NovelToon NovelToon
Antasena Pendekar Tanpa Tanding

Antasena Pendekar Tanpa Tanding

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Spiritual / Perperangan / Ilmu Kanuragan / Kultivasi Modern / Penyelamat
Popularitas:6.6k
Nilai: 5
Nama Author: kelana syair( BE)

Pengembaraan seorang pendekar muda yang mencari para pembunuh kedua orang tuanya.Ia berkelana dari satu tempat ketempat lain.Dalam perjalanannya itu ia menemui berbagai masalah hingga membuat dirinya menjadi sasaran pembunuhan dari suatu perguruan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kelana syair( BE), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Memperdalam ilmu

Duuaaar! Duuaaar! Suara petir menggelegar bersahutan, mengoyak langit pagi di atas Desa Parang Sari. Kilatan cahaya putih menyambar-nyambar menghiasi pagi. Tidak lama kemudian hujan pun turun dengan derasnya mengguyur Desa Parang Sari tanpa ampun.

Di suasana pagi yang hujan deras itu semangat Ki Supa tak sedikit pun padam. Di rumah belakang yang sederhana, ia dan Antasena telah bersiap.  Tetes-tetes air hujan seakan menambah kesungguhan suasana pagi itu.  "Antasena," Ki Supa memulai dengan suara berat, "hari ini akan kuajarkan padamu cara menempa senjata yang ampuh, senjata yang tanpa cela."

"Iya ayah, aku akan memperhatikan dengan baik setiap langkah dari pembuatan pedang itu, " sahut Antasena.

Mata Antasena berbinar penuh semangat. Ia menatap batu besi yang diambilnya dari Gunung Kemulan dengan penuh harap senjata itu cepat selesai. Batu itu, yang kini tergeletak di hadapannya, akan segera ditempa menjadi senjata sakti di tangan ayahnya. Ki Supa melanjutkan, "Dengan batu besi ini, kita akan sempurnakan pedang yang sempat tertunda pembuatannya."

Ki Supa mengambil palu godamnya yang besar, otot-otot lengannya menegang. Api di tungku telah menyala dengan ganas, siap melahap batu besi itu dan mengubahnya menjadi senjata yang menakutkan. Antasena memperhatikan setiap gerakan ayahnya dengan saksama, tak ingin melewatkan satu detail pun. Ia tahu, hari ini adalah hari yang penting, hari di mana ia akan mempelajari ilmu tingkat tinggi dari sang ayah sekaligus gurunya.

"Perhatikan baik-baik, Antasena," Ki Supa berkata dengan suara berat, "Pembuatan senjata bukan hanya soal kekuatan, tapi juga tentang ketepatan dan perasaan."

Antasena mengangguk, matanya tak lepas dari batu besi yang mulai memerah dalam kobaran api. Ia merasakan jantungnya berdebar keras.  Tak sabar untuk segera memegang palu dan merasakan panasnya api tungku.

Ki Supa dengan cekatan memasukkan batu besi yang membara ke dalam cetakan.  "Ini adalah tahap yang paling penting,"  lanjutnya, "Bentuk senjata harus sesuai dengan jiwanya."

Palu godam terayun,  menghantam besi panas dengan kekuatan yang terukur. Percikan api berhamburan,  menerangi wajah Ki Supa yang terlihat fokus.  Antasena menahan napas,  kagum dengan tenaga dan ketelitian ayahnya.

"Setiap pukulan harus memiliki tujuan,  Antasena," Ki Supa berkata di sela ayunan palunya,  "Bukan hanya sekedar menghantam,  tapi membentuk."

Antasena semakin terpaku. Ia melihat bagaimana ayahnya membentuk besi panas itu menjadi sebilah pedang yang indah dan kuat.Dari gagang sampai ke ujungnya terlihat memancarkan daya tarik yang luar biasa. 

