Candra seorang istri yang penurunan tapi selama menjalani pernikahannya dengan Arman.
Tak sekali pun Arman menganggap nya ada, Bahkan Candra mengetahui jika Arman tak pernah mencintainya.
Lalu untuk apa Arman menikahinya ..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon laras noviyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 17
Candra menyandarkan tubuhnya pada dinding belakang Cafe Kenangan Manis Bersama. Hiruplah aroma kopi yang kuat, bergelombang bersama gelak tawa pelangggan. Ia melirik ke arah Dira yang sibuk meracik minuman.
"Dira, bisa bantu ambilkan gelas itu?" pinta Candra, mengarahkan jarinya ke rak yang lebih tinggi.
"Tentu saja," jawab Dira sambil meraih gelas. Senyumnya secerah matahari pagi, meski lelah jelas tampak di wajahnya.
Candra tersenyum merespon, tetapi pikirannya kembali melayang jauh. Pantai, Arman, dan perempuan itu. Ia menggelengkan kepala. Tatapannya menelusuri deretan pelanggan yang duduk termenung, menikmati minuman mereka.
"Semuanya lancar, kan?" Dira tiba-tiba menanyakan.
"Iya, kafe ini ramai sekali. Tidak percaya hari ini bisa se-hidup ini," jawab Candra, menahan rasa gelisah.
"Kalau begitu, kita tidak boleh berlama-lama memikirkan hal lain, ya. Fokus ke kafe kita ini," Dira mengingatkan, sementara pelanggan baru masuk dan mencari tempat duduk kosong.
Candra mengangguk. Dira selalu berhasil mengingatkan langkahnya.
"Perlu bantuan di meja itu?" Dira bertanya, melirik ke arah satu meja yang penuh dengan pengunjung.
"Benar, sepertinya mereka butuh menu," jawab Candra.
Candra beranjak dan melangkah dengan mantap menuju meja tersebut.
"Selamat datang! Apa yang bisa saya bantu?" sapanya, mengusung senyum yang tulus. Seorang pria dengan tato di lengan menggelengkan kepala. "Kami sudah pesan. Tapi sepertinya belum ada yang datang," ujarnya, nada suaranya biasa saja, meski tatapannya menuntut jawaban.
Candra mengernyit, teringat betapa krusialnya pelayanan. “Saya minta maaf. Mari saya cek pesanan kalian,”
Candra bergegas menuju meja kasir. Dira memperhatikannya dengan cermat, lalu menghampiri.
“Kenapa, Candra? Apa mereka marah?” tanya Dira, nada cemas terdengar jelas.
“Sepertinya ada kesalahan dalam pesanan,” jawab Candra sambil mengerutkan dahi. “Aku akan pastikan segera.”
Ketika ia melanjutkan langkahnya, suara tawa dan omongan mengalir deras aroma kopi dan kue menghampirinya.
Candra kembali ke meja kasir, meraih notanya. Kebisingan kafe seakan menenggelamkannya. Dia merasa terjebak dalam pikirannya.
“Dira, aku tidak mau membuat mereka kecewa,” keluh Candra, menundukkan kepala sejenak.
Dira menepuk punggungnya. “Kau sudah melakukan yang terbaik. Mereka pasti akan mengerti. Ayo, kita cek bersama.”
Candra menarik napas dalam-dalam dan mengangguk. Bersama Dira, ia kembali ke meja pelanggan yang menunggu.
"Saya minta maaf atas keterlambatan ini," kata Candra sambil tersenyum, meskipun rasa cemas menggelayuti hatinya.
Pria bertato itu memandangnya, matanya menantang. “Lebih baik cepat daripada nanti. Kami tidak ingin menunggu lama lagi,” ujarnya, suaranya tegas.
Candra menyesal dengan cepat. "Saya akan pastikan pesanan kalian akan segera datang," ucapnya, berusaha menenangkan.
Dia berbalik, melangkah cepat menuju dapur. Dira menyusulnya, wajahnya menunjukkan keinginan untuk membantu.
Candra menghela napas sebelum mendorong pintu dapur, suara panci beradu bergemuruh di telinga mereka.
"Dira, bisa kau pastikan minuman yang mereka pesan tepat waktu?" Candra meminta, suara tegasnya mengatasi kebisingan.
Dira mengangguk, tangannya sudah siap menyiapkan minuman. “Tenang, semua akan beres,” katanya, matanya cekatan menutupi alur kesibukan di dapur.
Candra bergegas ke meja pinggir, di mana para barista sedang terlihat sibuk. “Dira, siapin juga kue coklat untuk meja itu,” perintah Candra, menatap ke arah barista dengan kelincahan mereka bertransaksi.
"Siap," jawab Dira. Raut wajahnya terfokus saat ia meracik minuman.
