Alya menyangkal sambil terkekeh pelan.

“Halah, ngaku aja, Al. Aku juga suka, kok! Eh, kita bisa, lho, kapan-kapan travelling ke India bareng,” kata Wilona penuh semangat.

“Iya, Kak! Ntar kita ke Kasmir ya! Kan itu tempatnya indah banget,” sahut Alya, matanya berbinar membayangkan mimpi itu.

“Oke, deal! Eh, tapi kok pembicaraan kita nyasar ke sana, sih?” Wilona tertawa kecil.

“Whahaha, namanya juga perempuan, Kak. Cerita itu selalu nyambung-nyambung sendiri!” sahut Alya sambil terkekeh.

Obrolan mereka berakhir dengan gelak tawa. Malam itu, Alya merasa jauh lebih baik. Perasaan bersalah dan kebingungannya tentang Afnan sedikit memudar, tergantikan oleh semangat untuk bertemu Wilona dan rencana perjalanan mereka.

Setelah menutup telepon, Alya memandang ke luar jendela kamar. Senyum tipis tersungging di wajahnya.

“Mungkin... kadang aku memang butuh waktu seperti ini. Biar nggak terlalu kepikiran,” gumamnya sebelum akhirnya berbaring dan menutup mata. Malam itu, ia tidur dengan perasaan yang lebih ringan.

     # # #

Pagi itu, Afnan masih terus memikirkan Alya. Dia merasa perlu tahu lebih banyak tentang gadis itu—apa yang disukainya, apa yang dia inginkan, dan apa yang sebenarnya membuat Alya begitu menarik di matanya.

"Aku harus cari tahu," gumam Afnan sambil menelpon Reza, temannya yang juga seorang ahli IT.

Tak lama kemudian, Reza datang ke rumah Afnan membawa laptop andalannya.

"Jadi, kamu mau aku cari tahu apa, Fan?" tanya Reza sambil membuka laptopnya.

"Aku mau tahu apa saja aktivitas akun ini," Afnan menyerahkan username TikTok Alya kepada Reza.

"Melihat aktivitas akun? Itu hal mudah. Serahkan saja padaku," jawab Reza dengan percaya diri sambil mulai mengetik cepat.

Beberapa menit kemudian, Reza menunjuk layar laptopnya. "Nah, ini semua datanya. Termasuk postingan ulang yang dia suka."

Afnan mendekat, memperhatikan layar. Matanya membesar saat melihat deretan video bertema India di halaman Alya.

"Dia suka India? Ini serius?" Afnan terlihat tak percaya.

"Ya, lihat saja sendiri. Semua video yang dia posting ulang ada hubungannya dengan India. Film, lagu, bahkan kutipan," jelas Reza sambil menunjuk layar.

Afnan terus memperhatikan, hingga menemukan sesuatu yang mengejutkan. "Tunggu... Dia merasa insecure? Ini dia tulis sendiri?"

agam mengangguk. "Sepertinya begitu. Tapi aku tidak tahu apa yang membuat dia merasa begitu."

Afnan terdiam, pikirannya mulai dipenuhi berbagai pertanyaan tentang Alya.

Reza, yang penasaran, melirik ke arah Afnan. "Jadi, ini akun siapa? Kenapa kamu tertarik sekali mencari tahu soal dia?"

"Anu... Itu... seorang perempuan," jawab Afnan dengan sedikit gugup.

"Perempuan?" Reza menaikkan alisnya, menatap Afnan dengan penuh rasa ingin tahu.

"Ohh, nggak ada, nggak ada apa-apa," ucap Afnan, berusaha menghindar, tetapi ekspresinya yang gugup malah membuat Reza semakin curiga.

"Yaelah, Nan, cerita aja dah sama Reza. Kita kan udah kenal lama," kata Agam, menepuk bahu Afnan.

Afnan menghela napas, akhirnya menyerah. "Baiklah, jadi gini..." Dia mulai menceritakan semuanya—tentang Alya, pertemuan mereka, interaksi yang dingin tapi penuh arti, hingga perasaannya yang tak terucapkan.

Reza dan mendengarkan dengan seksama, wajah mereka serius. Setelah Afnan selesai, Agam memutuskan pembicaraan. "Oke, udah cukup nostalgia masa lalu. Lanjut ke investigasi!"

Reza kembali menatap layar laptopnya. "Nah, ini dia. Alya baru saja memposting ulang tentang seorang kakak. Sepertinya dia menginginkan sosok abang laki-laki, deh."

Afnan tertegun. "Masa sih? Walaupun Alya nggak punya abang kandung, tapi kan dia punya abang sepersusuan."

"Ya, tapi ini beda. Coba lihat lagi, Nan," Agam menyarankan.

