Hubungan asmaranya tak seindah kehidupannya. Hatinya sudah mati rasa karena selalu dipermainkan oleh para pria. Namun, seorang pria yang baru pertama kali ia jumpai malah membuat hatinya berdebar. Akankah Violet membuka hatinya kembali?
Sayangnya pria yang membuat hatinya berdebar itu ternyata adalah pria yang menyebalkan dan kurang ajar. Gelar 'berwibawa' tidaklah mencerminkan kepribadian si pria ketika bersamanya.
"Kau hanyalah gadis manja, jangan coba-coba untuk membuatku kesal atau kau akan tau akibatnya." — Atlas Brixton Forrester.
****
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
...Sebelum membaca wajib LIKE! ☺️...
...***...
Pada akhirnya malam ini Violet tidak tidur di apartemen nya. Dia berada di apartemen Atlas sampai pria itu pulang dari urusan pekerjaannya. Dan sekarang, mereka sedang berada di sofa dengan kesibukan masing-masing.
Violet menguap lebar. Dia melirik Atlas yang masih betah bersama laptopnya. Sebenarnya di sini siapa yang menjadi pasangan pria itu? Dia atau laptop?
Violet kembali menatap laptop yang menayangkan film. Malam ini dia kembali menginap di apartemen Atlas, dan sekarang dia sedang nonton film sambil rebahan di sofa, sedangkan laptopnya dia letakkan di atas meja. Atlas duduk di sofa single karena dia ingin fokus pada pekerjaannya.
"Atlas...," panggil Violet. Dia menatap langit-langit ruangan tanpa berkedip.
"Hm?"
Hening sebentar, entah apa yang dipikirkan Violet.
"Pilih aku atau pekerjaanmu?" Pertanyaan aneh itu tiba-tiba datang singgah di otaknya.
"Pekerjaanku," jawab Atlas tanpa ragu.
"Pekerjaanmu atau nyawaku?" Violet menatap Atlas yang juga menatapnya dengan datar.
"Jawab," lanjut Violet.
"Jangan mulai. Aku sedang sibuk," sahut Atlas. Dia kembali fokus pada laptopnya. Semakin hari, Violet semakin membuatnya kesal karena gadis itu selalu mencari gara-gara.
"Kau tau, uang bukanlah segalanya. Dalam sebuah hubungan, kebersamaan dan komunikasi itu lebih penting dibandingkan uang atau pekerjaan." Violet mulai sok bijak.
"Percuma kalau punya uang banyak tapi tidak bisa membuat pasangan bahagia," lanjut gadis itu.
"Apakah membeli camilan dan lainnya tidak menggunakan uang? Kesenangan mu adalah makanan, lalu, bagaimana aku bisa membeli makanan kalau tidak dengan uang? Dan bagaimana caranya aku mendapatkan uang kalau tidak bekerja?" Atlas menatap datar Violet yang sedang mencerna ucapannya.
"Kau hanyalah gadis manja, jangan membuatku kesal atau kau akan tau akibatnya, Violetta. Aku hanya manusia biasa dan memiliki kesabaran terbatas," lanjut Atlas. Dia beranjak dari sana sambil membawa laptopnya. Berada di dekat Violet membuat dirinya pusing.
Perkataan Violet memang ada benarnya, tapi, salahnya adalah dia mengatakannya pada Atlas yang pada dasarnya adalah manusia gila kerja.
Violet cemberut. Film yang ditampilkan di layar laptopnya sudah tak lagi membuatnya tertarik.
"Begitu saja marah!" gumamnya. Dia duduk dan mematikan laptopnya. Matanya beralih menatap pintu kamar Atlas yang tertutup rapat.
Violet mendengus kasar. Bukannya merasa bersalah, dia malah dengan santainya berjalan menuju kamar Atlas dan membuka pintunya yang ternyata tidak dikunci.
Dia melihat Atlas yang duduk bersandar di kepala ranjang sambil mengetik di laptopnya.
"Aku mau pulang," ucap Violet. Dia masih berdiri di ambang pintu, pun tangannya masih memegang gagang pintu kamar Atlas.
