Sejak kehilangan ayahnya, Aqila Safira Wijaya hidup dalam penderitaan di bawah tekanan ibu dan saudara tirinya. Luka hatinya semakin dalam saat kekasihnya, Daniel Ricardo Vano, mengkhianatinya.
Hingga suatu hari, Alvano Raffael Mahendra hadir membawa harapan baru. Atas permintaan ayahnya, Dimas Rasyid Mahendra, yang ingin menepati janji sahabatnya, Hendra Wijaya, Alvano menikahi Aqila. Pernikahan ini menjadi awal dari perjalanan yang penuh cobaan—dari bayang-bayang masa lalu Aqila hingga ancaman orang ketiga.
Namun, di tengah badai, Alvano menjadi pelindung yang membalut luka Aqila dengan cinta. Akankah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi semua ujian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon achamout, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Calon mantu?
Setelah beberapa hari di rumah Alvano, Aqila mulai merasa sedikit bosan. Meski rumah ini luas dan nyaman, dia merasa seperti tidak punya tempat. Hanya berdiam diri di dalam rumah tanpa ada yang bisa dikerjakan membuatnya merasa hampa. Tiba-tiba, Aqila merasa ingin keluar dan menikmati udara segar.
Ia berjalan keluar rumah, terpesona dengan keindahan halaman rumah Alvano yang luas dan penuh dengan tanaman hijau yang subur. Di sisi lain, ada kolam ikan dengan air jernih, dikelilingi tanaman hias yang menambah kesan alami di sekitar rumah. Aqila berdiri di dekat kolam, memandangi ikan-ikan yang berenang dengan lincah. Ia merasa sedikit tenang melihat pemandangan itu, meskipun hatinya masih bergejolak.
"Ah, indah sekali..." bisiknya sambil menikmati pemandangan sekitar.
Aqila tersenyum melihat keindahan ikan-ikan itu. Ia duduk di tepi kolam dan mulai mengusap air, senang dengan suasana tenang yang membawa kenangan masa kecilnya. Dulu ia juga sempat memelihara ikan, tetapi sayangnya, ikan-ikan itu mati satu per satu. Sekarang, melihat ikan-ikan di kolam ini membuat hatinya sedikit lebih ringan.
Saat itu, sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan rumah. Alvano baru pulang dari kampus dengan pakaian rapi. Ia membuka pintu mobil dan melangkah keluar, namun tiba-tiba berhenti karna mendengar suara percikan air. Penasaran, ia menoleh ke samping rumah dan melihat Aqila yang sedang asyik bermain air di kolam.
Alvano tersenyum tipis, menyaksikan Aqila yang tampak begitu bahagia, tidak menyadari kedatangannya. Tanpa sadar, Aqila melangkah lebih dekat ke kolam, terlalu fokus pada ikan-ikan yang ada di dalamnya membuatnya menginjak batu dan tergelincir hampir jatuh ke dalam kolam, namun sebelum itu tangan Alvano dengan sigap menariknya.
Aqila terkejut, dan langsung menatap wajah Alvano yang kini begitu dekat dengannya. Tatapan mata mereka bertemu untuk kedua kalinya. Aqila merasa jantungnya berdebar, dan Alvano pun tidak kalah terkejut, meskipun ia berusaha tetap tenang.
"Aqila, hati-hati," ujar Alvano, matanya tetap tertuju pada wajah Aqila yang sedikit memerah karena rasa malu.
“Eh! Kk Vano, kamu... kamu lagi-lagi menolongku,” ujarnya dengan suara pelan dan malu.
Alvano tersenyum lebar, sedikit mengernyitkan dahi. “Nggak masalah, kamu hampir jatuh. Untung aku ada di sini,” katanya dengan nada yang tenang. Ia membiarkan tangan Aqila yang ia pegang sebentar, lalu perlahan melepaskannya.