Afnan berpikir sejenak, lalu mengingat sesuatu. "Oh, aku ingat kata-kata dia dulu. 'Aku menganggap mu bukan siapa-siapaku. Walaupun aku meminta bantuanmu, itu bukan berarti aku suka sama kamu, bukan berarti aku cinta sama kamu.'" Afnan mengulang dengan pelan, mengingat nada dingin Alya saat itu.

Agam mengangguk, lalu menambahkan, "'Yang membuat aku tertarik untuk mendatangimu itu... kamu punya sifat dewasa. Abang bagi semua orang di Indonesia yang tidak memiliki sosok abang. Seandainya aku punya abang seperti kamu.'" Agam mengulang perkataan Alya yang masih diingatnya sebelum Alya meninggalkan mereka.

"Itu dia... Itu yang ingin aku katakan tadi tapi lupa!" seru Afnan, matanya berbinar seolah mendapat pencerahan.

Reza menutup laptopnya dan menatap Afnan dengan ekspresi menggoda. "Duh, Nan, Nan... Kalau udah tahu Alya begitu, kenapa nggak dari dulu kamu mulai mendekatinya dengan cara yang lebih baik?"

Afnan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku juga bingung. Tapi sekarang aku tahu satu hal... Alya menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian biasa."

Agam tersenyum. "Kalau begitu, buktikan. Jadilah abang seperti yang dia inginkan. Siapa tahu itu akan membuka hatinya untukmu."

Afnan terdiam, menimbang kata-kata Agam. Dalam hati, dia bertekad untuk lebih memahami Alya dan memberikan yang terbaik untuknya, meskipun jalan menuju hati Alya terasa sulit. "Aku nggak akan menyerah," pikirnya penuh keyakinan.

   # # #

“Alya, aku udah sampai di alamat kost kamu nih. Kamu di mana, Al?” tanya Wilona lewat pesan WA.

Alya yang sedang duduk santai langsung membaca pesan itu. Tanpa pikir panjang, ia bergegas keluar kost dan berjalan menuju tepi jalan. Saat melihat Wilona yang celingukan dari dalam mobil, Alya melambaikan tangannya dengan semangat.

“Kak! Aku di sini!” teriak Alya, memastikan Wilona melihatnya.

Wilona akhirnya menyadari keberadaan Alya. Ia membuka kaca mobil dan melambaikan tangan balik. “Hai, Alya! Ayo naik, kita berangkat jalan-jalan!” katanya dengan senyuman hangat.

Alya segera masuk ke dalam mobil. “Kita ke mana dulu nih, Kak?” tanyanya penasaran.

“Kita ke mal dulu, ya. Aku butuh beli beberapa barang. Besok baru deh kita ke gunung. Setuju, kan?” ujar Wilona sambil memutar kemudi, bersiap melaju.

“Siap, Kak! Aku ikut aja,” jawab Alya sambil tersenyum. Ia senang akhirnya bisa menghabiskan waktu dengan Wilona setelah lama tidak bertemu.

Perjalanan mereka pun dimulai, dengan canda tawa ringan mengisi suasana di dalam mobil. Bagi Alya, hari itu terasa seperti awal dari petualangan menyenangkan bersama teman sekaligus sahabat yg dia anggap seperti kakaknya sendiri.

Di tengah keramaian mal, Alya tiba-tiba menghentikan langkahnya. Pandangannya tertuju pada seseorang yang dikenalnya dari kejauhan.

"Hah... Bukannya itu Bang Saka, ya?" gumam Alya pelan, tetapi rupanya terdengar oleh Wilona.

"Apaa? Saka? Siapa itu Saka?" tanya Wilona penasaran, melirik Alya dengan mata menyipit.

"Hehe, nggak ada kok, Kak," jawab Alya sambil tersenyum canggung, berusaha mengalihkan perhatian Wilona.

"Yaelah, Alya, masih nggak mau cerita juga? Serius nih nggak mau kasih tahu ke Kak Wilo? Ayolah cerita, Kakak penasaran!" goda Wilona sambil menatap Alya dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.

Alya tertawa kecil, menyadari tak bisa menghindar lagi. "Bukan gitu, Kak. Yaudah deh, itu Bang Saka namanya. Dia abang sepupu Alya."

Wilona mengangguk sambil berpikir sejenak, tetapi Alya tiba-tiba tersenyum jahil. "Kakak mau jadi istrinya nggak? Hehe, biar Kak Wilo jadi kakak iparnya Alya."

Sontak wajah Wilona memerah. "Healah, Alya! Nggak lah, Al! Apaan sih kamu ini, ada-ada aja!" ucap Wilona sambil menunduk malu, berusaha mengalihkan pandangannya.

"Cieee, Kakak! Malu, ya? Kakak pipinya merah tuh, kayak kepiting rebus," goda Alya, tertawa geli melihat Wilona yang berusaha menutupi rasa malunya.

