Asyifa rela jadi adik madu dari Naura, wanita cantik yang bersosialita tinggi demi pendidikan yang layak untuk kedua adiknya. Hanya saja, Adrian menolak ide gila dari Naura. Jangankan menyentuh Asyifa, Adrian malah tidak mau menemui Asyifa selama enam bulan setelah menikahinya secara siri menjadi istri kedua. Lantas, mampukah Asyifa menyadarkan Adrian bahwa keduanya adalah korban dari perjanjian egois Naura, sang istri pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tujuh Belas - Aku Kangen
“Kapan aku menggoda bapak?” tanya Asyifa dengan mengalungkan tangannya ke leher Adrian.
“Setiap detik kau menggodaku, Asyifa, jadi jangan salahkan saya, jika saya menginginkan dirimu setiap detik!” jawabnya.
“Apa semalam belum puas?” goda Asyifa yang sudah terpancing oleh sentuhan Adrian.
“Puas, tapi aku sudah kecanduan tubuhmu,” jawabnya.
Tubuh mungil Asyifa berhasil direngkuh dengan penuh gejolak hasrat yang membara. Tubuh Asyifa sudah menjadi candu baginya, padahal awal menikahi Asyifa tidak pernah terbesit dalam pikiran Adrian untuk menyentuhnya. Bahkan ingin sekali ia mengembalikan Asyifa ke tempat asalnya, namun Naura malah seakan ingin dirinya membagi hati dan membagi raganya pada perempuan lain. Keinginan Naura dibayar tunai! Dan sekarang Adrian benar-benar membagi hati dan membagi raganya untuk perempuan lain.
Mereka terus melakukannya hingga suhu ruangan yang dingin sudah tidak terasa dinginnya. Tidak terasa permainan mereka cukup lama, hingga tidak menyadarinya, sudah hampir habis waktu untuk Salat Magrib.
“Kita harus cepat-cepat mandi, Asyifa. Kita belum Magriban!”
**
Satu bulan lebih Adrian bersama Asyifa. Entah Naura sedang apa Adrian pun tidak memikirkannya, paling berkomunikasi dengan Naura karena Naura minta tambahan uang untuk foya-foya di luar negeri bersama geng sosialitanya. Adrian sudah tidak bisa lagi mengendalikan kelakuan Naura yang seperti itu, benar-benar sudah di luar nalar. Perempuan yang menyandang gelar seorang istri harusnya lebih patuh dengan suaminya, bukan malah bebas lepas tidak peduli dengan ucapan dan keinginan suaminya. Padahal keinginan Adrian dari dulu hanya satu saja, seorang anak yang lahir dari rahim Naura, wanita yang sangat ia cintai, dan sampai detik ini pun Adrian masih mencintainya, meskipun rasa cintanya sedikit memudar, dan sekarang sudah tidak penuh lagi rasa cintanya, karena dia sudah membagi hati dengan Asyifa.
Siang ini Adrian bersiap untuk pulang ke rumah Istri Mudanya, seperti biasa, jam makan siang ia luangkan untuk pulang, hanya karena ia ingin makan siang bersama dengan Asyifa, makan masakan istrinya yang begitu menggugah selera. Adrian sudah membayangkan wajah manis Asyifa saat melayani dia makan, mengambilkan makanan yang dia inginkan. Seulas senyuman bahagia terbit di sudut bibirnya, sambil membayangkan kegiatan ranjang tadi pagi dengan Asyifa.
“Tuan!”
“Astagfirullah, Yoga! Kamu ngagetin saja sih! Masuk ke sini kenapa gak ketuk pintu dulu?” pekik Adrian.
“Alhamdulillah, sekarang banyak perubahan, biasanya ngumpatnya sialan lah, atau kata kasar lainnya, sekarang Pak Bos Istighfar,” gumamnya lirih.
“Kamu bilang apa tadi?” selidik Adrian yang mendengar Yoga bergumam lirih membicarakan dirinya.
“Eng—enggak, gak ngomong apa-apa,” jawab Yoga gugup.
“Tadi bilang apa kamu? Jangan sembunyi-sembunyi kamu, ya!”
“Cuma bilang, sekarang Tuan banyak berubah, ya lebih kelihatan bahagianya, sampai aku ketuk pintu berkali-kali gak dengar, ternyata sedang senyam-senyum sendiri sambil membayangan sesuatu,” ucap Yoga.
Saat Yoga akan masuk ke ruangan Adrian, berkali-kali Yoga mengetuk pintu ruangan Adrian, namun tidak ada sahutan Adrian sedikit pun, akhirnya Yoga nyelonong masuk, dan melihat Tuannya senyam-senyum sendiri seperti orang sedang kasmaran. Tidak hanya hari ini, Yoga meliahat Adrian satu bulan ini lebih bahagia, dan lebih ramah dengan semua karyawan, tidak besikap kaku dan dingin lagi.
“Kau mau apa masuk ke sini?” sarkas Adrian.
“Ini ada beberapa dokumen yang harus tuan tandatangani.” Yoga menaruhnya di atas meja Adrian, dengan segera Adrian membubuhkan beberapa tanda tangan di dokumen penting itu.
Dirasa sudah selesai urusannya dengan Adrian, Yoga langsung keluaar meninggalkan ruangan Adrian. Tak berlalu lama, pintu ruangan Adrian tebuka lagi, padahal Adrian sudah siap-siap untuk pulang ke rumah Asyifa, karena dia sudah membayangkan masakan istrinya.
