Mira adalah seorang IRT kere, memiliki suami yang tidak bisa diandalkan, ditambah keluarganya yang hanya jadi beban. Suatu hari, ia terbangun dan mendapati dirinya berada di tubuh wanita lain.
Dalam sekejap saja, hidup Mira berubah seratus delapan puluh derajat.
Mira seorang IRT kere berubah menjadi nyonya sosialita. Tiba-tiba, ia memiliki suami tampan dan kaya raya, lengkap dengan mertua serta ipar yang perhatian.
Hidup yang selama ini ia impikan menjadi nyata. Ia tidak ingin kembali menjadi Mira yang dulu. Tapi...
Sepertinya hidup di keluarga ini tak seindah yang Mira kira, atau bahkan lebih buruk.
Ada seseorang yang sangat menginginkan kematiannya.
Siapakah dia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rina Kartomisastro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Mira baru saja bangun, namun Ida memintanya segera bersiap turun untuk sarapan bersama.
Padahal ini baru pukul tujuh, biasanya mereka baru sarapan pada pukul delapan. Kadang lewat 60 menit, jika Melinda bangun kesiangan.
Seraya menguap, Mira berjalan keluar kamar. Dengan masih mengenakan piyama dan rambut diikat seadanya, Mira menuju lift.
Namun dari kejauhan, Mira melihat Theo masuk ke dalam lift yang baru saja terbuka.
Dengan mata terbelalak, Mira seketika berjongkok di balik pot tanaman yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
Apa yang dilakukan cecunguk itu di sini sepagi ini?
Matanya mengawasi ke arah lift yang belum juga tertutup.
"Nyonya Mira sedang apa di situ?"
Suara Ida yang lumayan keras, mau tak mau membuat Theo menoleh. Namun saat itu pintu lift mulai bergerak hingga menutup sempurna.
Mira menghela napas lega.
Ida mengamati Mira dengan aneh.
Menyadari hal itu, Mira segera berdiri, lalu jongkok lagi dengan kedua tangan diangkat ke bagian leher belakang, lalu berdiri lagi, dan terus berulang beberapa kali.
"Mumpung masih pagi, kita harus olahraga, bukan?" ucap Mira dengan penuh semangat tiba-tiba.
"Nyonya Melinda berpesan jangan terlalu lama, karena sedang ada tamu berkunjung, Nyonya Mira."
"Tentu, ini aku sedang menuju ke sana."
"Maaf Nyonya, berpenampilan lah lebih rapi jika tidak ingin Nyonya Melinda marah-marah nanti."
Mira menarik napas, "Tentu."
***
Dengan langkah kaki terseret, Mira menuju ruang makan istimewa yang terletak di bagian dalam ruang makan reguler. Ruang makan itu hanya digunakan saat keluarga ini kedatangan tamu kehormatan.
Benar saja. Tamu yang dimaksud adalah Theo.
Begitu Mira memasuki ruangan, tatapan pria itu segera tertuju padanya. Tiba-tiba Mira teringat ketika Theo bermain mata dengannya kemarin. Sekujur tubuhnya merinding seketika.
"Kenapa kamu lama sekali, Mira?" tegur Melinda.
"Maaf Bu Direktur, aku tiba-tiba sakit perut."
"Ya sudah, sekarang cepatlah duduk."
Mira hendak duduk di sebelah Ben, seperti posisi biasa ia berada. Namun Mira baru menyadari jika duduk di situ, artinya ia akan duduk tepat berseberangan dengan Theo.
Wanita itu pun terkesiap. Buru-buru, ia mendorong lagi kursinya, lantas menarik kursi kosong di sebelah.
"Apa yang kamu lakukan, Mira? Kenapa gak duduk di sini?" Ben menunjuk kursi sebelahnya yang dibiarkan kosong itu.
"Kakinya goyang, tidak nyaman untuk diduduki."
"Sepertinya baik-baik saja," ucap Ben sambil berusaha mengecek kursi yang dimaksud.
"Kursi yang ini jauh lebih nyaman." Mira memilih mengambil jarak satu kursi dengan Ben, demi tidak berhadapan dengan Theo.
"Kalau begitu tukar saja kursi ini dengan itu, duduklah di sebelahku."
"Gak perlu!" sergah Mira buru-buru hingga terkesan berteriak. "Di sini saja."
Mira dapat menangkap sinyal kekesalan dari wajah Ben. Bagaimana pun, sejak kejadian di pesta, Ben mewanti-wanti Mira untuk tetap bersikap seperti tidak ada yang terjadi di depan keluarga.
Mau seperti apapun hubungan kita yang sebenarnya, kita adalah pasangan suami istri harmonis di depan orang-orang. Ingat perkataanku ini jika ingin hidupmu baik-baik saja, Mira.