"Udah, Al, jangan ganggu Kakak! Ayo kita jalan lagi," balas Wilona sambil menarik tangan Alya, mencoba mengakhiri pembicaraan yang membuatnya salah tingkah.

Namun, Alya terus tertawa kecil sepanjang jalan, puas melihat ekspresi Wilona yang tak biasa itu. Di balik semua candaannya, Alya merasa hari itu akan penuh dengan cerita menarik, apalagi jika Saka benar-benar muncul di depan mereka.

“Alya!” terdengar suara lelaki memanggil dari belakang.

Alya berhenti berjalan dan menoleh ke Wilona. “Kak, tadi ada yang manggil Alya, ya? Atau pendengaran Alya aja yang salah?” tanyanya bingung.

Wilona tersenyum tipis. “Nggak salah kok, Al. Coba deh lihat ke belakang, ada siapa?”

Alya memutar badan, dan di sana berdiri Saka dengan senyuman lebar. “Hai Alya, kamu di sini juga ternyata,” ucap Saka dengan nada penuh semangat, jelas senang bisa bertemu Alya.

Alya sedikit gugup, mencoba bersikap santai. “Eh, Bang Saka! Abang ngapain di sini? Mau beli baju, ya?” tanyanya canggung.

Saka menggeleng sambil menyilangkan tangan di dada, memasang ekspresi percaya diri. “Nggak, Abang lagi mengurus upgrade Gramedia baru di sini. Ada proyek besar yang harus Abang awasi.”

Wajah Saka terlihat penuh kebanggaan, berharap Alya akan memuji atau menunjukkan kekaguman. Namun, respons Alya justru biasa saja.

“Oh, gitu ya, Bang. Ya udah, semangat aja deh,” ucap Alya singkat, membuat Saka sedikit kecewa.

Wilona yang dari tadi diam memperhatikan, hanya menahan tawa kecil melihat ekspresi Saka yang berubah tipis. Ia menatap Alya dengan penuh arti, lalu berbisik, “Alya, kenapa sikap kamu datar banget? Kasihan Bang Saka tuh.”

Alya hanya mengangkat bahu. “Biasa aja, Kak. Memangnya kenapa?” jawabnya santai, membuat Wilona semakin gemas.

Saka, meskipun sedikit kecewa, tetap tersenyum. “Ya sudah, kalau kalian lagi jalan-jalan, nikmati aja, ya. Kalau butuh bantuan apa-apa, bilang aja ke Abang.”

“Siap, Bang,” balas Alya sambil tersenyum kecil.

Saka mengangguk dan melangkah pergi, tetapi dalam hati ia masih berharap suatu saat Alya akan menunjukkan perhatian lebih kepadanya. Wilona hanya menggeleng sambil menatap Alya. “Kamu ini, Al, bikin orang jadi salah tingkah aja.”

   # # #

“Horee… Alhamdulillah! Tau nggak, Gam, kita disuruh ngisi acara di Kalimantan Selatan nanti!” seru Afnan dengan semangat, wajahnya berseri-seri.

“Serius, bro? Coba aku cek jadwalnya dulu,” balas Agam sambil membuka ponselnya. Setelah beberapa detik, ia berseru, “Widih, beneran, bro! Tujuh hari lagi acaranya. Kamu harus siap-siapin semuanya dengan matang, ya.”

Afnan mengangguk penuh keyakinan. “Tenang aja, Gam. Aku bakal persiapkan yang terbaik. Acara ini nggak boleh gagal.”

Agam tersenyum lebar. “Mantap, Nan. Aku bantuin, deh, kalau ada yang kamu butuhin. Biar nanti kita tampil maksimal.”

“Thanks, Gam. Kalau kita sukses di sini, bisa jadi langkah besar buat kita ke depannya,” ujar Afnan dengan penuh optimisme.

......................

Wilona dan Alya tiba di Surabaya menjelang sore. Setelah perjalanan panjang, mereka langsung menuju sebuah restoran terkenal untuk menikmati makan malam sebelum ke apartemen Wilona.

Restoran itu bernuansa mewah namun tetap memberikan suasana tenang. Mereka memilih meja di dekat jendela, menikmati pemandangan kota Surabaya yang mulai diterangi kerlip lampu jalan.

Setelah memesan makanan, mereka larut dalam obrolan santai.

Wilona berbagi rencana kegiatannya beberapa hari ke depan, sementara Alya menceritakan pengalaman-pengalaman lucunya selama di Jakarta. Suasana hangat itu mendadak berubah ketika waiter datang menyajikan minuman.

Alya, yang sedikit terburu-buru menggeser piringnya, tanpa sengaja menjatuhkan segelas minuman ke meja sebelah.

