"Rangga, gue suka sama lo!"
Mencintai dalam diam tak selamanya efektif, terkadang kita harus sedikit memberi ruang bagi cinta itu untuk bersemi menjadi satu.
•
Rangga Dinata, sosok pemuda tampan idola sekolah & merupakan kapten tim basket di sekolahnya, berhasil memikat hati sosok wanita cantik yang pintar dan manis—Fira. Ya itulah namanya, Fira si imut yang selama ini memendam perasaannya kepada kapten basket tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Ciuman yang tak terduga
Hari itu, Fira merasa gugup saat berhadapan dengan Rangga. Di koridor yang biasanya ramai oleh suara tawa dan langkah kaki siswa, kini mereka hanya berdiri berdua, di tengah keheningan yang tegang. Hati Fira berdebar keras saat Rangga menatapnya, seolah ada sesuatu yang tak terucap dalam sorot matanya.
“Kita perlu bicara,” ulang Rangga dengan nada lebih tenang dari biasanya, meski ketegangan itu masih jelas terasa. Matanya tampak penuh emosi yang bercampur aduk—marah, kecewa, namun juga ada kerinduan yang sulit disembunyikan.
Fira mengangguk perlahan. “Iya, Rangga. Gue juga pikir kita butuh bicara.”
Rangga menuntunnya ke taman belakang sekolah, tempat yang sepi dan jauh dari keramaian. Di sanalah mereka akhirnya duduk di bangku kayu yang dikelilingi oleh pepohonan yang bergoyang lembut diterpa angin. Udara sore yang sejuk tampak kontras dengan ketegangan yang mulai mengisi udara di antara mereka.
Mereka terdiam sejenak. Fira merasakan kegelisahan yang menjalar di dalam dirinya. Di satu sisi, ia ingin menyelesaikan semua kesalahpahaman yang ada. Namun, di sisi lain, ia takut bahwa perasaan yang telah lama ia kubur akan kembali menguat begitu ia berbicara dengan Rangga.
“Aku lihat kalian di taman,” kata Rangga tiba-tiba, memecah keheningan dengan suaranya yang terdengar tegas namun terkendali. “Ezra dan kamu. Gue nggak bisa ngelupain itu.”
Fira terdiam, perasaannya bercampur aduk. Ia tahu Rangga berbicara tentang saat ketika Ezra menciumnya. Ia juga tahu bahwa momen itu adalah titik awal dari semua keretakan yang terjadi di antara mereka.
“Gue nggak nyangka lo bakal deket sama Ezra, Fir,” lanjut Rangga, suaranya melembut meski masih terdengar pahit. “Gue pikir kita masih bisa temenan setelah kita putus, tapi ternyata… lo sama dia.”
Fira menatap Rangga, merasakan sakit yang tersirat dalam kata-katanya. Ia tahu betapa beratnya situasi ini, baik bagi dirinya maupun bagi Rangga. “Itu nggak seperti yang lo kira, Rangga. Gue nggak sengaja terlibat dengan Ezra. Gue juga bingung. Semuanya terjadi begitu cepat.”
Rangga menatapnya lekat, matanya berkilat-kilat. “Bingung? Lo bingung tapi lo ngebales ciumannya, Fir. Lo nggak bilang ‘nggak’, lo nggak ninggalin dia.”
Fira terdiam, merasa tersudut oleh kata-kata Rangga. Ia memang tidak sepenuhnya menolak Ezra, tetapi bukan berarti ia tidak bingung atau tidak merasa bersalah. “Gue juga nggak tahu apa yang gue rasain waktu itu, Rangga. Gue masih mikirin lo, bahkan setelah kita putus.”
Rangga mendekat sedikit, suaranya semakin pelan, hampir berbisik. “Tapi lo nggak berhenti, Fir. Lo nggak nahan diri lo buat deket sama dia, dan gue… gue ngerasa kayak gue nggak pernah penting lagi buat lo.”
Hati Fira tersentak mendengar kata-kata itu. “Rangga, nggak begitu. Gue… gue masih ngerasa lo penting. Gue cuma… gue nggak tahu harus gimana lagi.”
Rangga menarik napas dalam-dalam, menatap Fira dengan intensitas yang membuat dadanya berdebar kencang. “Gue ngerasa sakit, Fir. Sakit karena gue masih sayang sama lo, tapi lo malah sama orang lain. Padahal gue kira gue bisa lupain perasaan gue, tapi ternyata gue salah.”
Kata-kata itu menghantam hati Fira. Ia tidak tahu bahwa Rangga masih memiliki perasaan seperti itu padanya. Fira menunduk, menatap tanah di bawah kakinya, tidak mampu menatap mata Rangga yang penuh perasaan itu.
“Rangga… gue juga bingung dengan perasaan gue,” gumam Fira, suaranya terdengar lemah. “Gue pikir setelah kita putus, gue bisa ngelupain lo. Tapi ternyata gue juga nggak bisa. Gue nggak pernah berhenti mikirin lo.”