"Kelak,  kau akan akan menggunakan senjata ini, Antasena,"  Ki Supa berkata sambil  mencelupkan pedang yang masih membara ke dalam air,  menciptakan uap panas yang mengepul,  "Dan senjata ini akan menjadi perpanjangan dari jiwamu."

Antasena merasakan semangatnya berkobar.  Ia membayangkan dirinya  berdiri di depan tungku yang menyala-nyala,  menempa senjata  yang akan menjadi kebanggaannya.  Ia tak sabar untuk segera memulai pelajarannya dan  menguasai ilmu  pembuatan senjata dari ayahnya itu.

Tidak lama kemudian, Ki Supa pun selesai menempa pedang itu. Sebuah pedang berwarna merah darah dengan gagang berbentuk kepala naga yang menyeringai, detail sisiknya begitu hidup hingga tampak seperti naga sungguhan yang siap menyemburkan api.

Antasena terpana menyaksikan senjata buatan ayahnya. Pedang itu memancarkan hawa kekuatan yang luar biasa, getarannya terasa hingga ke ulu hati Antasena. Ia tak sabar ingin segera mencobanya.

"Inilah pusaka yang akan menjadi sahabatmu dalam mengarungi kehidupan, Antasena," ucap Ki Supa dengan suara berat, seraya menyerahkan pedang itu kepada putranya. "Rawatlah ia baik-baik, gunakanlah dengan bijak."

Antasena menerima pedang itu dengan penuh hormat. Berat pedang itu terasa pas di tangannya, seolah memang diciptakan khusus untuknya. Ia mengacungkan pedang ke udara, cahaya merah darah berpendar memenuhi ruangan, membuat mata Antasena berbinar kagum.

"Terima kasih, Ayah," ucap Antasena dengan suara bergetar, penuh rasa syukur dan takjub. Ia merasakan kekuatan mengalir dari pedang itu ke tubuhnya, membuatnya merasa tak terkalahkan.

"Sekarang, cobalah," Ki Supa memberi isyarat ke arah sebuah batu besar di sudut ruangan. "Keluarkan semua kemampuanmu."

Antasena mengangguk mantap. Ia memusatkan seluruh tenaganya, kemudian dengan sekali tebas, pedang merah saga itu membelah batu besar tersebut menjadi dua! Suara ledakan menggelegar memenuhi ruangan, debu beterbangan. Antasena terpana, ia tak menyangka kekuatan pedang itu begitu dahsyat.

Ki Supa tersenyum bangga. "Ingat Antasena," pesannya, "kekuatan besar datang bersama tanggung jawab yang besar pula. Gunakan pedang ini untuk kebaikan, lindungi yang lemah, dan tegakkan keadilan."

Antasena menunduk hormat. "Aku berjanji, Ayah." Ia tahu, perjalanan hidupnya akan segera berubah setelah mengembara nanti.

"Bagus ayah senang mendengarnya," Tapi apakah kamu sudah paham tentang cara ayah membuat pedang itu Antasena? "tanya Ki supa.

"Sepertinya sudah ayah, karena tadi aku sungguh-sungguh memperhatikannya, " jawab Antasena, dengan percaya diri.

"Kalau begitu cobalah kau buat sebuah pisau dan nanti tunjukkan pada ku hasilnya, " pinta Ki supa, "Ingat dalam membuat senjata tidak perlu buru buru Antasena, yang diperlukan adalah ketelitian dan kesabaran, " kata Ki supa kemudian pergi ke rumah depan untuk menemui istrinya.

Antasena mengumpulkan material terbaik yang tersisa – besi baja kualitas tinggi, kayu cendana wangi untuk gagang, dan batu permata berkilauan untuk hiasan.

Ia mulai dengan memanaskan besi baja di dalam tungku hingga membara. Keringat membasahi keningnya, namun Antasena tak peduli. Ia memukul-mukul besi panas itu dengan palu, membentuknya perlahan menjadi bilah pisau yang tajam. Sesekali ia berhenti, mengamati hasil karyanya dengan seksama, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya dengan tekun.

