NovelToon NovelToon
Sebuah Titik Di Horizon

Sebuah Titik Di Horizon

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:976
Nilai: 5
Nama Author: Gama Lubis

Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.


Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ragu

Jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Orang rumah sudah pergi memulai aktivitasnya, tersisa Naima dan adiknya yang entah ada di mana. Burung tetangga yang sempat berkicau ramai tadi pagi kini sudah diam, seolah kehabisan lagu untuk dinyanyikan. Naima menatap layar laptop di depannya, kursor yang berkedip-kedip seperti sedang mengejek kebuntuannya. Jemarinya, yang tadi lincah menari di atas keyboard, kini terhenti. Ia bingung. Dua jam berlalu, dan hanya tiga paragraf yang berhasil ia tuliskan.

Dengan frustrasi, Naima meletakkan wajahnya di atas meja makan. Matanya terpejam, berharap keajaiban akan datang—sebuah ilham yang mengetuk pikirannya dan mengalirkan kata-kata yang selama ini ia cari.

Tiba-tiba, suara langkah kaki menggema pelan di ruangan itu. Gadis dengan rambut bob mendekat, membuka kulkas, lalu mengambil sebotol minuman dingin. Dengan santai, Zahra duduk di meja makan, tepat di hadapan Naima.

Zahra menirukan gaya Naima, meletakkan kepalanya di atas meja. Matanya menyipit nakal, dan akhirnya pandangan mereka bertemu. Ada jeda sejenak, sebelum Zahra angkat bicara.

"Huff, bosen," kata Zahra, mencoba memancing respons dari Naima.

Naima hanya membalas dengan tatapan kosong. Kepalanya masih terlalu berat dengan pikirannya sendiri. Ia merasa seperti terperangkap dalam dunia tanpa kata-kata. Layar laptop Naima sudah padam, terlalu lama menunggu didiamkan.

“Genre aksi lagi, Kak?” tanya Zahra sambil melirik layar laptop Naima.

Naima menggeleng pelan, masih tidak bisa mengalihkan pikirannya dari ketidakpastian. “Bukan. Genre romansa.”

Zahra mengangkat alis, ekspresi terkejutnya terlukis jelas di wajahnya. “Owh, tumben.”

Naima hanya mengangguk pelan, meski ragu. “Ya, peminat romansa lagi banyak-banyaknya. Jadi aku mau coba buat.” Tapi nada suaranya begitu tidak yakin, seperti ia sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

“Udah berapa bab?” Zahra bertanya, matanya berbinar-binar ingin tahu.

Naima mendengus kecil, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. “Bab? Satu halaman aja belum.” Frustrasi semakin menggigit, dan ia hanya bisa menatap layar kosong itu, berharap sesuatu akan datang untuk menyelamatkannya.

“Gimana mau nulis, pengalaman aja nggak ada,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.

Zahra menahan tawa kecil, lalu mencondongkan tubuhnya ke meja. “Ya kan ada Kak Malik sama Kak Yudha. Gimana tuh?” Zahra jelas masih mencoba mengaitkan segalanya dengan dua nama yang selalu mengusik pikiran Naima.

Naima memutar bola matanya dengan malas, rasa kesal mulai menggebu. "Aih, enggak, jangan dua orang itu lagi," batinnya. Dua nama itu, Malik dan Yudha, seolah terus menghantui dan menumpuk beban yang ingin ia lupakan.

Zahra mengangkat bahu, senyum tipis di wajahnya seolah berkata, aku cuma bercanda, kok. Tapi Naima merasa, canda itu tetap saja menyentil sudut-sudut pikirannya yang ingin ia pendam jauh-jauh.

Zahra berpikir sejenak, lalu menatap laptop Naima dengan penuh minat. "Oke, gimana kalau aku kasih ide? Ceritanya tentang... hmm... seorang penulis yang lagi stuck nulis romansa karena nggak punya pengalaman cinta."

Naima memutar bola matanya, merasa semakin terjebak dalam suasana ini. "Itu kan aku sekarang, Zahra. Mana orisinalitasnya?"

Zahra mengangkat bahu dengan santai. "Justru itu, Kak. Tulis aja apa yang kamu rasain. Kadang pembaca suka cerita yang jujur. Nggak usah dipaksain bikin sesuatu yang rumit."

Naima terdiam sejenak, mencerna kata-kata Zahra. Ada benarnya, meski kata-kata itu datang dari seseorang yang belum sepenuhnya mengerti. Tulis apa yang dirasakan? Mungkin itu memang yang harus dia lakukan, mengalirkan apa yang ada dalam hatinya.

Zahra berpikir sejenak, jemarinya mengetuk dagu. “Gimana kalau kita pergi ke beberapa tempat buat cari ide. Ya mungkin Kak Naima dapet referensi.”

Naima menatap Zahra dengan dahi berkerut. "Pergi ke beberapa tempat? Bilang aja kamu mau jalan-jalan"

Zahra mengangguk antusias. "Iya… betul sih kak, aku pengen jalan-jalan. Tapi siapa tahu kak Naima dapat inspirasi. Banyak yang bilang, suasana baru bisa memancing ide tulisan tau. Lagian, daripada kita mati bosan di rumah kayak gini."

Naima menghela napas panjang. Dia menatap layar laptopnya yang masih kosong, lalu beralih menatap Zahra yang sudah menunggu dengan tatapan penuh harap. Sepertinya Zahra benar, sesuatu yang baru bisa memberinya perspektif baru. Mungkin ini yang ia butuhkan.