"Makasih ya kk Vano.. "
"iya, kenapa kamu disini, apakah kondisi mu sudah baik sekarang? "
"iya kk, aku sudah baikkan sekarang, aku kesini karna aku bosan di dalam rumah sendiri. Aku hanya ingin berjalan jalan sebentar keluar untuk mencari udara segar"
"Emangnya mama kemana? "
"Katanya sih tadi, dia ada urusan sebentar kk. Dia pergi keluar, aku nggak tau kemana"
Alvano manggut manggut, "lalu kamu ngapain dikolam ikan ini aqila? "
Aqila menundukkan wajahnya, merasa malu karena kejadian tadi. “ Aku cuma mau lihat ikan ikannya aja kk, Aku suka ikan-ikan ini. Dulu aku pelihara ikan juga,” katanya, berusaha mengalihkan perhatian. “Tapi... ya, mereka mati semua,” tambahnya dengan senyum kecut.
Sayang sekali,” ujar Alvano, mencoba meredakan ketegangan. “Kamu suka ikan ya?”
Aqila mengangguk. “Iya, aku suka. Mereka... mereka bikin aku tenang.”
Alvano memandang Aqila dengan penuh perhatian. “Kalau gitu, kalau kamu mau ikan, biar aku ambilkan,” tawarnya dengan nada serius, meskipun ia merasa sedikit aneh mendengar dirinya sendiri menawarkan ikan untuk Aqila.
Aqila terkejut mendengarnya. “Eh? Kamu... mau ambilkan?” tanyanya, sedikit bingung.
“Iya,” jawab Alvano sambil tersenyum. Namun, begitu ia mendekat untuk menangkap ikan, langkahnya malah tergelincir. Dalam sekejap, Alvano jatuh ke dalam kolam.
"K..kak Vano!" Aqila berlari menghampiri, tidak tahu harus berbuat apa. Ia melihat Alvano yang tercebur ke kolam. Alvano jadi basah kuyup dan bajunya jadi kotor, bahkan penampilannya terlihat sangat berantakan sekarang.
Alvano mengusap wajahnya yang tertutup air kolam, kemudian berdiri dengan kesulitan. "Aku... baik-baik saja," ujarnya sambil sedikit tersenyum, namun wajahnya tampak sedikit kesakitan. Kakinya terlihat terluka karena kerasnya benturan dengan tembok kolam.
Aqila merasa sangat khawatir. "Kak Vano, kamu jangan paksakan diri," ucapnya dengan nada panik. Alvano keluar dari kolam dan berjalan pelan menuju rumah, namun Aqila merasa tak enak hati dan mengikutinya.
"Biarkan aku bantu," ucap Aqila saat melihat Alvano berjalan pelan dengan kesakitan. Ia bisa melihat luka kecil di kaki Alvano dan memutuskan untuk menolongnya.
Langkah Alvano terhenti saat ia akan menaiki tangga menuju kamarnya, Aqila berdiri di sampingnya dengan penuh perhatian. "Kak Vano, biar aku obati lukamu, ya?" tawarnya dengan suara lembut.
Alvano menatapnya sejenak, merasa canggung dengan kedekatan mereka. "Nggak usah repot-repot," jawabnya pelan, namun Aqila sudah bersikeras. "Jangan khawatir, aku bisa bantu. Biarkan aku."
Aqila membantu Alvano duduk di kursi dan mulai membersihkan luka di kakinya dengan hati-hati. Tangan Aqila yang lembut menyentuh kulit Alvano, membuat suasana terasa semakin canggung. Mereka berdua saling menatap sejenak, namun keduanya merasa tidak bisa menahan perasaan yang muncul di dalam hati mereka.
Aqila merasa canggung saat menyentuhnya, dan Alvano merasa ada perasaan aneh setiap kali melihat Aqila, meskipun mereka baru beberapa hari saja kenal. "Kamu nggak perlu merasa bersalah," ucap Alvano pelan, memecah keheningan. "Aku yang ceroboh."
Aqila hanya tersenyum canggung. "Aku merasa harus bertanggung jawab," katanya dengan suara yang hampir berbisik.
Saat Aqila membersihkan pakaian Alvano yang kotor akibat jatuh ke dalam kolam, tatapan mereka berdua semakin dalam. Sebuah momen diam yang terasa sangat panjang dan penuh makna. Mereka tidak bisa mengalihkan mata mereka dari satu sama lain.
