Alya, gadis miskin yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas harus bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya tertarik saat menerima tawaran menjadi seorang baby sister dengan gaji yang menurutnya cukup besar. Tapi hal yang tidak terduga, ternyata ia akan menjadi baby sister seorang anak 6 tahun dari CEO terkenal. kerumitan pun mulai terjadi saat sang CEO memberinya tawaran untuk menjadi pasangannya di depan publik. Bagaimanakah kisah cinta mereka? Apa kerumitan itu akan segera berlalu atau akan semakin rumit saat mantan istri sang CEO kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17, Terjebak dalam perasaan
Alya dan Tara duduk di ruang tamu, merencanakan sesuatu yang tidak biasa. Hari ini, mereka berdua berencana sedikit "mengubah" hari Aditya yang begitu kaku dan disiplin dengan sesuatu yang lebih fleksibel.
Alya berbisik, sambil memeriksa ponselnya, "Bagaimana kalau kita ubah sedikit suasana hari ini, Tara? Ayo kita beri kejutan untuk ayahmu."
Tara terlihat berpikir keras, lalu tersenyum nakal, "Aku suka ide itu! Kita bisa ganti playlist-nya dengan musik pop konyol!"
Alya mengangguk dengan penuh semangat, dan Tara langsung berlari menuju laptop Aditya yang tergeletak di meja kerja. Mereka tahu betul betapa seriusnya Aditya ketika sedang bekerja. Alya sedikit khawatir, namun ia juga tahu bahwa terkadang, Aditya perlu sedikit "gangguan" untuk melonggarkan rutinitasnya yang kaku.
Sambil menyelipkan ponsel di kantongnya, Alya pun mengikuti langkah Tara dan duduk di kursi kerja Aditya, kemudian menarik dan memangku tubuh mungil Tara di pangkuannya, "Oke, kita butuh musik yang... benar-benar tidak masuk akal. Bagaimana kalau lagu-lagu pop tahun 90-an? Yang sempat viral tapi super aneh?"
Tara tertawa kecil, "Pas banget! Aku tahu lagu yang tepat!"
Tara mengoperasikan laptop dengan cekatan, dan beberapa detik kemudian, suara musik pop dari era 90-an yang ceria dan konyol mulai mengalun di speaker. Lagu-lagu seperti *"Barbie Girl"* dan *"Mambo No. 5"* mulai mengisi ruangan, dan mereka berdua menahan tawa melihat reaksi Aditya yang sangat serius di meja kerjanya, tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Alya mengusap tangan Tara, berbisik, "Kita tunggu sebentar, ya? Aku ingin melihat reaksinya."
Mereka bersembunyi di sudut ruangan, menunggu dengan penuh harap, sambil mendengar suara Aditya yang mulai terdengar sedikit bingung dari arah ruang kerjanya. Aditya, yang biasanya sangat terfokus, sepertinya mulai menyadari ada yang aneh dengan musiknya.
"Apa-apaan ini? Kenapa tiba-tiba jadi lagu seperti ini...?" gumamnya dalam hati.
Namun, bukannya terganggu, Aditya malah terdiam sejenak. Ia mendengarkan lagu yang tak biasa itu, mencoba untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Namun, semakin lama, semakin sulit untuk mempertahankan keseriusan itu. Akhirnya, Aditya meletakkan pensilnya, memejamkan mata, dan berusaha menahan senyum.
"Sejak kapan Tara suka lagi seperti ini?" gumamnya pelan sambil melirik ke arah laptop di atas meja.
Tara dan Alya tidak bisa menahan tawa mereka lagi. Mereka muncul dari balik pintu, dengan senyum lebar di wajah mereka.
Tara tertawa, sambil menunjuk ke speaker, "Hah! Ayah! Kita hanya ingin memberikan sedikit warna di rumah ini! Gimana ayah suka?"
Alya tersenyum, mencoba menahan tawa, "Iya, Aditya. Kadang-kadang, sedikit kegilaan bisa membuat hari kerja lebih menyenangkan, bukan?"