“Ada apa lagi, Yoga?!” ucap Adrian tanpa memandang pintu yang terbuka, padahal bukan Yoga yang masuk ke ruangannya.
“Mas ... aku Naura! Bukan Yoga?” ucap Naura.
“Oh kamu, Ra? Sudah pulang senang-senang dan foya-foyanya?” ucap Adrian dingin.
“Kok gitu? Istri pulang malah menyambutnya begitu?” Naura berjalan mendekati Adrian, lalu memeluk Adrian dengan penuh rasa rindu.
“I Miss You,” bisik Naura lalu mengeratkan lagi pelukannya pada Adrian. Tak dipungkiri, meskipun Adrian kesal dan jengkel pada Naura, Adrian pun rindu pada istrinya itu.
Tangannya bergerak sensual di punggung Adrian, mencumbu rahang tegas milik Adrian, berharap Adrian merespon sentuhan dan cumbuannya, agar mereka bisa bermain panas di ruangan Adrian saat jam istirahat. Akan tetapi, sentuhan yang biasanya membuat Adrian langsung bergairah, kali ini malah membuat Adrian jengkel, Adrian mendengkus kesal, membuang napasnya kasar, entah kenapa sentuhan itu tidak membangkitkan gairah Adrian sekarang, padahal sebelumnya ia tidak pernah tahan dengan sentuhan dari Naura.
“Aku capek, Ra!” Adrian langsung melepaskan pelukan Naura, membuat Naura memandang aneh pada Adrian saat ini.
“Kamu gak kangen sama aku, Mas?” tanya Naura dengan menahan rasa kecewanya karena Adrian cuek sekali siang ini.
“Kangen,” jawabnya singkat.
“Tapi kok ekspresi wajah Mas datar gitu? Seperti orang yang tidak merindukan istrinya yang baru pulang dari Luar Negeri selama satu bulan lebih?” protes Naura.
Adrian hanya diam, menahan kecewa dan marahnya pada Naura. Daripada dia ribut, karena kecewa juga tidak jadi berjumpa dengan Asyifa, Adrian memilih kembali duduk di kursi kebesarannya di kantor.
“Aku lebih suka kamu di rumah saja, Raa! Daripada kamu pergi-pergi gak jelas, foya-foya gak ada gunanya!” sarkas Adrian.
“Apa tadi Mas bilang? Foya-foya? Mas seperti tidak tahu istri mas saja? Sepuluh tahun kita bersama, harusnya Mas tahu kebiasaan aku! Dan mas juga harus tahu, acara di Paris kemarin sudah aku nanti-nantikan dari setahun yang lalu!”
Adrian langsung beranjak dari tempat duduknya, karena tidak mau mendengarkan ocehan Naura yang tidak berguna. “Terserah kamu, Ta!”
“Mas mau ke mana?” tanya Naura saat Adrian melewati dirinya.
“Pulang! Mau makan!” jawabnya.
“Kok pulang? Di depan kan banyak sekali restoran? Bagaimana kalau kita ke restoran favorit kita?” ajak Naura.
“Aku tidak mau makanan di luar!” jawabnya.
Naura mengernyitkan keningnya, sejak kapan suaminya berani menolak ajakan dirinya untuk makan siang di Restoran favoritnya itu?
"Kenapa?" tanya Naura.
Niat hati Adrian ingin menemui Asyifa, sudah membayangkan masakan enak Asyifa, sambutan hangat Asyifa, salat berjamaah bersama, dan bonusnya sebelum ke kantor ia bisa bercumbu mesra dengan Asyifa. Sayangnya kehadiran Naura mengubah segalanya. Rasa kesal dan kecewa menyelimuti hatinya.
“Ayo pulang, kamu mau di sini terus?” ajak Adrian.
Naura tidak mengindahkan ucapan Adrian. Dia tidak mau ribut dengan Adrian saat berada di luar ruangan Adrian, karena dia tidak mau dinilai tidak harmonis rumah tangganya oleh karyawan dan staf di kantor Adrian.
Naura langsung mengandeng mesra tangan Adrian saat keluar dari dalam lift. Agar semua staf dan karyawan menatap kagum pada psangan suami istri itu yang selalu terlihat kompak, harmonis, dan romantis.
**
“Mas, kita mau apa ke masjid?” tanya Naura.
“Kamu seorang muslim bukan? Kalau muslim tahu kan kewajibannya apa?” jawab Adrian.
Ternyata benar kata Yoga, suaminya tidak pernah meninggalkan kewajiabannya lagi sebagai seorang muslim. “Sejak kapan suamiku begini?” tanya Naura heran.
“Sejak kau yang memulainya, kau yang membawaku dalam keadaan seperti sekarang!” jawab Adrian lalu bergegas turun dari mobilnya.
Adrian ke belakang, membuka bagian belakang mobilnya, untuk mengambil baju salatnya. Ia juga mengambil satu set peralatan Salat Wanita. Ada mukenah Asyifa di dalam mobil, karena kemarin ia pergi bersama Asyifa untuk menikmati weekend bersama.
“Mau di dalam sini atau ikut salat? Kalau mau ikut salat, ini mukenahnya!” tanya Adrian sambil memberikn Mukenah milik Asyifa.
“Punya siapa, Mas?” tanya Naura.
“Asyifa.” Jawabnya singkat dan jelas.
“Asyifa?” gumam Naura.