Dijual oleh ayah tirinya pada seorang muncikari, Lilyan Lutner dibeli oleh seorang taipan. Xander Sebastian, mencari perawan yang bisa dinikahinya dengan cepat. Bukan tanpa alasan, Xander meminta Lily untuk menjadi istrinya agar ia bisa lepas dari tuntutan sang kakek. Pernikahan yang dijalani Lily kian rumit karena perlakuan dingin Xander kepadanya. Apa pun yang Lily lakukan, menjadi serba salah di mata sang suami. Xander seakan memiliki obsesi dan dendam pribadi pada hidupnya. Bagaimanakah nasib Lily yang harus menjalani pernikahan dengan suami dinginnya? Haruskah ia bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lilyxy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
"Tidak, tidak! Biarkan saja seperti itu. Tuan Xander, tolong wajah Anda menghadap ke kamera. Dan Nona Lily, Anda bisa tetap memandang ke arah dagu Tuan Xander. Posisi saling menatap setelah posisi ini kita shoot. Untuk kali ini, biarkan seperti ini. Ini juga terlihat sangat bagus."
Photographer utama langsung memotong instruksi asistennya karena mendapatkan sudut yang menarik dari posisi ini dan dia ingin mengabadikannya.
Lily yang awalnya panik, bisa sedikit bernafas dengan lega. Setidaknya, ia tidak perlu melihat wajah pria ini untuk sementara waktu. Rahang pria itu saja sudah mampu membuatnya bergidik.
Terlebih lagi, dia diam-diam mencuri pandang bibir tipis nan seksi milik pria itu, membuat Lily yang belum pernah berciuman pun memikirkan hal yang sebelumnya tidak pernah terlintas di benaknya.
"One... two... tree...! Good. Ini sangat sempurna." Sang fotografer merasa begitu puas dengan hasil foto yang ia ambil. Dia kembali memuji keserasian pengantin baru itu di dalam hatinya. Dia bahkan berpikir untuk mengambil beberapa foto lagi sebagai portofolio.
"Baiklah, untuk pose selanjutnya-"
"Sudah cukup!" potong Xander dingin.
Pria itu segera merogoh masker yang sedari tadi ia simpan dalam saku jasnya. Memakainya dengan cekatan lalu memasang kaca mata hitamnya. Begitu juga dengan Lily yang mengikuti.
"Cukup itu saja. Segera cetak dan serahkan padaku.” Xander tidak mau melakukannya lebih lama.
"T-tapi, Tuan. Tidakkah kita mengambil foto Anda dan Nona Lily sekali lagi? Ini akan terlihat-"
"Jangan mengambil keuntungan dariku dan istriku. Cepat lakukan yang kuminta. Jangan membuang-buang waktuku!" bentak Xander tidak suka.
Dia tahu kalau si fotografer itu ingin mengambil beberapa pose lain dirinya dan Lily untuk kepentingan pribadinya. Dia memang bisa dengan mudah membaca pikiran orang lain.
"B-baik, Tuan. Akan segera saya cetak. Tunggu sebentar."
Sang fotografer menuju ruang kerjanya. Dia mengunggah foto formal ke website kantor catatan sipil lalu mencetak kartu identitas pernikahan Xander dan Lily.
Sedangkan foto terakhir yang dia ambil, dicetak menjadi beberapa lembar. Tentu saja dia sengaja menyimpannya satu sebagai dokumentasi pribadinya.
"Ini, Tuan. Saya mencetak sebanyak 4 lembar. Silakan," ucap fotografer itu sambil menyerahkan amplop berisi foto Xander dan Lily yang dia cetak sebelumnya. "Lalu untuk kartu identitas pernikahan, sedang dicetak oleh petugas."
Xander menerima amplop tersebut kemudian menatap tajam mata si fotografer. Dia tahu pria di depannya itu menyimpan sebuah rahasia darinya.
"Bawa aku ke ruangan kerjamu," ucap Xander.
"T-tapi untuk apa, Tuan?"
"Tidak usah banyak bertanya. Atau ... aku harus menyuruh Albert untuk memberhentikanmu dari pekerjaanmu ini agar aku bisa masuk ke sana?"
Pria itu pun dibuat ketakutan oleh pria yang dia ketahui bernama Sebastian itu. Pria itu jelas berbeda dari kebanyakan pasangan pengantin baru yang biasanya akan penuh suka cita melakukan pemotretan.
Walau sang fotografer dibuat heran oleh sikap arogan pria itu, tapi dia tahu tidak bisa kehilangan pekerjaan hanya karena perihal remeh semacam ini.
"J-jangan, Tuan. Baiklah, aku akan mengantarmu ke ruang kerjaku. Mari," ucap pria tersebut terbata.