Aditya menatap mereka berdua, mencoba untuk tampak serius, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan senyum yang mulai merekah di wajahnya. Sementara itu, Tara tampak sangat senang dengan "kemenangan kecil" mereka.
Aditya menggelengkan kepala, sambil tersenyum tipis, "Kalian berdua memang ada-ada aja. Aku tidak tahu harus bagaimana.."
Alya menyilangkan tangannya di depan dada sambil menatap ke arah Aditya, dan dengan nada penuh canda berkata:
"Tapi kamu harus akui, musik ini bisa jadi pilihan yang menyegarkan juga, kan?"
Aditya menghela napas, lalu dengan sedikit tawa yang tak bisa ia bendung, ia melanjutkan pekerjaannya, namun kali ini dengan suasana yang jauh lebih ringan.
"Oke, oke. Tapi aku tetap tidak akan mendengarkan lagu-lagu ini di waktu kerja. Tapi... terima kasih sudah membuat hari ini lebih... menarik." ucap Aditya dengan nada serius tapi malah terlihat lucu.
Tara yang sangat puas dengan reaksinya menambahkan,
Tara mengangkat tangan seperti juara, "Ayah, boleh ngajak Tara ganti wallpaper layar laptop ayah?" tanya nya sambil menatap Aditya dengan ekspresi yang dibuat semanis mungkin.
"Terserah kalian." ucap Aditya pasrah. Ia membiarkan Tara dan Alya mengotak-atik laptopnya.
"Alya, gambar apa yang paling bagus?" tanya Tara sambil memilih gambar yang tersimpan di laptop sang ayah.
"Apa aja, Tara. Alya suka, tapi nggak yakin sama ayah kamu." lanjutnya lirih sambil melirik ke arah Aditya yang pura-pura sibuk dengan berkas di tanganya.
"Bagaimana kalau ini?" tanya Tara saat menemukan foto mereka bertiga saat mereka tengah di taman hiburan,
Aditya menyimpannya? Aku kira ia akan menghapusnya, batin Alya terkejut. Ia tidak menyangka Aditya akan menyimpan foto mereka.
"Alya cantik sekali di sini." ujar Tara lagi membuat Alya tersipu.
"Tara juga." timpal Alya. "Ayah juga tampan kan di sini!?" ucap Alya lagi sembari melirik ke arah Aditya, dan tanpa sengaja mereka saling bertemu pandangan .
Aditya menatap Alya, ada sedikit rasa kehangatan yang mulai tumbuh dalam dirinya, meskipun ia tidak ingin mengakuinya.
Hari demi hari, Alya merasa semakin nyaman dengan rutinitas barunya. Pekerjaan sebagai pengasuh Tara bukan hanya sekadar mengisi waktu, tetapi juga menjadi cara Alya untuk menyelami dunia yang jauh berbeda dari hidupnya sebelumnya. Ia merasakan kedekatan dengan Tara yang semakin hari semakin terasa seperti hubungan kakak-adik. Namun, yang lebih mencolok adalah perubahan kecil dalam dirinya—sesuatu yang mulai tumbuh perlahan-lahan, sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa tanggung jawab sebagai pengasuh.
Alya mulai melihat sisi lain Aditya, jauh di luar sosok CEO yang tegas dan perfeksionis. Ada momen-momen di mana ia melihat Aditya yang tampak ragu-ragu, yang kehilangan arah di antara tumpukan pekerjaannya, atau bahkan ketika ia terlihat melindungi Tara dengan penuh kasih sayang, meskipun ia tidak mengatakannya. Ada kelembutan yang jarang ia tunjukkan pada orang lain, dan Alya mulai merasakan sesuatu yang berbeda.
Namun, ia tidak bisa menipu dirinya sendiri. Alya tahu apa yang ada di hadapannya—sebuah jurang yang dalam. Perbedaan status mereka begitu jelas. Aditya adalah seorang pria kaya dan sukses, sementara dirinya hanyalah seorang wanita biasa yang bekerja serabutan untuk membantu keluarganya. Ia berasal dari dunia yang berbeda, dan bahkan jika perasaan itu ada, rasanya mustahil untuk bisa menghadapinya.