Tak semudah yang dibayangkan. Beberapa kali Antasena melakukan kesalahan. Bilahnya patah, gagangnya retak, bahkan ia sempat melukai tangannya sendiri. Namun Antasena pantang menyerah. Ia ingat pesan ayahnya, "Dalam membuat senjata yang terpenting adalah ketelitian dan kesabaran."

Berhari-hari Antasena menghabiskan waktu di rumah kecil itu. Ia mengasah kemampuannya, belajar dari setiap kesalahan, dan terus memperbaiki tekniknya. Perlahan tapi pasti, pisau karyanya mulai terbentuk. Bilahnya tajam dan kokoh, gagangnya nyaman digenggam, dan hiasan permata di gagangnya berkilau indah.

Akhirnya, tibalah saatnya untuk menguji ketajaman pisau itu. Antasena mengambil sehelai rambut, lalu dengan hati-hati ia letakkan di atas bilah pisau. Hanya dengan sekali tiup, rambut itu terbelah menjadi dua! Antasena tersenyum puas. Ia telah berhasil menciptakan sebuah pisau yang tajam, melebihi harapannya.

Kini, Antasena siap untuk menunjukkan karyanya kepada ayahnya. Ia ingin membuktikan bahwa ia telah menjadi seorang pande besi yang handal, seorang penerus yang layak bagi Ki Supa. Dengan pisau di tangan dan hati berdebar, Antasena melangkah keluar, menuju rumah ayahnya berada.

"Ayah aku telah selesai membuat pisau seperti yang ayah minta, " kata Antasena, sudah tidak sabar ingin tahu bagaimana penilaian ayahnya itu.

Antasena kemudian menyerahkan pisau itu kepada ki supa.

"Antasena, anakku," Ki Supa berkata dengan suara bergetar, "Pisau ini... sungguh luar biasa!"

Antasena tersipu malu mendengar pujian ayahnya. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Benarkah, Ayah? Aku membuatnya dengan sepenuh hati, mengikuti semua petunjuk Ayah."

Ki Supa mengangguk, matanya berbinar-binar. "Kau memang anak Ayah yang paling pintar. Ketajamannya melebihi dugaanku, dan kekokohannya... hmm, mungkin bisa menandingi baja terbaik dari negeri seberang!"

Ki Supa mengambil pisau itu, membolak-baliknya dengan hati-hati. Ia menguji ketajamannya dengan mengiris sehelai rambut yang jatuh di lantai. Rambut itu terbelah menjadi dua dengan mudahnya.

"Memang masih ada sedikit kekurangan," Ki Supa melanjutkan, "Pegangannya masih terasa sedikit kasar, dan keseimbangannya perlu sedikit diperbaiki. Tapi secara keseluruhan, ini adalah karya yang sangat mengagumkan, Nak!"

Antasena mendengarkan dengan seksama setiap kata yang diucapkan ayahnya. Hatinya berbunga-bunga mendengar pujian dan masukan darinya.

"Terima kasih, Ayah," ucap Antasena dengan tulus. "Aku akan terus berlatih dan memperbaiki kekuranganku."

Ki Supa tersenyum bangga. "Itulah anakku! Ayah yakin, kau akan menjadi seorang Empu yang hebat suatu hari nanti." Ia menepuk pundak Antasena dengan penuh kasih sayang. "Sekarang, bagaimana kalau kita coba pisau ini di luar? "ucap Ki Supa.

1
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow
Zainal Arifin
lanjutkan
Redy Ryan Little
Bagus
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Muantebz
ria
lanjutkan
ria
lanjutkan maju terus
ria
maju
ria
semangat
ria
lanjutkan
ria
mantap
ria
maju terus
ria
lanjutkan
yun
mantap semangat dan lanjutkan
yun
lngsung kam
yun
semangat
yun
maju terus
yun
lanjutkan
yun
maju trus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!