Raika, telah lama hidup dalam kesendirian sejak kematian ayahnya. Dunia yang berada diambang kehancuran memaksanya untuk bertahan hidup hanya dengan satu-satunya warisan dari sang ayah; sebuah sniper, yang menjadi sahabat setianya dalam berburu.
Cerita ini mengisahkan: Perjalanan Raika bertahan hidup di kehancuran dunia dengan malam yang tak kunjung selesai. Setelah bertemu seseorang ia kembali memiliki ambisi untuk membunuh semua Wanters, yang telah ada selama ratusan tahun.
Menjanjikan: Sebuah novel penuhi aksi, perbedaan status, hukum rimba, ketidak adilan, dan pasca-apocalipse.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahril saepul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Maaf karena aku selalu ragu.
Dikarenakan tidak ada yang mendengar teriakanku, mereka semua menenggelamkan diri ke danau. Aku berlari mengejar mereka, melompat ke dalam air ... pandanganku gelap seperti tidak melihat apa-apa, sampai satu cahaya muncul dari gua kristal di dasar danau.
Yuya dan yang lain juga berenang memasuki gua itu. Gaya renang mereka sangat aneh seperti membeku dengan kaki yang bergerak naik turun, tubuh mereka juga kadang-kadang berkedip transparan.
Meski terlihat aneh, aku mencoba berenang secepatnya untuk mengejar mereka, ingin mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, mereka menghilang dan mendadak telah berada di pintu masuk gua. Hal itu juga memaksaku untuk lebih cepat lagi, hingga mengikuti mereka sampai masuk ke dalam.
Cahaya kristal memantul di setiap panjangnya lorong gua, sampai jalan yang ku lalui terhenti oleh dinding yang mungkin merupakan ujung dari gua ini. Aku menoleh ke sekitar mencari mereka, namun tidak ada hasil karena gua ini kecil.
Kejadian ini membuatku lupa mengenai nafasku yang mulai tidak nyaman; secepat-nya aku berencana untuk keluar dari gua, entah apa yang terjadi dan kenapa selalu di situasi ini, kesialan selalu datang. Dinding gua mendadak bergemuruh, hingga bongkah reruntuhan menghalangi jalan keluar ku.
Rasa panik bercampur cemas menghantuiku karena mengingat nafas ini akan segera habis. Aku berusaha menenangkan diri, menoleh ke sekitar mencari celah yang mungkin ada, tetapi tidak ada satu pun celah yang terlihat.
Aku kembali ke ujung gua, berharap bisa menemukan Yuya dan yang lain, namun di sana benar-benar tidak ada siapa-siapa ... Sesaat aku menyadari ada sebuah lobang seukuran tubuh menuju atas, tanpa berfikir apapun dengan harapan bimbang aku berenang masuk. Setelah memasukinya aku berada di goa yang lebih luas dan sebuah permukaan penuh udara terlihat di atasku.
Aku mengayuh kaki sekuatnya, bergegas menuju permukaan.
BRUH!
Nafas berat kukeluarkan. Banyak kristal yang menempel pada sisi-sisi gua disertai beberapa kabut putih yang keluar dari salah satu tempat. Aku berenang ke tepian, kakiku menapak di atas batu putih yang menjadi pijakan menuju tempat asap itu muncul.
Tempat aku berenang tadi berbentuk lingkaran dengan bebatuan putih di setiap sisinya yang mungkin adalah pintu masuk menuju gua ini. Namun, kenapa Yuya dan yang lain masuk ke dalam sini? Bukankah ini aneh?
Aku berjalan menuju tempat asap itu muncul. Semakin dalam aku berjalan, pandanganku semakin tertutupi. Sempat merasa ingin kembali, tetapi aku tidak bisa melakukannya mengingat jalan sebelumnya tertutup dan tidak ada jalan lain.
Aku mencoba terus menerobos masuk, meraba tepian gua sampai asap itu mendadak hilang dalam sekejap.
"Di mana ini?" gumamku, yang berada di tempat luas dan gelap. Cahaya saling memantul di antara kristal-kristal, memberikanku penglihatan meski agak samar.
Di tengah-tengah luasnya tempat ini ada sebuah lingkaran yang disinari cahaya. Aku mencoba mendekati sinar itu, ketika berjalan kakiku menginjak sesuatu yang agak keras, namun aku mengabaikan itu karena semua yang kulihat di bawah berwarna hitam pekat.
Samar-samar terdengar suara Mio dan yang lain secara bercampuran. Aku sigap memasuki sinar itu, berbarengan dengan mereka bertiga yang mendadak muncul dari segala arah.
"Yuya ... semuanya, kalian dari mana saja?" tanya Mio, menatap kami dengan ekspresi kebingungan.
"Bukankah kalian selalu bersama? Sedari tadi aku mengejar kalian bertiga sampai ke tempat ini," jawab Yuya dengan ekspresi yang sama.
"Tidak! Kalianlah yang meninggalkanku sendirian. Dari tadi aku mengejar sambil berteriak, tapi kenapa kalian mengabaikanku?" saut Yuto.
"Eh, ini aneh ... bagaimana denganmu, Raika?" Mio menatapku.
Aku mengangguk pelan. "Aku sama. Mengejar kalian sampai ke tempat ini."
"Haa, tuh kan, kita dalam masalah lagi. Sudah kubilang untuk pergi dari sini. Sekarang apa yang harus kita lakukan?" ucap Yuto dengan suara bergetar.
"Bodoh. Bisa gak tenangkan dirimu," bentak Mio, "kau itu laki-laki kan!"
