Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Acara debat tingkat Kecamatan
Bayu menatap layar ponselnya dengan lesu, seakan mencoba memaksa dirinya untuk mengingat sesuatu yang penting. Namun, pikiran itu seperti kabut yang tebal—tak bisa dipegang. Hari ini, kampus mengadakan acara debat filsafat tingkat kecamatan, yang entah kenapa, tanpa sepengetahuannya, namanya tercatat sebagai peserta.
“Gue gak ngerti ini kenapa, sih,” gumam Bayu, melirik pesan yang ada di ponselnya. Pesan itu datang dari Dimas, yang tampaknya sangat bersemangat.
"Bro, gue udah daftarin lu buat acara debat filsafat tingkat kecamatan, loh. Semangat!"
"Apaan? Kenapa gak bilang dulu?" balas Bayu.
Dimas langsung mengirimkan link grup chat dan menjelaskan, "Udah, udah, gak usah khawatir. Ini kesempatan bagus buat lo, bro. Gila, kita bakal debat tentang eksistensialisme, lo gak bisa ketinggalan, kan?"
Bayu mengerutkan keningnya. "Eksistensialisme?" Tentu saja, dia tahu tentang filsuf-filsuf seperti Sartre dan Camus, tapi mengapa dia merasa cemas seperti ini? Bukankah dia lebih suka berbicara dengan argumen yang lebih... tenang? Debat? Dengan banyak orang? Itu seperti momen yang harus diahindari. Tapi, ada sesuatu yang membuat Bayu merasa ini adalah tantangan besar. Apalagi jika Dimas, Riko, dan Adit terlibat. Mereka sudah cukup membuatnya bingung.
Bayu membuka jendela chat grup tersebut, di mana dia melihat Riko sudah lebih dulu memberikan komentar. "Kalau kalian mau menang, jangan cuma mengandalkan teori, tapi bawa pengalaman hidup! Gue percaya kita bisa juara!"
Sementara Adit dengan santainya menulis, "Gue siap buat debat soal Stoicisme dan Hedonisme. Siapa takut?!"
Tapi Bayu tahu, bukan sekadar soal memenangkan pertandingan. Ini lebih tentang memahami diri sendiri dan meresapi setiap kata yang akan ia keluarkan.
Acara debat itu berlangsung di aula kampus yang sederhana namun cukup besar. Di depan, ada panggung kecil dengan beberapa kursi dan meja yang dikelilingi oleh mahasiswa dari berbagai fakultas. Di antara mereka, Bayu bisa melihat wajah-wajah yang familiar—Dimas, Adit, Riko, dan beberapa teman lainnya. Bayu menghela napas panjang. Perasaan cemasnya semakin kuat. Dimas dan Riko sudah bersiap dengan peralatan debat mereka, sementara Adit sedang bercanda dengan teman-temannya.
Rara, di sisi lain, sedang duduk jauh dari mereka, tampak lebih serius daripada biasanya. Wajahnya yang selalu ceria terlihat sedikit lebih serius kali ini, seperti ada beban yang ia simpan.
“Apa lo gak grogi, Bayu?” tanya Riko, yang sudah berdiri di sampingnya.
"Gue gak tau, bro. Gue mikir kayak... gimana gue bisa ngomong dengan jelas kalau... gue gak ngerti gimana rasanya ngomong di depan orang banyak?" jawab Bayu dengan jujur.
Dimas yang mendengar langsung tertawa. “Haha, iya sih, bro, lo emang lebih suka ngobrol sama diri sendiri kan? Tapi, coba deh lo mikir, ini kesempatan lo untuk ngebuktiin kalau lo bisa. Kan lo anak filsafat, masa gak bisa ngomong di depan orang?”
Bayu meremas tangan, mencoba mengendalikan dirinya. “Jangan sampe gue jadi bahan tertawaan aja, bro.”
Adit yang sedang mempersiapkan catatannya, tiba-tiba menyela, “Udahlah, lo kan gak perlu takut. Lu tinggal inget aja kata-kata Seneca: ‘Kecemasan itu datang dari kita sendiri.’ Lo bisa kok, Bayu.” Adit melirik dengan percaya diri, menambahkan, “Ini cuma soal keberanian. Lo udah paham teori kan?”
Bayu hanya mengangguk pelan, meskipun hatinya tetap berdebar. “Iya, gue paham.”
Ketika acara dimulai, moderator membuka acara dengan pengantar singkat. “Selamat datang dalam debat filsafat tingkat kecamatan. Kali ini, kita akan membahas tema yang cukup menarik: ‘Apakah eksistensi manusia bisa dipahami lewat pilihan individu?’ Para peserta diharapkan memberikan argumen berdasarkan pandangan filsafat mereka masing-masing.”
Bayu merasa dirinya hampir tenggelam dalam kerumunan pikiran yang berkelindan di kepalanya. "Eksistensi manusia... pilihan individu..." Kalimat itu berputar-putar di pikirannya. Dia tahu ini bukan sekadar teori yang harus dikuasai. Ini lebih dalam. Lebih pribadi.
Dimas maju pertama. “Saya akan membela pandangan Jean-Paul Sartre tentang eksistensialisme. Sartre percaya bahwa manusia itu terlempar ke dunia ini tanpa ada tujuan yang sudah ditentukan. Eksistensi mendahului esensi. Artinya, kita—sebagai manusia—memiliki kebebasan total untuk memilih jalan hidup kita sendiri.”
Adit yang berdiri tidak jauh dari Dimas, ikut menimpali. “Setuju banget, bro! Tapi, kalau kita lihat Stoicisme, kebebasan kita itu sebenarnya terbatas oleh alam semesta. Manusia harus belajar menerima kenyataan, bukan malah melawan. Kebebasan itu penting, tapi harus ada kebijaksanaan dalam memilih.”
Bayu menatap mereka semua, kebingungannya semakin besar. Ia berpikir tentang apa yang dia tahu. “Kalau... menurut gue,” katanya, suara berat dan sedikit canggung, “manusia itu gak cuma soal pilihan. Pilihan yang kita buat, ya, emang penting, tapi gak bisa dipisahkan dari kondisi dan latar belakang kita. Kalau orang gak diberi kesempatan, gimana dia bisa pilih? Sartre ngomong soal kebebasan, tapi kalau lo gak punya kebebasan, gimana lo bisa memaknai itu?”
Perhatian mulai beralih ke Bayu. Bayu bisa merasakan sedikit rasa takut, tetapi juga ada semangat yang datang entah dari mana. Ia merasa dirinya tak bisa mundur. “Kita itu hidup dalam kondisi yang sering kali gak bisa kita pilih. Misalnya, kalau gue gak punya banyak duit buat sekolah, apakah itu salah gue? Tapi tetap aja gue harus memilih. Maka eksistensi itu, menurut gue, lebih dari sekadar pilihan. Itu juga soal bagaimana lo menanggapi situasi yang ada.”
Rara yang sedang duduk di bangku belakang, mendengarkan dengan seksama. Wajahnya tampak terfokus, dan ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya. Bayu merasa seolah-olah dia berbicara bukan hanya kepada para peserta debat, tetapi juga pada dirinya sendiri. Mungkin ini adalah awal dari proses memahami dirinya.
Moderator memberi kesempatan pada peserta lainnya untuk memberi tanggapan, tapi Bayu tidak bisa menghilangkan rasa percaya dirinya yang mulai tumbuh. Bayu tahu, ini baru permulaan.