Meski sudah menikah, Liam Arkand Damien menolak untuk melihat wajah istrinya karena takut jatuh cinta. Pernikahan mereka tidak lebih dari sekedar formalitas di hadapan Publik.
Trauma dari masa lalu nya lah yang membuatnya sangat dingin terhadap wanita bahkan pada istrinya sendiri. Alina Zafirah Al-Mu'tasim, wanita bercadar yang shalihah, menjadi korban dari sikap arogan suaminya yang tak pernah ia pahami.
Ikuti kisah mereka dalam membangun rasa dan cinta di balik cadar Alina🥀
💠Follow fb-ig @pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Imbalan.
Liam duduk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, membiarkan Alina mengakhiri do'anya. Setelah beberapa detik yang sunyi, mata lentik wanita bercadar itu perlahan membuka, Alina sempat terkejut hingga menajamkan pandangannya ketika melihat suaminya menatapnya dengan dingin.
"Liam," suaranya kecil, hampir seperti bisikan.
Liam mengangguk singkat, tatapannya tetap datar namun matanya menyiratkan campuran kecemasan dan sesuatu yang lain, sesuatu yang sulit ia ungkapkan.
"Bagaimana kondisimu?" tanyanya singkat, namun nadanya lebih dingin dari yang diinginkannya.
Alina menarik napas panjang, tak di pungkiri hatinya sedikit meleleh mendengar ungkapan keperdulian dari Liam, tapi hatinya menaruh curiga, berpikir mungkin ada maksud tersembunyi.
"Aku sudah jauh lebih baik." jawabnya.
Liam tersenyum miring nyaris seperti sebuah ejekan.
"Baguslah... Setidaknya kau tidak terlalu lama menyusahkanku. Itu peringatan bagi istri yang tidak mendengarkan suaminya."
"Maaf!" jawab Alina, suaranya tegar.
"Maaf?" Liam tertawa kecil, terkesan mengejek.
"Maaf saja tidak cukup, Alina. Kau tahu? aku bukan orang yang memberi bantuan secara cuma-cuma." ujarnya, suaranya tegas dan dingin.
Wanita bercadar itu mengernyitkan dahi, menatapnya bingung, merasa ada sesuatu yang janggal di balik ucapannya.
"Apa maksudmu?"
Pria itu tersenyum sinis, "Kau tidak mengerti?" matanya menatap tajam.
"Biar ku tegaskan," katanya sambil berdiri bangkit dari hadapan Alina,
"Apa yang aku lakukan ini tidak gratis Alina, aku butuh imbalan karena sudah menyelamatkan nyawamu," dia melangkah dan berhenti di ujung brankar, menatap istrinya yang dalam kebingungan.
"Imbalan apa yang kau maksud? bukankah sudah kewajiban suami untuk melindungi dan merawat istrinya?!"
"Dan sudah kewajiban istri untuk membalas kebaikan suami, Alina." sahutnya, disertai senyum licik.
Napas Alina tercekat, pupil matanya bergerak seiring Liam melangkah lebih dekat ke arah jendela besar yang memantulkan pemandangan kota malam hari.
Alina terdiam sejenak, memutuskan niat bahwa ia tahu dalam sebuah hubungan memang harus ada timbal balik terlepas dari sekedar tanggung jawab dan kewajiban.
"Apa yang kau inginkan?" ujar Alina akhirnya.
Liam memiringkan tubuhnya ke arah sang istri, senyum dingin tak lepas dari bibirnya.
"Tubuhmu dan kata kata manismu," jawab Liam, suaranya berat dan memikat.
"Apa?" Alina membulatkan mata, tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Bagaimana mungkin ia meminta hal itu, sementara ia sendiri pernah berjanji untuk tak menyentuhnya?
"Ya Alina. Aku ingin kau bersuara di hadapan orang orang bahwa kita saling mencintai." ujarnya seraya memasukan salah satu tangannya di saku celana.
Alina nampak membeku sejenak, mencerna kata suaminya , apakah Liam sudah mulai menerimanya sebagai istri? Karena itu ia meminta haknya? pertanyaan itu berputar di kepala.
"Apa kau serius?" ujar Alina memastikan keseriusan Liam, yang tanpa ia ketahui justru akan membuatnya kecewa lagi.