"Pulanglah," sahut Atlas. Matanya sama sekali tak menatap Violet.
Violet berdecak. Apakah pria itu tidak berniat mencegahnya seperti di film yang baru saja dia tonton?
"Aku mau pulang, Atlas," ucap Violet lagi. Dia masih berusaha untuk membuat Atlas mencegahnya.
Atlas mendongak menatap Violet, "Ya, pulanglah. Tunggu apa lagi?" tanyanya.
Violet menghentakkan kakinya. Dia kesal sekali pada Atlas. Mungkin karena sudah terbiasa diperlakukan sepesial oleh mantan-mantannya, Violet jadi tak terbiasa dengan sikap acuh Atlas yang membuatnya tersiksa.
"Kau marah gara-gara ucapanku tadi, ya?" tanya Violet bernada ketus.
"Tidak."
"Bohong!" Violet menutup pintunya dengan kasar, lalu dia berjalan mendekati Atlas dan langsung meloncat ke tempat tidur hingga menimbulkan guncangan yang cukup keras.
Atlas berdecak. Dia menatap sebal ke arah Violet. "Jangan menggangguku! Pergi!" usirnya.
Violet menggeleng keras, "Tidak mau!"
"Kalau begitu, diam dan jangan ganggu aku. Paham?" Atlas menatap Violet dengan lekat.
"Kau marah. Iya, kan?" Masih saja gadis itu membahas tentang tadi.
Violet mengambil posisi rebahan tapi badannya miring ke arah Atlas. Kepalanya mendongak dan matanya menatap wajah tampan sang tunangan.
"Bukankah sudah ku jawab?" ketus Atlas. Dia kembali fokus pada laptopnya.
Violet jadi pusing sendiri melihat layar persegi panjang itu. Dia sama sekali tidak paham apa yang Atlas kerjakan.
"Kalau begitu, kenapa kau menyuruhku pulang tadi?" Ia mencebikkan bibirnya.
Atlas menghela nafas, ia memijat pelipisnya yang berdenyut. Entah apa motif Violet yang selalu mencari gara-gara dengannya.
"Aku tidak marah dan aku tidak menyuruhmu pulang. Oke? Sekarang tidurlah." Atlas meletakkan laptopnya di atas nakas, lalu dia menarik selimut agar tubuhnya dan tubuh Violet tertutupi.
Violet hanya diam memperhatikan Atlas yang sibuk sendiri. Akhirnya pria itu ikut berbaring di samping Violet dan menjadikan lengan kekarnya sebagai bantalan si gadis.
"Tutup matamu." Atlas meletakkan tangannya di mata Violet yang terbuka lebar.
Violet menurunkan tangan kekar itu agar tak menutupi matanya. "Atlas—"
"Tidur! Kau mau aku marah, hm?" Atlas segera memotong ucapan Violet. Kalau dibiarkan, mereka bisa berakhir berdebat dan pekerjaannya bisa terbengkalai.
Kali ini Violet menurut. Dia pun segera memeluk tubuh Atlas dan mulai memejamkan matanya ketika merasakan tangan Atlas menepuk-nepuk punggungnya. Seperti menidurkan bayi saja. Anehnya, Violet malah merasa nyaman dengan tepukan di punggung sebelum tidur.
Ya seperti inilah posisi mereka semenjak Violet menginap di apartemen Atlas. Keduanya sama sekali tidak canggung, tapi mereka tetap menjaga batasan juga. Sejauh ini, keduanya hanya saling memeluk saja, tidak lebih. Atlas benar-benar menjaga kehormatan Violet.
****
Pagi ini, hujan deras mengguyur kota. Cuaca yang semakin dingin membuat kedua insan itu saling memberi kehangatan dengan pelukan erat.
Atlas dan Violet sama-sama enggan membuka mata mereka karena tak ada cahaya mentari yang menyilaukan. Hanya ada sumilir angin dingin yang membuat mereka semakin nyenyak.