"Yuya, sebelum sampai sini, pintu masuk gua yang kamu lalui apakah runtuh?" tanyaku, merasa ada yang janggal.
"Aku gak tahu. Aku hanya terfokus untuk mengejar sampai sini."
Hmm ... sudah kuduga, kemungkinan semua yang aku lalui adalah halusinasi. Itu berarti, ada harapan kalau pintu masuk gua itu tidak runtuh. Kuharap begitu.
"Yu---" omonganku terpotong.
BRUGKK! Mendadak terjadi getaran.
"Tuh kan! Sekarang apa lagi!" teriak Yuto.
Jauh dari tempat kami berpijak, di balik bebatuan besar, sesosok bayangan hitam raksasa tubuhnya bergerak panjang menyentuh sisi-sisi gua. Cahaya memantul ke setiap kristal saat kepala condongnya berpindah tempat.
Meski samar-samar karena penerangannya cukup redup, tampak jelas di mata kami sesosok Wanters ular berkepala tiga, berwarna putih dengan garis merah muda memanjang di seluruh tubuhnya.
Wanters itu bergerak mengitari kami. Asap yang sama keluar dari mulutnya hingga memenuhi area. Kami berusaha untuk tidak menghirupnya, namun saat aku dan yang lain lengah, mendadak ia muncul dengan taring-taring tajam melengkung seperti ingin menusuk kami.
BRUGK!
Aku menghindari serangan itu. Yuya dan yang lain juga selamat terbaring di tanah. Sebelum Wanters membalikkan tubuh, kami bergegas lari dari sana.
"Sekarang bagaimana ini!" teriak Yuto.
"Bodoh! Lari saja, jangan banyak bicara," saut Mio.
"Semuanya! Ikuti aku," tegas Yuya, melihat sebuah celah retakan dari jauh.
Aku mengikuti Yuya dari belakang, Wanters mengejar kami dengan gerakan tubuh yang mengerikan. Beruntung, kami sempat memasuki retakan itu dan mengarahkan ke sebuah jalan lurus yang mungkin menuju kedalaman gua.
BRUGK-----karena tubuh besarnya, ia tidak bisa memasuki celah itu. Namun, Wanters itu tetap menabrakkan tubuhnya berulang kali menyebabkan getaran, hingga mampu membuat retakan baru yang bisa ia masuki.
Meski kami telah berlari secepat mungkin menggunakan Fury mode, Wanters dengan mudahnya mengejar kami dari belakang. Yuya mengambil sebuah barang dari salah satu tengkorak sambil berlari.
Jalan panjang ini akhirnya membawa kami ke sebuah tempat yang sangat luas. Tengkorak manusia berserakan di mana-mana dan juga, bau darah kering menyengat Indra penciumanku.
Kami sudah tidak menemukan jalan lain, disekitaran kami hanya ada dinding-dinding yang melingkar dengan beberapa kristal menonjol di setiap sisinya.
Wanters menyerang secepat mungkin menggunakan patukan hingga membuat kami berpencar satu sama lain. Dalam posisi tengkurap, aku hanya bisa melihat Wanters bergerak cepat kearah Mio, bersiap menyerangnya.
Grrrr—BRUK! Yuya membuat perisai membentuk lingkaran sekaligus melindungi mereka berdua. Namun, Wanters itu mematuk dengan kedua kepala hingga membuat perisai Yuya hancur.
Yuya menusukkan pedang tepat di kepala tengah sebelum perisai hancur. Ia bergegas pergi dari sana bersama Mio, memanfaatkan beberapa detik sebelum kepala ular itu menyerang mereka.
Aku berlari ke samping sambil mengikuti arah Yuya dan Mio. Peluru energi kulontarkan begitu juga dengan Yuto yang melakukan hal sama di sisi lain. Meski ia terlihat konyol, tapi ekspresi di wajahnya sekarang benar-benar berbeda.
Sekeras apa pun aku menembak, entah kenapa peluru-peluru ini seperti tidak berfungsi. Padahal, Beasthearts yang kugunakan memiliki Arcis tingkat tiga.
Di kondisi yang kurang tepat juga, Mio terjatuh tersandung oleh tulang yang menumpuk. Yuya yang mengetahui itu menghentikan langkah, bergegas menuju Mio sebelum Wanters itu menerkamnya.
BRUGK!
Yuya berhasil mendorong Mio tepat berbarengan dengan serangan Wanters. Walaupun mereka berdua selamat, sekilas kepala mereka membentur tanah cukup kuat.
Wanters memutarbalikkan tubuh, ketiga mulutnya terbuka lebar memperlihatkan ratusan taring panjang yang siap menusuk mereka berdua. Yuya dan Mio hanya bisa terbaring di tanah, menatap Wanters yang hanya tersisa tujuh meter di hadapan.
GRRREEESS
SELUTSS—BUGS!
'Maaf, seharusnya aku melakukan ini sejak awal. Seharusnya kalian tidak merasakan semua rasa sakit itu. Panas dari lahar, selalu berada di ujung tanduk ... sekarang, tolong serah-kan sisanya kepadaku.' Memukul Wanters dari atas tepat di kepala tengah hingga merembes dan memicu retakan pada batu putih yang menjadi tanah di gua ini, debu menyelimutiku yang berdiri di atas tubuhnya, cahaya biru menyala terang dalam kegelapan redup.
End bab 17
gabung yu di Gc Bcm..
caranya Follow akun ak dl ya
untuk bisa aku undang
terima kasih.