"Serius?" Liam memecah tawa di ruangan itu, membuat Alina tak habis pikir dengan tingkahnya yang selalu menjebaknya dalam kebingungan.
"Tentu saja, aku serius. Aku ingin besok kau mendampingiku di konferensi pers!"
Kedua Alis wanita bercadar itu bertaut, ia menggelengkan pelan kepalanya. Lagi dan lagi Liam mematahkan ekspektasinya.
"Tapi, tadi kau bilang kau ingin_"
"Apa kau pikir aku meminta tubuhmu untuk kunikmati?" Liam melangkah mendekat.
"Tidak Alina, kau jangan khawatir, aku berjanji tidak akan menyentuh keperawananmu sampai kita bercerai. Aku menginginkan tubuhmu dan suaramu untuk mendukungku di konferensi pers."
Alina terdiam sejenak, perkataan ambigu suaminya telah membuatnya salah paham, jadi benar suaminya hanya ingin memanfaatkannya, memanfaatkan pernikahannya untuk kepentingannya sendiri.
"Bayangkan jika aku tidak bergerak cepat Alina, mungkin kau sudah terbaring di peti mati, pikirkan bagaimana ayahmu akan merasa hancur."
Alina merasa hatinya tersayat, sesak menyergap paru parunya, ia menarik napas panjang dan berusaha untuk tetap tenang meski cairan bening di bola matanya telah menggenang.
Ayahnya adalah sumber kekuatan dan kelemahannya, tentu sekuat tenaga ia tak ingin membuat ayahnya merasa hancur meski takdir berkata lain.
"Kapan kon-feren-si pers- nya di- mulai?" tanya Alina, suaranya bergetar.
Liam tersenyum lebar.
"Besok malam? kau sanggup kan? tenang saja, aku akan menggendongmu jika kau merasa lemah" jawab Liam.
Alina mengangguk. "Baiklah."
"Setuju?"
"Iya.."
Senyum Liam semakin merekah, ia lalu mengulurkan tangan.
"Deal, sekarang kita impas, aku harap hubungan kita akan selalu menguntungkan."
Alina menatap sendu tangan Liam yang terulur di depannya, mengajaknya berjabat tangan. Ini adalah sentuhan pertama dari suaminya tapi tentu bukan sentuhan hangat yang Alina harapkan, melainkan tak lebih seperti tindakan formalitas sebuah transaksi. Alina lagi lagi tak kuasa menahan air matanya untuk jatuh meski satu tetes, dan dengan berat hati ia mengangkat tangannya yang di perban dengan gerakan pelan dan gemetar.
Begiti jari-jarinya menyentuh telapak tangan Liam yang hangat, sentuhan yang tak ia mengerti justru membuat darahnya mendesir.
Hening sejenak, mereka terbawa oleh perasaan masing masing, Alina yang tak mengerti pada perasaanya sendiri, dan Liam yang terus waspada memperhatikan gerak gerik istrinya.
Pria itu terdiam merasakan sentuhan tangan Alina yang tak benar benar mengenggamnya, Ada sesuatu dalam hatinya yang terus membuat perasaanya berkecamuk, rasa takut dan trauma akan sentuhan wanita membuatnya kembali menarik tangan dengan kasar, membuat Alina sedikit tersentak.
"Baik... aku datang kesini hanya untuk itu, tidak ada maksud lain... Selamat malam." ucap Liam singkat, suaranya hambar dan tanpa emosi,ia berbalik meninggalkan ruangan, meninggalkan Alina dalam keheningan yang dingin.
...[••••]...
...Bersambung.......
ayo la firaun, ad yg halal gk usah lgi mikiri msa lalu yg gitu2 az. mncoba mengenal alina psti sangt menyenangkn krna dy wanita yg cerdas. semakin k sini alina akn mnunjukn sikp humoris ny dn liam akn mnunjukkn sikap lembut walau pn msih datar.
haaa, liam dengar tu ap kta raka. smga raka, kau memg sahabt yg tulus y raka. cuci trus otak liam biar dia meroboh degn sendiriny benteng tinggi yg ud dy bangun.
doble up kk😄
gitu dong alina, gk usah sikit2 nangis
sok cuek, sok perhatian. liam liam, awas kau y 😏
lanjut thor.