Akibat Violet yang rewel tadi malam, Atlas benar-benar ikut tertidur bersama gadisnya sampai dia melupakan pekerjaannya.
Lihat, perlahan tapi pasti, Violet mulai merubah kebiasaan Atlas yang selalu bekerja tanpa kenal waktu. Dan tadi malam, dengan mudahnya Atlas membiarkan laptopnya menyala sampai kehabisan baterai hanya karena ingin menidurkan Violet.
15 menit berlalu.
Atlas mulai membuka matanya perlahan. Dia mendesis kala merasakan dinginnya udara. Pria itu segera meraih remot AC dan menghangatkan suhu ruangan.
Kini matanya beralih menatap tubuh mungil yang ada di pelukannya tenggelam dalam selimut. Bibir tipisnya tersenyum simpul. Violet tampak lebih menggemaskan ketika tidur seperti ini.
Saat melihat Violet menggeliat kecil, Atlas segera memejamkan matanya kembali, berpura-pura tidur.
"Nghh... Sudah pagi?" Violet menyipitkan matanya untuk melihat jam di dinding.
"Jam 8?!" Mata yang tadinya sayu itu langsung terbelalak, bahkan dia langsung terduduk.
Ia terdiam sejenak.
"Hujan?" gumam gadis itu. Sedetik kemudian dia tersenyum, Violet pun kembali merebahkan tubuhnya dan kembali memeluk Atlas.
Hujan pagi hari adalah favorit Violet, karena dia bisa berleha-leha sambil menunggu hujan reda, seperti sekarang.
"Wake up." Suara bariton milik Atlas membuat Violet kembali membuka matanya.
Keduanya saling menatap tanpa bicara. Hingga pada akhirnya Atlas mengetuk kening Violet agar gadis itu tersadar.
"Mau ke mana?" Violet langsung menahan tubuh Atlas agar tidak bangkit.
"Sudah siang," jawab Atlas, namun dia menurut dan membiarkan Violet memeluk tubuhnya lagi.
"Kau tidak dengar suara hujan? Semua orang di apartemen ini pasti masih tidur," ujar Violet sok tau.
"Setidaknya bangun untuk sarapan. Aku lapar," balas Atlas. Dia beranjak duduk dan menutup laptopnya yang masih terbuka. Lalu dia bawa laptop itu untuk dicharger.
Violet sendiri memilih memeluk guling dan memejamkan matanya lagi. Biarlah Atlas memasak sarapan untuk mereka.
"Jangan tidur lagi. Cepat bangun. Kalau malas-malasan seperti ini, kau sangat tidak cocok menjadi istriku." Suara Atlas menghilang seiring langkah kakinya menuju kamar mandi untuk gosok gigi dan cuci muka.
Violet berdecak. Ia pun menyingkap selimutnya dan berjalan menghampiri Atlas. Gadis itu menyerobot mengambil posisi di depan Atlas yang sedang sikat gigi. Otomatis tubuh mungil itu terhimpit badan besar Atlas, tapi Violet tak masalah.
"Memangnya kenapa kalau aku malas-malasan?" tanya Violet. Dia juga ikut sikat gigi, matanya menatap wajah Atlas dari pantulan cermin di depannya.
"Tidak ada istri yang suka bermalas-malasan," jawab Atlas.
Violet memutar bola matanya malas, dia menunduk untuk kumur-kumur. Setelahnya dia berbalik menatap Atlas yang lebih tinggi darinya.
"Kalau begitu, aku akan menjadi satu-satunya istri yang suka bermalas-malasan." Gadis itu mengangkat sebelah alisnya sambil tersenyum miring.
"Aku paham." Kini Atlas yang berkumur-kumur. Lalu dia kembali menatap Violet. "Kau dimanja sejak dini, aku bisa memakluminya. Aku bahkan tidak yakin kalau kau bisa melakukan apapun tanpa diriku."
Setelah mengatakan itu, Atlas langsung keluar dari kamar mandi, meninggalkan Violet yang menggeram kesal.
"Dasar pria tua!" pekik Violet.
***
kalau ky gitu mlah mirip binaragawan