Tiba-tiba, pintu rumah terbuka, dan Mama Alvano Ratna masuk dengan wajah terkejut. "Vano! Apa yang terjadi denganmu?" tanyanya, terkejut Melihat putranya yang basah kuyup, baju kotor dan ada luka kecil di kakinya, wanita paruh baya itu segera menghampiri mereka dengan raut wajah cemas. Ia meletakkan tas belanjaannya di meja lalu menatap Vano dengan khawatir.
"Apa yang terjadi, Nak? Kenapa kamu bisa basah kuyup seperti ini?" tanya ratna, suaranya terdengar panik.
Alvano yang masih duduk mencoba menenangkan ibunya dengan senyum tipis. "Aku nggak apa-apa, Ma. Tadi aku cuma mau nangkap ikan buat Aqila di kolam samping rumah. Aku malah kepeleset dan jatuh ke dalam kolam. Makanya aku basah begini."
"Ya ampun, Vano! Kamu itu harus hati-hati," ujar mamanya sambil memegang pundaknya, memastikan ia benar-benar baik-baik saja.
Di sisi lain, Aqila merasa sangat bersalah. Ia menunduk dengan raut wajah penuh penyesalan. "Maafin aku, Tante. Gara-gara aku, Kak Vano jadi jatuh begini..."
Mama Alvano tersenyum lembut dan memegang tangan Aqila. "Nggak, Sayang. Ini bukan salah kamu. Justru tante berterima kasih karena kamu sudah mau obati luka Vano. Kalau nggak ada kamu, siapa yang bantu dia?"
"Iya, Qila. Nggak usah merasa bersalah," timpal Alvano dengan nada santai, sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. "Aku baik-baik saja. Luka kecil ini nggak apa-apa kok."
Aqila mengangkat wajahnya perlahan, tetapi justru bertemu dengan tatapan Alvano yang tersenyum hangat padanya. Jantungnya berdegup kencang, dan ia merasa wajahnya memerah. Ia mengalihkan pandangan sambil mengusap telapak tangannya dengan gugup.
"Vano, cepat mandi dan ganti baju. Jangan sampai masuk angin," ucap Mama Alvano sambil memandang putranya dengan tegas.
"Iya, Ma. Aku langsung ke kamar," jawab Alvano patuh. Ia bangkit perlahan, berjalan menuju kamarnya sambil melirik sekilas ke arah Aqila.
Setelah Alvano masuk kamar, Mama Alvano menghela napas lega. Ia menatap Aqila yang masih berdiri di ruang tamu dengan wajah sedikit tegang. "Qila, ayo temanin Tante belanja sayur didepan, Tante mau masak sayur untuk makan malam kita nanti."
"i.. iya tante"
"sebenarnya tante mau beli sayurnya dipasar tadi, tapi karna tante lihat banyak yang nggak segar. Tante memutuskan untuk beli dirumah aja. Di depan sini ada warung sayur, segar-segar. Nanti kamu bantuin tante milih ya" ucap Ratna memegang tangan Aqila dan mengajaknya berjalan ke dekat warung yang tidak jauh dari rumahnya.
🌻🌻🌻🌻🌻
Aqila berjalan di sebelah Mama Alvano, menuju sebuah kedai sayur sederhana di seberang jalan. Kedai itu tampak ramai oleh ibu-ibu yang asyik memilih sayuran dan berbincang. Ratna menyambut pemilik kedai dengan senyum hangat, sementara Aqila berdiri canggung di sampingnya, merasa tak familiar dengan keramaian ini.
"Qila, sini, bantu Tante pilih sayuran, ya," ucap Ratna sambil menyerahkan sebuah keranjang belanja kecil ke tangan Aqila.
"I-iya, Tante," jawab Aqila sambil tersenyum tipis. Tangannya mulai sibuk memilah-milah buncis dan wortel di hadapannya.
Sejumlah ibu-ibu yang juga berbelanja di sana mulai melirik ke arah Aqila, wajah mereka tampak penasaran. Salah satu dari mereka, seorang wanita paruh baya dengan kerudung motif bunga, berbisik pada ibu di sebelahnya.
"Bu Ratna bawa siapa itu? Cantik sekali gadisnya," tanya wanita itu sambil melirik Aqila.
