"Pokoknya aku mau Mama kembali!"
"Mau dibawa kemana anakku?!"
"Karena kau sudah membohongi puteriku, maka kau harus menjadi Mamanya!"
Tiba-tiba menjadi mama dari seorang gadis kecil yang lucu.
"Tapi, mengapa aku merasa begitu dekat dengan anak ini ya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linieva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Mengintip?
“Bagaimana hubunganmu dengan pria sombong itu? Apa ada kemajuan?” tanya Richardo pada puterinya, Miranda.
“Boro-boro, Yah. Aku sering diusir olehnya.” Adunya. Miranda sedang duduk bersama kedua orang tuanya sambil menyaksikan acara berita di televisi. Miranda memeluk bantal sofa.
“Apa? Masih belum ada perkembangan? Kita sudah menunggu selama hampir lima tahun, tapi belum ada apa-apanya?” kata Puspa, ibu dari Miranda.
“Ibu, gak segampang itu menarik perhatian dari Sadewa. Apalagi ada pengasuh barunya anak kecil pembawa sial itu.”
“Apa maksudmu? Dewi? Apa dia mulai lupa siapa ‘Tuannya’?” tanya Richardo.
“Bukan Yah. Ada perempuan lain yang dibayar untuk jadi ‘Mama’ nya si Anisha.”
“Miranda, coba jelaskan pada kami semuanya. Ada banyak yang sepertinya ayah dan ibumu tidak tahu.” Ucap Puspa semakin penasaran.
“Jadi Bu, begini. Menurut apa yang Dewi katakan, kalau Anisha tiba-tiba memanggil wanita itu sebagai ‘Mama’. Dan Anisha tidak mau jauh dari wanita aneh itu.”
“Apa kau tahu siapa nama wanita itu? Apa dia cantik?” tanya Richardo.
“Ayah, kenapa kau ingin tahu? Apa jangan-jangan kau berniat untuk menjadikannya ‘Gundikmu’?” Puspa melihat sinis pada suaminya.
“Apa yang kau katakan? Memangnya kau pikir aku seperti itu?”
“Bukankah sudah jelas? Setiap ada perempuan muda dan cantik, kau pasti terpikat dan membawanya ketempat tidurmu yang lain.” Sindir isterinya.
“Kau!”
“Kalau seandainya Miranda bukan puteri kandungmu, kau pun pasti akan merayunya untuk menjadi budakmu.”
“Ibu! Jangan bicara hal yang menjijikan seperti itu! Aku benar-benar gak suka!” teriak Miranda. Lagian, siapa yang mau dibanding-bandingkan menjadi selingkuhan orang tuanya sendiri. Apalagi, ibu sendiri yang mengatakannya dengan tenang hanya untuk menyindir suaminya yang hobi selingkuh.
“Itu kan hanya perkiraan saja. Kenapa kau begitu marah, Miranda?” tapi Puspa tidak merasa malu.
“Pokoknya, apa yang kau pikirkan tentangku, itu salah. Ehem… kalau pun aku melakukannya, itu karena salahmu sendiri yang tidak becus mengurus suamimu.”
“Apa? Sekarang kau menyalahkanku?” Puspa berdiri, menantang suaminya untuk membuatnya marah lagi.
“Akh! Apa kalian tidak bisa berhenti bertengkar? Padahal yang kita bahas adalah bagaimana cara agar Sadewa dan aku menikah! Tapi, pembahasan kalian kemana-mana!” Miranda kesal dan marah. Setiap hari, orang tuanya selalu bertengkar.
“Bukan Ayah yang buat keributan, tapi Ibumu sendiri. Kau lihat sendiri kan? Apa yang kita bahas, tapi apa yang dia bahas?”
“Karena pembahasannya menyangkut tentang dirimu juga!”
“Nah, lihat lagi kan?” Richardo melihat Miranda, dan melirik isterinya yang mengamuk.
“Pokoknya kalian diam, jangan bertengkar, dan mari fokus untuk hubunganku dan Sadewa. Apa yang harus aku lakukan agar kami berdua bisa menikah. Hah… hanya karena kalian berdua kepalaku rasanya sakit sampai mau pecah.” Miranda memijit keningnya.
Pertengkaran dua orang yang sudah tua itu pun berhenti, tapi dari raut wajah Puspa, masih tidak bisa menerima kesalahan dari suaminya. Apalagi, bagian dirinya yang dituduh tidak becus.
“Miranda, menurut Ayah, kau harus lebih dekat dulu dengan anaknya. Seperti yang kau katakan, perempuan itu tiba-tiba muncul, dan Anisha langsung menyukainya, bahkan memanggilnya ‘Mama’.” Kata Richardo.
“Ya, atau apa mungkin wanita itu pakai pelet untuk menggaet pria kaya raya?” Puspa jadi kembali fokus pada pembicaraan mereka.
“Kalau memang begitu, kenapa tidak ayahnya langsung, Bu?” tanya Richardo.
