Pondok pesantren?
Ya, dengan menempuh pendidikan di Pondok Pesantren akan memberikan suatu pengalaman hidup yang berharga bagi mereka yang memilih melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Belajar hidup mandiri, bertanggung jawab dan tentunya memiliki nilai-nilai keislaman yang kuat. Dan tentunya membangun sebuah persaudaraan yang erat dengan sesama santri.
Ina hanya sebuah kisah dari santriwati yang menghabiskan sisa waktu mereka di tingkat akhir sekolah Madrasah Aliyah atau MA. Mereka adalah santri putri dengan tingkah laku yang ajaib. Mereka hanya menikmati umur yang tidak bisa bisa mendewasakan mereka.
Sang Kiyai tak mampu lagi menghadapi tingkah laku para santriwatinya itu hingga dia menyerahkannya kepada para ustadz mudah yang dipercayai mampu merubah tingkah ajaib para santri putri itu.
Mampukah mereka mengubah dan menghadapi tingkah laku para santri putri itu?
Adakah kisah cinta yang akan terukir di masa-masa akhir sekolah para santri putri itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEPUTUSAN YANG AKAN MENGUBAH KEHIDUP MEREKA
“Keputusan saya sudah bulat Almaira, kalian akan tetap saya nikahkan dan saya sudah menghubungi keluarga kalian. Mereka akan datang setelah ba’da isya'.” Jelas kiyai Aldan dengan mutlak.
Bahu mereka kembali melorot, sia-sia saja mereka memohon kepada sang kiyai. Sepertinya keputusan kiyai Aldan sudah mutlak dan tidak bisa diganggu gugat lagi, mendengar keputusan itu mereka tentu tidak bisa apa-apa kecuali menunggu orang tua mereka.
Adira menatap lesu kepada kiyai Aldan yang tepat berada didepannya. “Kiyai, kita ini masih kecil. Kita masih sekolah juga, kita belum tahu apa-apa tentang pernikahan dan mengurus rumah tangga tentunya.”
Ketiganya mengangguk setuju. “Benar kiyai.”
Kiyai Aldan mengambil napasnya dengan sedikit kasar. “Tujuan kalian belajar Bab fiqih pernikahan itu untuk apa?” Tanyanya.
“Y-y-ya untuk dipakai kiyai.” Lirih Adira.
Kiyai Aldan mengangkat satu alisnya, lalu kembali bersuara. “Selain itu?”
“Tentu saja untuk di gunakan saat berumah tangga nanti dan menjadi bekal kita saat sudah berumah tangga.” Jawab Aruna pelan.
“Nah, tuh tahu. Terus kenapa kalau kalian masih kecil? Kalian juga sudah diumur legal untuk menikah, jadi bukan anak-anak lagi.” Lanjut kiyai Aldan. Sedikit seru saat melihat wajah dari santrinya ini.
“Tap…,” Almaira hendak berbicara namun kiyai Aldan sudah lebih dulu menyelanya.
“Sudah, keputusan saya tetap sama nak. Tahu tidak saya rasa jantung saya ini mau loncat dari tempatnya semalam saat melihat kalian, bagaimana jika orang lainnya yang melihat? Suda di pastikan kalian akan diseret dan dipaksa menikah.”
“T-tapi kiyai, kami belum siap untuk menikah. Lalu, kami juga bahkan belum saling mengenal kiyai.” Jelas Aruna. Dia ini masih kecil, masih anak-anak. Ia belum siap untuk menikah.
“Bisa belajar saling mengenal jika sudah menikah, kalian tahu pacaran setelah menikah itu nikmatnya luas biasa. Dapat pahala iya, dapat dosa tentu saja tidak.”
Semakin melorot bahu itu, tarikan napas mereka kian berat. Kenapa sang kiyai sangat bersemangat untuk menikahkan mereka, siapa yang mau menikah, siapa juga yang paling semangat.
“Keputusan bukan cuman ada pada kalian, keputusan juga ada pada Agra dan lainnya.” Lanjutnya.
xxx
Di dalam kamar berukuran sedang itu, terlihat Agra menatap langit-langit kamarnya. Diluar begitu berisik ulah para santri putra, bukannya beristirahat mereka malah asik bermain.
“Menikah?” Lirihnya. Mengusap pelan wajahnya, lalu mengubah posisi yang tadinya berbaring menjadi duduk dengan baju kaos putih polos dan sarung kotak-kotanya.
“Kenapa jadi seperti ini, astagfirullah.”