Pria itu berjalan terlebih dahulu menuju ruangannya. Xander pun mengikutinya dari belakang. Penasaran, Lily juga turut serta mengekor kedua pria itu.
"Ini ruang kerja saya, Tuan. Tidak ada yang istimewa di sini. Hanya foto-foto pasangan yang telah mendaftarkan pernikahan mereka. Saya mencetaknya satu dan menempelkannya di dinding styrofoam warna warni itu."
Sesaat Xander mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan. Kemudian menemukan wajahnya di salah satu foto yang tertempel di sana.
Pria itu berjalan dengan langkah cepat menuju fotonya tersebut lalu mencabutnya dari sana. Tentu saja karena emosi, dia hanya fokus pada wajahnya dan tidak melihat wajah Lily.
"Sudah aku katakan, jangan mengambil keuntungan dariku dan istriku," ucap Xander tidak suka.
Setelah itu, Xander menuju laptop kerja sang fotografer yang terletak di atas meja kerjanya dan menghapus seluruh foto mereka yang diambilnya tadi.
Tidak lupa juga kamera yang tergeletak di meja yang sama. Xander segera memeriksa isinya dan sekali lagi menghapus semua foto lalu meletakkan kembali di meja.
"Kau bisa melakukan ini pada orang lain, tapi tidak padaku dan istriku. Jangan pernah sembarangan dalam hal ini. Aku tidak suka foto pribadiku dan keluargaku jadi konsumsi publik. Apa kau paham?" tanya Xander jelas.
"I-iya, Tuan. Saya sangat paham. Sekali lagi maafkan saya," ucap fotografer dengan kepala menunduk.
Si fotografer itu jelas akan mendapati traumanya setelah ini. Dia tidak mengira akan bertemu seorang mempelai pria yang begitu arogan dan dominan.
Di balik wajah tampan rupawannya dan karir gemilangnya, tersimpan seorang pria dengan sikap yang buruk. Tidak hanya si fotografer, Lily pun kini memiliki pandangan yang sama.
Setelahnya, Xander keluar dari ruangan itu seraya mencekal tangan Lily dan menariknya bersamanya. Gadis itu hanya bisa diam membisu melihat sifat asli suaminya pada orang lain.
Lily sempat berpikir kalau pria itu hanya bersikap acuh kepadanya karena sejak awal hubungan mereka hanya berlandas kesepakatan. Namun ternyata, begitulah sikap pria itu di depan orang lain.
Setelah keduanya mendapatkan kartu identitas, mereka segera menyimpannya ke dalam tas dan dompet masing-masing. Sedangkan untuk dokumen pernikahan, Xander mengambil alih semuanya.
Lily sebenarnya ragu, tapi dia kasihan pada di fotografer yang pasti terguncang dengan sikap Xander sebenarnya. Oleh karena itu, dia memberanikan diri untuk bertanya.
"Tuan. Apa sikapmu tadi tidak terlalu berlebihan pada fotografer tadi? Aku benar-benar kasihan ketika melihat ekspresinya. Dia benar-benar ketakutan melihat Anda berbicara seperti itu, Tuan. Seharusnya Anda bisa bersikap lebih baik padanya. Bukankah, Anda bisa memintanya menghapus foto-foto itu dengan cara yang pantas?"
Xander enggan menanggapi kicauan gadis yang berjalan tepat di belakangnya itu. Ia merasa tidak perlu menjelaskan perkara dirinya pada orang lain. Xander memilih tetap berjalan lurus ke arah mobilnya.
"Tuan! Kenapa Anda diam saja? Kenapa Anda berbuat seenaknya. Setidaknya Tuan harus - argh!"
Lily kontan memekik ketika tiba-tiba Xander berbalik lalu menarik lengannya kuat dan kemudian membenturkan punggungnya ke sisi mobil pria itu.
Xander membuka kacamatanya dengan tidak sabar, lalu menatap geram sepasang mata Lily yang lentik dan jernih, tapi memancarkan kepanikan.
"Apa kamu menyukainya? Apa dia pacarmu? Atau dia mantan pacarmu? Kenapa kamu terlihat benar-benar membelanya?!"
Lily mendadak kehilangan kata-katanya. Entah apa yang sebetulnya pria itu pikirkan.
Gadis itu sama sekali tidak mengira Xander malah menganggapnya salah.
Dia hanya ingin menasehati pria yang kini menjadi suaminya itu untuk bersikap lebih baik pada orang lain. Namun sesaat, Lily sempat lupa pada siapa dia bicara.
"Jawab aku, Lily!" perintah pria itu yang pertama kalinya menyebut nama si istri.
**