"Ke mana?" tanya Naima akhirnya, setengah ragu, mencoba menepis kebosanan yang semakin menguasainya.

"Ke mana aja!" Zahra menjawab cepat, seolah sudah menyiapkan jawabannya. "Mungkin kafe kek, taman kota, atau tempat yang ada vibes romantisnya. Pokoknya tempat yang bisa bikin Kakak ngerasain... ya, apa ya? Suasana cinta-cintaan gitu deh!"

Naima memutar bola matanya, tapi tak bisa menahan tawa kecil. "Kamu pikir cinta itu bisa datang cuma karena suasana?"

"Eh, siapa tahu," sahut Zahra sambil mengangkat bahu. "Kakak nulis romansa, kan? Berarti, ya, butuh suasana romantis biar feel-nya dapet."

Naima terdiam sejenak, mempertimbangkan. Mungkin Zahra ada benarnya. Dia sudah terlalu lama terjebak dalam rutinitas yang itu-itu saja. Mungkin sedikit perubahan suasana bisa membantu.

"Oke," katanya akhirnya, menutup laptopnya. "Kemana kita sekarang?"

Zahra bersorak kecil dan langsung bangkit dari kursinya. "Sip, Kak! Kita ke taman kota sekarang!"

Rasanya sudah seminggu berlalu sejak Sarah dan Abraham menanyakan keputusan lamaran Malik kepada Naima. Selama itu, tidak ada lagi pertanyaan yang terlontar dari kedua orang tuanya. Bagi Naima, keheningan ini adalah sebuah kelegaan, meski dia tahu bahwa diam mereka hanya sementara.

Dan benar saja, ketenangan itu kembali terusik saat Naima tidak sengaja bertemu dengan Hanum, ibu Malik, di taman kota. Hanum sedang duduk di bangku taman, ditemani seorang anak kecil yang tampaknya adalah cucu laki-lakinya. Anak itu tertawa riang sambil berlari ke sana kemari, bermain dengan daun-daun kering yang berserakan di tanah.

Langkah Naima terhenti. Dia hendak berputar balik ketika ia melihat sosok Hanum, tetapi sudah terlambat untuk menghindar. Hanum menoleh, dan tatapannya langsung bertemu dengan Naima.

"Naima?" sapanya dengan ramah, sambil memberikan senyum kecil.

"Tante," balas Naima dengan nada sedikit canggung.

Hanum menepuk bangku di sebelahnya, mengisyaratkan agar Naima duduk. Tidak ada pilihan lain, Naima mengangguk dan duduk di sisi wanita itu.

Hanum menghela napas panjang sebelum memulai percakapan. "Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Kamu baik-baik saja, Nak?"

"Alhamdulillah, baik, Tante," jawab Naima singkat.

"Kamu sedang apa di sini, Naima?" tanya Hanum dengan nada ramah, matanya melirik laptop kecil yang ada di pangkuan Naima.

"Ah, saya cuma cari suasana aja, Tante, buat tulisan saya," jawab Naima sambil tersenyum tipis, berusaha terlihat santai.

Hanum mengangguk pelan, matanya masih tertuju pada Naima. "Sendirian?" tanyanya lagi, kini lebih lembut.

"Enggak, Tante. Saya sama adik saya, dia lagi beli jajanan," jawab Naima.

Setelah beberapa saat mengawasi cucunya yang tengah bermain, Hanum tiba-tiba berkata, "Ini soal lamaran Malik, Saya tidak bermaksud mendesak, tapi... saya ingin tahu apa yang kamu pikirkan."

Pertanyaan itu membuat Naima tertegun. Hatinya terasa seperti diaduk, tetapi dia tidak berani menunjukkan reaksi apa pun. Naima hanya terdiam, menatap ujung kakinya yang menyentuh rerumputan.

Melihat gadis itu tidak menjawab, Hanum tersenyum lembut, lalu mulai bercerita. "Tahu tidak, Naima? Dulu tante dijodohkan dengan suami tante. Kami bahkan tidak saling mengenal."

Naima menoleh, mendengar cerita Hanum dengan tatapan yang samar.

"Awalnya, tante takut dan ragu, sama seperti yang mungkin kamu rasakan sekarang. Tapi kemudian tante sadar, kebahagiaan itu tidak selalu tentang bagaimana kita memulainya, tapi bagaimana kita menjalaninya. Meski awalnya kami adalah dua orang asing, tapi sekarang semua baik-baik saja. Kami berdua bahagia."

Kata-kata Hanum menggantung di udara. Naima tidak tahu harus berkata apa. Cerita itu membawanya ke dalam konflik batin yang lebih dalam. Di satu sisi, ia merasa masih belum siap menerima lamaran Malik. Namun di sisi lain, cerita Hanum membuatnya bertanya-tanya, apakah kebahagiaan bisa datang dari sesuatu yang tidak direncanakan?

Hanum menepuk pelan pundak Naima, lalu berkata dengan lembut, "Apapun keputusanmu, Naima, lakukanlah dengan hati yang tenang. Tidak ada yang memaksamu, termasuk kami. Malik juga hanya ingin yang terbaik untukmu."

Naima tersenyum kecil, meskipun hatinya tetap bergejolak. Ia tidak tahu apakah cerita ini akan membantu atau justru menambah kebingungannya.

1
sSabila
Hai kak aku udah baca beberapa part dan sudah aku like, ceritanya bagus banget kak

Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"

Ditunggu ya kak
Beerus
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
gamingmato channel
Aku udah jatuh cinta dengan karakter-karaktermu. Keep writing! 💕
☯THAILY YANIRETH✿
Mantap jiwaa!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!