Rangga mendekat sedikit lagi, duduk tepat di sebelah Fira. Mereka bisa merasakan panas tubuh satu sama lain, seolah-olah ada magnet yang menarik mereka semakin dekat. “Lo serius?” tanya Rangga, suaranya lembut namun penuh harap.
Fira mengangguk pelan, masih tidak berani menatapnya. “Gue serius, Rangga. Gue nggak bisa ngelupain lo.”
Dan di detik itu, seolah tanpa ada jeda lagi, Rangga mendekatkan wajahnya ke wajah Fira. Tanpa berkata-kata, ia menyentuh pipi Fira dengan lembut, membuat Fira menoleh ke arahnya. Tatapan mereka bertemu, dan dalam sekejap, seluruh dunia seolah hilang dari pandangan. Yang ada hanya mereka berdua, tenggelam dalam perasaan yang begitu dalam dan rumit.
Rangga perlahan menunduk, mendekatkan bibirnya ke bibir Fira. Ia berhenti sejenak, seakan menunggu persetujuan. Namun, Fira tidak menolak. Ia membalas tatapan Rangga dengan tatapan yang penuh emosi, seolah-olah seluruh perasaan yang selama ini ia simpan meledak dalam sekali waktu.
Dan kemudian, ciuman itu terjadi.
Lembut, tetapi juga penuh gairah yang tertahan selama ini. Bibir Rangga menyentuh bibir Fira dengan penuh kehati-hatian, seolah-olah ia takut menghancurkan momen itu. Fira membalasnya, awalnya ragu, tetapi kemudian perasaannya mengambil alih. Ciuman itu semakin dalam, membawa mereka berdua ke dalam pusaran emosi yang tak terbendung.
Jantung Fira berdebar kencang, sementara tangannya secara otomatis terangkat, memegang lengan Rangga. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh Rangga, bau khasnya yang familiar, dan semua kenangan yang pernah mereka bagi bersama kembali menyerbu pikirannya. Ini adalah ciuman yang seolah mewakili semua perasaan yang terpendam—rindu, cinta, dan juga sakit.
Rangga, yang awalnya canggung, kini mencium Fira dengan lebih dalam, menumpahkan segala emosi yang selama ini ia pendam. Tangannya menyentuh lembut rambut Fira, dan Fira membiarkan dirinya terhanyut dalam momen itu, melupakan semua yang telah terjadi di antara mereka, melupakan rasa sakit, melupakan Ezra, melupakan segalanya.
Namun, di tengah-tengah ciuman itu, Fira tiba-tiba tersadar. Ia perlahan menarik diri, melepaskan bibirnya dari bibir Rangga. Napasnya terengah-engah, dan jantungnya masih berdetak kencang. Ia menatap Rangga dengan mata yang penuh kebingungan, campuran antara kebahagiaan dan rasa bersalah.
“Rangga… kita nggak bisa kayak gini,” ucap Fira dengan suara pelan, meski hatinya sendiri masih berdebar karena ciuman barusan.
Rangga menatap Fira dengan tatapan penuh pertanyaan. “Kenapa nggak, Fir? Lo bilang lo masih mikirin gue, gue juga masih mikirin lo. Kita bisa mulai lagi dari awal.”
Fira menggeleng pelan, hatinya terasa berat. “Ini semua terlalu rumit, Rangga. Gue nggak mau menyakiti Ezra, dan lo juga pasti masih kecewa sama gue. Kita nggak bisa pura-pura semua ini nggak terjadi.”
Rangga menggenggam tangan Fira dengan lembut, tidak ingin melepaskannya. “Fir, kita nggak bisa terus-terusan lari dari perasaan kita. Gue tahu semuanya jadi berantakan, tapi gue nggak mau kehilangan lo lagi.”
Fira terdiam sejenak, menatap tangan mereka yang saling menggenggam. Di satu sisi, ia tahu bahwa perasaannya pada Rangga masih ada—kuat, mendalam, dan sulit diabaikan. Namun, di sisi lain, ia juga tahu bahwa hidup tidak sesederhana itu. Ada Ezra, ada luka yang harus sembuh, dan ada banyak hal yang belum terselesaikan.
“Gue juga nggak mau kehilangan lo, Rangga,” ucap Fira akhirnya, suaranya terdengar getir. “Tapi kita perlu waktu. Gue perlu waktu buat menyelesaikan semua ini.”
Rangga menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan. Meski terlihat kecewa, ia tahu bahwa Fira membutuhkan waktu. Ia tahu bahwa memaksakan keadaan hanya akan memperburuk segalanya.
“Oke, Fir. Gue ngerti. Gue akan kasih lo waktu,” kata Rangga sambil melepaskan genggaman tangannya. “Tapi gue akan tetap di sini. Gue nggak akan pergi ke mana-mana.”
Fira tersenyum tipis, merasa lega sekaligus sedih. “Terima kasih, Rangga.”
Mereka berdua duduk dalam keheningan, menikmati kebersamaan yang sederhana, meskipun penuh dengan perasaan yang menyakitkan.