“Ya ampun! Maaf banget!” seru Alya panik. Ia buru-buru berdiri, melihat minuman itu tumpah ke gamis seorang pria muda yang duduk di meja tersebut.

Pemuda itu mendongak, menatap Alya dengan alis sedikit terangkat, lalu tersenyum tipis. “Santai aja, nggak apa-apa,” ucapnya ringan, meskipun gamis putihnya kini basah terkena minuman.

Wajah Alya memerah. Ia langsung merogoh tas, mencari sesuatu untuk membantu membersihkan noda. “Aku benar-benar nggak sengaja, Kak. Maaf banget,” ucapnya tergesa-gesa.

Wilona yang duduk di sebelah Alya tampak terkejut, tapi tetap tenang. Ia mengalihkan pandangannya ke pemuda itu, lalu senyum kecil muncul di wajahnya. “Alya, hati-hati dong,” tegurnya sambil menatap pria itu dengan sorot mengenali.

Pemuda itu tertawa kecil, mengangkat tangannya seolah memberi isyarat agar Alya tak perlu khawatir. “Serius, nggak usah canggung. Mungkin ini cara Tuhan supaya kita bisa ngobrol,” katanya dengan nada santai, senyumnya semakin menghangat.

Wilona mendengarnya dan spontan tersenyum lebih lebar. “Eh, Gus Ziyan! Lama nggak ketemu! Kamu apa kabar?” tanyanya dengan nada akrab.

Alya tertegun. Matanya membulat, menatap Wilona dengan kaget. “Gus Ziyan? Tunggu, ini temannya Gus Afnan?” bisiknya sambil melirik ke arah pria itu, setengah tidak percaya.

Wilona mengangguk sambil tersenyum jahil. “Iya, Al. Ini Gus Ziyan. Salah satu teman dekatnya Afnan,” jawabnya santai. Lalu, ia menoleh ke pemuda itu. “Gus, kenalin, ini Alya, sahabat aku.”

Alya semakin merasa canggung, terutama setelah tahu siapa pria di hadapannya. Ia mencoba menenangkan diri, meski sorot matanya jelas menyiratkan rasa bersalah. “Maaf banget, Gus. Aku benar-benar nggak sengaja,” katanya dengan nada pelan.

Gus Ziyan tersenyum ramah, menganggukkan kepalanya. “Sudah kubilang, nggak perlu khawatir. Lagipula, kejadian kayak gini biasa aja,” jawabnya. “Aku juga baru pulang dari acara bareng Afnan. Kalau kamu butuh sesuatu, bilang aja, ya.”

Alya hanya bisa tersenyum canggung. “Terima kasih, Gus. Aku... beneran nggak tahu harus ngomong apa lagi,” ucapnya dengan pelan.

Gus Ziyan mengalihkan pandangannya ke Wilona, lalu tersenyum kecil. “Ngomong-ngomong, kamu sama Wilona kenal di mana?” tanya Alya yang penasaran dengan keakraban mereka.

“Kami satu kampus, Alya. Bahkan satu kelas,” jawab Gus Ziyan sambil melirik Wilona yang mengangguk setuju.

“Oh... begitu,” Alya mengangguk pelan, mencoba mencerna semuanya.

Tak lama kemudian, Gus Ziyan pamit. “Aku duluan, ya. Mau ketemu teman-teman. Kebetulan ada Afnan juga,” katanya santai sambil berdiri.

Wilona langsung melirik Alya dengan pandangan menggoda. “Oh, Afnan ada juga? Seru, dong,” ujarnya dengan senyum penuh arti.

Gus Ziyan hanya tertawa kecil, lalu menganggukkan kepala. “Pasti. Sampai ketemu lagi, ya. Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam,” jawab Alya dan Wilona hampir bersamaan.

Ketika Gus Ziyan sudah pergi, Wilona langsung menatap Alya dengan senyuman penuh arti. “Alya, aku punya firasat kalau ini baru awal dari cerita yang lebih seru.”

Alya hanya mendengus sambil memalingkan wajah, tapi hatinya tahu, malam itu bukan sekadar kebetulan belaka.

1
nana_eth
suka bangettt sama part yang ini, soalnya ada poin yang bisa diambil
Rudi Rudi
aku sukaaa bgt cerita kok, yaa kadang aku ketawa" sendiri 😍😭
Rudi Rudi
semangat kk buat novelnya/Smile//Drool/
DZX_ _ _@2456
ahhhhhhh
baper
Edgar
Mengurangi stress dengan membaca cerita ini, sukses thor!
Trà sữa Lemon Little Angel
Mantap banget ceritanya, thor! Bener-bener bikin gue terhanyut!
Kieran
Makin seru aja, gak kerasa udah baca sampai akhir!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!