Sepertinya dia cukup bimbang dengan keputusan dari sang kiyai tadi malam, ini hanya salah paham. Mereka tidak sengaja melakukan kontak fisik, lalu kesalah pahaman sang kiyai berujung pada rencana pernikahan yang bahkan tak terpikir olehnya.
Agra mengacak-acak rambutnya hingga terlihat tak rapih lagi, namun semakin tampan jika dilihat. “Aaahhhkkk.”
Di kamar pembina putra lainnya.
Abraham sedari tadi tidak bisa fokus mempelajari beberapa hadits, perkataan dari kiyai Aldan terus saja melintas di otaknya hingga membuatnya sedikit pusing dan tak fokus.
“Astaghfirullahal ‘adzim. Ya Allah maafkan hamba.” Katanya sembari menutup buku yang tebal itu. Menyimpannya dirak kecil khusus untuk koleksi buku-bukunya.
“Menikah ya? Ana bahkan tidak bisa memahami wanita.” Katanya. Membuka satu-persatu kancing baju kokohnya, entah mengapa suhu dalam kamarnya ini begitu panas padahal Ac nya menyala.
“Aisss.” Abraham sunggu pusing memikirkan ini.
“Bisa-bisanya menikah dadakan begini ya Allah.”
“Ana sunggu belum siap, namun jika ini benar takdir yang kau telah tetapkan untukku maka aku akan menerimanya.” Lirihnya. Lalu membaringkan tubuhnya, dia ingin tidur sebentar saja berharap saat terbangun nanti kepalanya kembali pulih.
Di kamar pembina putra lainnya.
Ada Bima yang sibuk mengedit beberapa kegiatan pondok yang diambilnya, ada saat pengajian, saat anak-anak bekerja bakti dan masih banyak yang lainnya.
“Jika keputusan kiyai itu menurutnya benar, ana tentu tidak masalah dan juga jika memang sudah waktunya menikah kepana tidak.” Katanya dengan pandangan yang tetap pada layar komputernya.
Agak lain memang ustadz Bima ini.
“Ana akan menerima takdir ini, jadi Ya Allah mudahkan segala urusan hamba dan yang lainnya.”
Mengapa dia begitu bersemangat?
Di kamar pembina putra yang lainnya.
Abyan bukan perokok aktif, dia sangat tidak suka dengan nikotin itu yang bisa saja merusak tubuhnya yang gagah ini. Namun, berbedah lagi hari ini.
Sejak semalam dia tidak bisa tidur dengan nyenyak, kepalanya pusing dan akhirnya dia merokok. Dia hanya akan merokok jika ada masalah yang sampai membuatnya sakit kepala dan salah satu caranya adalah melampiaskannya pada rokok.
Tidak sering, namun hanya saat dia dalam masalah yang sampai membuatnya pusing.
“Aku akan menerimanya.”
xxx
“Jangan melamun lagi, sana kembali keasrama.”
Adira dkk kompak menoleh kearah sumber suara itu, saat melihat siapa pemilik suara yang menyuruh mereka kembali keasrama mereka malahan menatap malas dan kembali melamun.
“Dih! Sombongnya.”
“Sana, pulang kalian. Nanti telat lagi dan berakhir dihukum.”
“Lah malah didiami kita.”
Adira menatap malas keempat santri putra yang berdiri tak jauh darinya. “Kalian saja yang pergi, sana.”
Arwin diam, menatap sekilas pada Ayyara. Sepertinya santri putri itu sedang dalam suasana hati yang tidak baik. “Ayyara, kembali keasrama sekarang. Setengah jam lagi masuk ba’da maghrib.”
Ayyara menoleh. “Hm.” Tanpa diduga dia berdiri dan melangkah keluar dari masjid. Arwin hanya menatapnya dengan pandangan sulit diartikan.
“Lalu kalian tidak menyusul teman kalian?” Tanya Lion. “Kalian ini kenapa sih?” Lanjutnya lagi.
“Isss, kalian saja yang pergi.” Delik Aruna. Dia tidak punya tenaga untuk kembali keasrama.
“Kalian tuh berisik.” Lanjut Almaira.
Arwin dkk hanya saling melirih, dan mengangkat bahu tanda tak tahu apa yang terjadi sebenarnya.
“Aruna, dan kalian susul Ayyara. Jangan sampai petugas kantib melihat kalian masih disini dan berakhir dengan hukuman lagi.” Jelas Supriadi dengan penuh perhatian.
Ketiganya kompak menatap sengit kearah santri putra itu, kenapa sih tidak mereka saja yang pergi. Mereka itu benar-benar berisik, menambah rasa pusing saja. Tanpa mengucapkan se katapun Adira dan kedua temannya meninggalkan masjid.