Ratna, yang mendengar bisikan tersebut, tersenyum ramah dan menjawab ringan, "Ini Aqila, tamu di rumah saya"
Wah, tamu atau calon mantu, Bu Ratna?" godanya dengan nada setengah bercanda.
Aqila yang tengah sibuk memilih wortel sontak membeku. Jantungnya berdegup kencang, wajahnya memerah seketika. Ia menunduk lebih dalam, berusaha bersembunyi di balik rambutnya yang jatuh menutupi sebagian wajah. Dalam hatinya, ia bergumam panik, "Calon mantu? Ya Allah, apa-apaan ini.."
"Bukan, bukan begitu," jawab Ratna cepat sambil tertawa kecil, merasa sedikit canggung. "Aqila ini tamu yang menginap di rumah saya, dia ini anak dari sahabat suami saya, Dia anak baik."
Ibu-ibu di sekitar itu semakin bersemangat menggoda. Salah satu dari mereka, seorang wanita dengan tawa renyah, menambahkan, "Anak baik cocoknya jadi calon menantu, Bu Ratna. Lagipula, anak bu Ratna kan belum punya pacar. Siapa tahu jodoh. Udah cocok, sama-sama cakep!"
Aqila makin salah tingkah. Dalam hati, ia berbisik pelan, "Tidak mungkin, Aku mana mungkin bisa menjadi istri Kak Vano. Dia terlalu sempurna, Aku bukan siapa-siapa..."
Ratna, di sisi lain, hanya tersenyum simpul. Sebuah ide mulai muncul di benaknya seiring candaan para ibu-ibu tadi. Ia menatap Aqila yang masih sibuk memilih sayuran sambil menunduk, kemudian berpikir dalam hati, "Aqila ini gadis baik. Tutur katanya sopan, wajahnya cantik, dan hatinya terlihat tulus. Alvano pasti butuh seseorang seperti dia. Hmm, bagaimana kalau benar-benar kujodohkan saja mereka?"
Namun, Ratna tidak langsung mengutarakan pikirannya. Ia berusaha tetap fokus pada belanja. "Sudahlah, kalian ini suka bercanda. Ayo, Aqila, kita ambil tomat sama cabai, ya. Tante mau bikin sambal nanti malam," ucap Ratna dengan nada lembut.
"I-iya, Tante," jawab Aqila gugup, masih merasa banyak mata tertuju padanya.
Sementara itu, ibu-ibu yang masih berada di sana hanya tersenyum-senyum menggoda. Salah satunya berbisik pelan, "Duh, Vano sama gadis itu pasti cocok banget. Kalau jadi mantu, kita harus datang ke resepsinya!"
Sepanjang perjalanan keluar dari kedai, Aqila tak henti-hentinya menunduk. Wajahnya masih merah padam. Ratna menyadari hal itu dan terkekeh pelan.
"Qila, nggak usah dipikirin omongan ibu-ibu tadi. Mereka memang suka bercanda begitu," ujar Ratna menenangkan.
Aqila menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis meski hatinya masih gelisah. "Iya, Tante... Tapi mereka bilang seperti itu,aku jadi malu."
Ratna tersenyum penuh arti. Ia menatap Aqila dalam-dalam sebelum menjawab, "Malu kenapa? Kamu itu anak baik, Qila. Kalau pun ada yang mengira begitu, itu artinya kamu pantas jadi seseorang yang spesial."
Aqila tak menjawab, hanya menunduk semakin dalam. Hatinya berdebar. Perasaan yang tak bisa ia jelaskan mulai muncul sejak tinggal di rumah Alvano. Ia tahu bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa dibandingkan dengan Alvano yang sempurna. Namun, mengapa perkataan Tante Ratna terasa begitu menghangatkan hati?
Di dalam hati, Ratna mulai merencanakan sesuatu. "Kalau Alvano bisa melihat Aqila seperti aku melihatnya, aku yakin hati Vano bisa luluh. Mungkin inilah gadis yang selama ini dicari anakku."
**********
vote, like and komennya jangan lupa ya readersss.. ☺ mampir juga ke cerita lama aku "KEKASIH HALALKU " ya...!
Bantu dukung akun ini dengan follow dan jangan lupa bantu promosiin ceritanya🤗😉