"Tidak, Alya. Jangan bodoh. Kamu tahu perasaan ini hanya akan membuat semuanya lebih rumit." gumam Alya dalam hati.
Alya sering kali menemukan dirinya termenung, merenung tentang perubahan dalam dirinya yang sulit dijelaskan. Setiap kali ia mendekati Aditya, meskipun ia mencoba untuk tetap profesional, hatinya selalu berdebar-debar. Ada banyak momen di mana ia melihat ke dalam mata Aditya dan merasa seolah-olah dunia di sekitar mereka berhenti sejenak.
Namun, Alya tahu bahwa Aditya masih terperangkap dalam masa lalu yang kelam. Ia tahu tentang perceraiannya dengan mantan istrinya, tentang bagaimana Tara begitu terluka oleh kehilangan ibunya yang lebih memilih karier daripada anaknya. Aditya, dengan segala kekuatannya, tetap memiliki luka yang dalam, dan Alya merasa bahwa ia tidak pantas untuk menjadi bagian dari kehidupan pria itu.
"Aku tidak bisa seperti ini. Aku tidak bisa berharap lebih dari apa yang sudah ada. Tidak ada ruang untuk seseorang seperti aku dalam hidupmu." gumam Alya pelan sambil menatap Aditya dari kejauhan.
Alya kembali mengalihkan pandangannya dari Aditya, menatap Tara yang sedang bermain di taman, tak menyadari perasaan yang berkecamuk di dalam hati pengasuhnya. Dia tidak bisa membiarkan perasaan ini berkembang. Tidak dengan latar belakang Aditya yang begitu rumit, tidak dengan perbedaan dunia yang begitu jelas antara mereka.
Tapi, perasaan itu tetap ada, tersembunyi di balik senyum dan tawa yang ia bagikan bersama Aditya dan Tara. Alya sering merasakan hangatnya perhatian Aditya, meskipun ia tahu betul bahwa pria itu selalu menjaga jarak.
"Mungkin aku hanya merasa terikat pada dia karena aku sering melihatnya menjaga Tara, dan itu membuat hatiku lembut. Tapi itu tidak cukup untuk membuatku menginginkan lebih... bukan?" batin Alya lagi.
Alya menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir perasaan itu. Tapi semakin ia berusaha untuk mengabaikan perasaannya, semakin ia merasa bahwa perasaan itu mulai menguasai dirinya.
"Aku harus berhenti berpikir seperti ini. Aku di sini untuk membantu Tara, bukan untuk mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin."
Namun, pada kenyataannya, tidak ada yang bisa menghentikan perasaan itu untuk tumbuh perlahan-lahan, meskipun Alya tahu bahwa hubungan mereka—terlepas dari kedekatannya dengan Tara—hanya akan tetap seperti ini, di tempat yang aman dan jauh dari perasaan yang lebih dalam.
Alya duduk di tepi tempat tidur, menatap bayangan dirinya di kaca. Ia merasa bingung, terperangkap di antara kenyataan dan perasaan yang tak bisa ia kendalikan. Perasaan yang datang begitu tiba-tiba, dan bahkan lebih sulit untuk disadari.
Alya tahu satu hal dengan pasti: ia harus menjaga jarak. Meskipun perasaan itu ada, ia tidak bisa membiarkan dirinya terjerat lebih jauh. Ada batasan yang jelas—batasan yang tidak bisa ia lewati. Dunia yang dimiliki Aditya dan Tara jauh lebih besar daripada dunia Alya. Dan dunia itu tidak ada tempatnya untuk seseorang seperti dia.
"Ini bukan tempatku. Aku hanya pengasuh. Jangan pernah berharap lebih dari ini." gumamnya pelan dan memilih untuk merebahkan tubuhnya, memejamkan matanya berharap esok hari semua perasaan itu akan hilang.
Bersambung
Happy reading