Wanita itu lantas hendak bangkit berdiri untuk pindah bergeser ke kursi tepat di sebelah Ben. Masa bodoh lah dengan si cecunguk selingkuhan itu.
Namun belum sempat bergerak, Melinda keburu bicara...
"Sudah, sudah. Biarlah dia mau duduk dimana saja. Jangan sampai kita membuang waktu berharga Theo hanya untuk mendengar perdebatan kalian yang tidak berguna itu. Apalagi Theo pastinya hanya punya sedikit waktu sebelum kembali pulang ke Amerika. Betul kan, Theo?"
Melinda melemparkan senyum sumringah kepada cucu tirinya itu.
"Theo akan lama tinggal di sini, Mom," sergah Emily.
Senyum sumringah itu pun segera menghilang, berganti mimik tegang. "Benar yang dikatakan Emily, Theo?"
Theo mengangguk yakin, "Benar, Bu Direktur. Kebetulan aku harus mengurus beberapa pekerjaan di sini sebelum kembali."
"Pekerjaan apa itu?" tanya Ben dengan tenang seperti biasa.
"Aku berencana melakukan ekspansi bisnis di sini, Om."
"Maksudmu, bisnis kecil produk makananmu itu? Tidak ada hubungannya dengan perusahaan Bratadikara Grup, bukan?"
Ben berbicara sambil tetap fokus memotong salmon panggang di piringnya.
"Kalau ada hubungan, salahnya dimana, Om?"
Suara dentingan pisau dan piring itu pun terdengar. Ben tampak kehilangan minat dengan makanannya lagi.
Pria itu menghempas pisau dan garpu hingga membuat Mira tersentak.
"Tidak ada salahnya. Hanya saja, aku sarankan untuk lupakan rencana ekspansi itu, lalu segera kembali ke tempat dimana seharusnya kamu berada."
Deg.
Mira belum mengerti benar apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka. Namun ia bisa merasakan iklim yang sangat panas begitu terasa di ruangan makan yang sangat nyaman ini.
"Apa sih Kak Ben? Biarkan saja Theo di sini. Kenapa semua harus tunduk dengan keinginanmu?!" sahut Emily kesal.
"Lebih baik kamu diam, Emily," ucap Ben.
"Gak mau! Siapa saja yang mengusir Theo dari sini harus berhadapan denganku!"
"Jadi kamu sekarang mau melawan kakakmu sendiri, seperti Virgo si pecundang itu?"
"Kak Ben!" teriak Emily.
"Berhenti!"
Suara Melinda yang menggema di setiap sudut ruangan membuyarkan perkelahian mulut Ben dan Emily.
Salmon panggang itu kini terasa begitu tawar di lidah Mira. Sepertinya makan ikan asin dengan sambal dan nasi panas, sambil duduk lesehan di ruang tamu yang terdapat televisi di depannya, jauh lebih nyaman dibandingkan situasi ini.
***
Acara sarapan yang mendadak berubah menjadi perkelahian itu pun, akhirnya usai.
Mira buru-buru menuju lift untuk kembali ke kamarnya. Namun saat akan naik lift, Mira baru menyadari di dalamnya sudah ada Theo.
Refleks saja, Mira melangkahkan kakinya mundur.
Tetapi pria itu segera menahan lift dengan memencet pintu supaya tetap terbuka.
"Duluan saja. Aku mau ke kamar mandi dulu."
Mira sudah berbalik badan. Namun belum sempat melangkah, Theo keburu menarik tangannya masuk ke dalam lift.
Mira menahan napas.
Saat ini wanita itu dihimpit dinding lift dan tubuh Theo. Pria itu mendorong tubuh kurus Mira ke sudut dan menahan dengan tangannya yang dikepal di dinding.
"Kenapa kamu terus-menerus menghindariku, Tante?"
"S-siapa yang menghindar?"
Theo mendengus, "Anak kecil saja bisa menyadari itu."
"I-itu..."
"Gak bisa begini terus. Kita harus sering bersama supaya ingatanmu segera kembali--"
Theo menoleh ketika pintu lift terbuka.
Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Mira segera mendorong tubuh Theo ke samping. Lantas Wanita itu dengan sigap melompat ke luar lift.
Tepat sebelum pintu lift kembali tertutup, Mira mengatakan sesuatu yang membuat Theo melongo seketika.
"Aku bukan Mira yang dulu lagi! Aku wanita baik-baik yang tidak akan pernah menjalin hubungan dengan pria lain disaat masih menikah. Jadi jangan berani-berani dekati aku!"
Kini pintu lift yang tertutup itu, menjadi saksi bisu Theo si jenius yang tiba-tiba merasa bodoh.
Wanita tua itu bicara tentang apa, sih? Kenapa aku tidak mengerti satu pun dari kata-katanya? Apa karena aku sudah lama tidak berbahasa Indonesia?
Pikir Theo sambil menggaruk kepala.
***