Arwin dkk sedikit terkejut dengan tatapan itu, walau berdiri sedikit jauh namun entah mengapa tatapan itu terasa sampai menusuk.
“Astagfirullah.” Lirih mereka.
“Mereka sebenarnya keapa?” Tanya Irdan.
xxx
Peran orang tua sangat penting dalam pertumbuhan setiap anak-anaknya, bahkan jika sudah menikah pun para orang tua adalah penengah saat anak-anaknya dalam masalah. Lalu bagaimana jika terdapat orang tua yang bahkan terkesan tak peduli dan hanya mementingkan urusan pekerjaan dari pada urusan anak-anaknya?
Sorot mata kekecewaan terlihat dengan jelas, bahkan sesekali mereka menghela napas berat. Adira memandang sendu kedua orang tuanya, lalu Almaira menatap ayahnya seolah memohon, ada pula Aruna menatap sang ibu dan kakak laki-lakinya dengan kecewa da nada Ayyara memandang kedua orang tuanya dengan tatapan yang tak bisa diartikan.
Mereka kecewa dengan keputusan kedua orang tua mereka, bahkan tidak ada kalimat satu pun dari mereka yang menolak dengan tegas rencana pernikahan ini.
“Kami serahkan saja kepada anda kiyai.” Ucap Danis ayah dari Ayyara. Aura yang dikeluarkannya begitu dingin namun pembawaannya tenang.
“Benar, mungkin dengan menikahkan mereka dapat mengubah perilakunya.” Timpal Yasir ayah dari Almaira. Dia hanya datang seorang diri tanpa didampingi anaknya, istrinya telah lama berpulang hingga membuatnya gila kerja.
“Kami juga akan merasa tenang saat berjauhan dengan mereka, karena jika mereka sudah menikah itu berarti tanggung jawab kami sudah diserahkan kepada anak-anak itu yang kelak menjadi suaminya.” Lanjut Sarih ibu dari Aruna.
“Benar, dan juga bukankah niat baik itu harus disegerakan kiyai?” Lanjut Jaya ayah dari Adira.
Adira dkk lagi-lagi hanya diam tak berkutik, hanya napas berat yang selalu terdengar dari santri putri itu dan juga jangan lupakan tatapan sorot mata kecewaan kepada kedua orang tua mereka.
Agra dkk sedikit terkejut dengan jawaban dan respon dari para orang tua itu, mereka malahan terlihat biasa-biasa saja dan juga tidak ada kalimat penolakan sedari tadi mereka duduk dalam ruangan yang sama.
“Emmm, memang benar niat baik harus disegerakan. Sebelum itu, saya ingin bertanya kepada para ustadz muda ini dulu.” Ujar kiyai Aldan menatap Agra dkk. “Bagaimana nak?” Tanya kiyai Aldan.
Agra, Abraham, Bima dan Abyan saling melirik, mereka harus memutuskannya dengan tepat. Ini keputusan yang terasa sangat berat dan membebani pikiran mereka, menikah diusia mudah dan bahkan menikah secara tiba-tiba hanya karena kesalah pahaman sang kiyai?
“Ana setuju.”
Semua mata tertuju pada sosok yang menampilkan wajah seriusnya, bahkan dia duduk dengan tegap. Tak ada raut wajah bercanda dan main-main, dia sedang dalam mode serius karena ini menyangkut kehidupan yang akan dijalaninya.
“Nak Bima serius?” Tanya sang kiyai lagi. Bima mengangguk mantap, membuat Adira dkk termasuk Almaira tercengang bahkan untuk sekedar mengambil napasnya pun terasa berat.
“Na’am kiyai, saya akan meminta restu secara resmi kepada kedua orang tuannya setelah ini.” Jawabnya dengan tegas. Dia benar-benar serius.
Semua bernapas dengan lega kecuali Adira dkk hanya mampu berdo’a semoga saja ada keajaiban hari ini yang bisa membatalkan rencana para orang tua ini.
“Lalu, bagaimana dengan kalian bertiga?” Lanjut kiyai Aldan bertanya kepada ketiga ustadz muda itu.
Agra, Abraham dan Abyan yang kebetulan duduk bersama melirih kembali satu sama lain sebelum akhirnya menjawab dengan tegas dan wajah serius mereka. Adira dkk hanya bisa pasrah nasib dan takdir seperti apa yang telah ditentukan terhadap mereka ini.
Semoga keputusan ini, bisa mengubah kalian jauh lebih baik lagi nak.
semangat 💪👍