“Iya juga ya.” Puspa memegang dagunya, dan berpikir.
“Padahal, rencana awal, menyuruh orang untuk menculiknya hampir berhasil, tapi malah sekarang lebih parah lagi. Tiba-tiba muncul perempuan lain yang langsung levelnya naik diatasku. Aku benar-benar sangat benci ini.” Miranda mengepalkan tangannya.
Orang tua Miranda saling melihat, “Besok, aku dan ibumu akan coba datang kesana. Kami akan bawa hadiah kesukaan anak kecil itu.” Ucap Richardo, diikuti anggukan dari isterinya.
“Ya, semoga kalian berhasil.”
*
Tok! Tok! Tok!
Sadewa mengetuk pintu kamar puterinya, tapi tidak ada jawaban.
Tok! Tok! Tok!
‘Kenapa tidak ada suara dari dalam? Apa yang mereka lakukan?’
Ceklek!
Ternyata pintunya tidak dikunci. Sadewa pun masuk. Tidak memanggil siapapun, dia hanya ingin berjalan pelan dan melihatnya dulu.
“Akh… Anisha, pakaian Mama jadi basah, Sayang.”
“Hahahah… biyal Mama mandi juga.”
“Iya, Mama pasti mandi, tapi kan gak bisa sekarang. Aduh, Mama jadi kedinginan nih.” Alisha ingin mencari handuk, “Anis, kamu tunggu di bath upnya dulu ya, jangan kemana-mana.”
“Mama mau ke mana?” tanya Anisha ketika melihat Alisha sudah berdiri.
“Mama mau ambil handuk dulu.” dan ketika dia ingin keluar dari kamar mandi, “Ugh…. Kepalaku sakit.” Tidak sengaja, Alisha bertabrakan dengan sesuatu yang keras dihadapannya.
“Papa!” Anisha memanggil Sadewa yang berdiri dihadapan Alisha.
“Kau? Kenapa kau berdiri didepanku? Hidung dan kepalaku jadi sakit.” Oceh Alisha.
“Kau sendiri yang jalannya buru-buru dan tidak lihat kedepan.” Alasan Sadewa.
Tidak sengaja, Sadewa melihat bayang-bayang bra berwarna hitam yang Alisha kenakan karena piyama tidur berwarna putihnya basah.
Anisha mengikuti kemana mata Sadewa melihat, “Akh! Apa yang kau lihat?!” setelah tahu, Alisha menyilangkan kedua tangannya didepan dadanya untuk menutupi bagian itu.
“Ehem… aku pikir kau sengaja menunjukannya padaku. Kau pikir aku suka melihatnya?”
“Mana ada laki-laki yang menolak melihat bagian lekukan tubuh perempuan! Tidak mungkin!” ucapnya kesal, “Lagian, kenapa anda tiba-tiba muncul di depan kamar mandi? Anda mau mengintip? Apa anda pikir kalau saya sedang mandi? Anda benar-benar mes-
“Nih!” Sadewa melemparkan handuk langsung diwajah Alisha hingga membuat gadis itu terdiam, “Aku dengar kau membutuhkan handuk, makanya aku ingin memberinya padamu. Tapi, tak kusangka kau malah menuduhku. Ternyata anda adalah gadis yang tidak tahu terima kasih ya.”
“Hey Tuan, memangnya siapa yang meminta bantuan anda? Tidak, bukankah anda harus tanya dulu?”
“Apa Mama dan Papa beltengkal lagi?”
“Eh…? Enggak kok Sayang.” Alisha berbalik badan.
‘Lihat itu, bukannya memakai handuk menutupi bagian atasnya, padahal aku sudah memberinya handuk.’ Sadewa harus menundukan kepalanya karena tidak sengaja lagi, dia melihat tali pengait bra hitam Alisha dipunggung.
“Mama, aku kedinginan.”
“Aduh, aduh, maafkan Mama ya. Ini, Mama sudah bawa handuknya-
“Padahal aku yang bawa handuk itu sampai aku difitnah.” Sindir Sadewa.
“Iya, iya! Anda yang bawa, terima kasih! Sekarang, bisakah anda pergi dulu? Karena ini adalah waktunya bagi dua wanita cantik yang sedang sibuk.”
“A-apa? Dua… wanita cantik?” Sadewa tak menyangka kalau Alisha adalah gadis yang sangat percaya diri.
“Kenapa? Anda tidak terima?” Alisha membelalakan matanya.
“Berarti anda tidak terima puteri anda dibilang cantik?” sindir Alisha lagi.
“Anda memang-
“Oke, oke!” Sadewa tak kuat lagi mendengar ocehan dari Alisha, “Aku akan pergi. Kalau kalian, ‘Dua wanita YANG CANTIK’, sudah selesai, turunlah karena sarapannya sudah disiapkan.” Setelah mengatakan itu, Sadewa segera keluar dari kamar puterinya sebelum dapat ocehan lagi dari Alisha.
‘Apa-apaan bapak anak ini?’