Candra beranjak, merasa sedikit lebih tenang. Ketika ia melangkah ke meja lain, senyum tersungging di wajah pelanggan yang menikmati seduhan kopi.
"Saya suka suasana di sini," seorang wanita dengan dress berwarna cerah berkomentar, menatap Candra. "Rasanya hangat, seperti rumah sendiri."
Candra menahan rasa bangga melingkari hatinya. "Terima kasih. Kami berusaha menciptakan tempat yang nyaman bagi semua orang."
Wanita itu mengangguk penuh pengertian. “Bisa saya tahu, siapa yang merancang kafe ini? Desainnya sangat menarik."
"Semua ide berasal dari saya dan teman saya," tutur Candra sambil menggerakkan tangan, menunjuk pada Dira yang masih sibuk di belakang. “Kami berharap setiap sudutnya mampu mengingatkan orang pada kenangan manis.”
“Jadi ini kafe pelarian bagi mereka yang membutuhkan,” wanita itu menjawab, tersenyum candu, seolah menghargai cerita di baliknya.
Candra mengangguk, pikirannya melambung ke tujuan awal kafe ini. Ia membayangkan semua yang telah dilewatinya.
Di belakang, Dira menghampirinya dengan dua cangkir penuh kopi, menempatkannya di meja. Suasana tegang mereda ketika pelayan lain membawa kue yang ditunggu-tunggu.
"Apakah kita sudah menghadirkan kebahagiaan?" tanya Dira dengan sisi humoris.
Candra tertawa, dan merasakan beban di pundaknya berkurang. “Hari-hari seperti ini membuatku lupa semua yang terjadi kemarin.” Dira menyentuh lengan Candra. "Ini penting. Kita berjalan maju. Lihat betapa senangnya mereka. Kita sukses memulai segalanya dari nol."
Candra menatap Dira, lalu menoleh ke arah pelanggan yang merasakan kebahagiaan dalam setiap tegukan kopi.
“Sepertinya mereka bisa merasakan energi kita,” Candra berbisik,
Dira tertawa kecil dan mengangguk. “Energi positif itu menular, Candra. Kita harus lebih sering menghadirkannya.”
Candra memandang sekeliling kafe. Suasana hangat menyelimuti kafe, wajah-wajah ceria dari para pelanggan menciptakan aura nyaman di sekelilingnya.
“Lihat, mereka semua tampak bahagia ,” Candra mengatakan, matanya berbinar ketika dia melihat sekelompok teman yang tertawa dan berbagi cerita.
Dira mengernyitkan dahi dan tersenyum, “Dan mereka juga menjadi pengingat betapa hidup ini berharga. Kau pernah menganggap semuanya terlalu rumit, kan?”
Candra mengangguk, lalu menarik napas dalam-dalam. “Mengerti. Dulu, segala sesuatunya terbebani oleh Arman dan hubungan kita yang tak sehat.”
Dira menatapnya, penuh empati. “Tapi kau sudah melangkah jauh dari semua itu. Aku bangga padamu, Candra.”
Candra tersenyum, terasa hangat ketika mendengar kata-kata Dira. Sebuah harapan mulai tumbuh dalam hati yang sempat beku.
“Berhenti memikirkan masa lalu. Ini saatnya untuk merayakan perjalanan kita,” Dira mendorongnya sambil mengarahkan tatapannya ke para pelanggan yang asyik menikmati hidangan mereka.
“Oke, kita buat hari ini istimewa!” Candra mengangkat semangat, merasakan getaran positif menyatu dalam benaknya.
Dira mencuri pandang kembali ke meja yang penuh gelak tawa. “Bagaimana kalau kita putar musik? Menciptakan suasana lebih meriah akan membawa semangat,” usul Dira, matanya berbinar penuh antusias.
“Bagus! Musik pasti bisa menambah keceriaan di sini,” balas Candra, senyum Candra berbinar penuh antusias.
Dira meluncur ke arah pemutar musik, menyalakan lagu-lagu ceria yang mengalun merdu ke seluruh ruangan. Suara riang mengisi udara, menggugah semangat mereka dan menarik perhatian pelanggan. Sejumlah orang mulai berdansa kecil di tempat mereka duduk, menggerakkan badan mengikuti irama.
"Melihat ini membuatku merasa seolah kita sedang memberikan kebahagiaan untuk semua orang," Candra berujar, matanya menyaksikan pelanggan yang kini bergetar mengikuti irama.
“Ya, lihat mereka!” Dira menunjuk sekelompok remaja yang tertawa lepas, menggerakkan tangan mereka ke atas. “Musik memang punya kekuatan untuk menyatukan kita. Ini luar biasa, bukan?”
Candra mengangguk. Momen ini seakan mengingatkannya pada hal-hal sederhana yang pernah terlupakan. “Benar. Rasanya seperti hidup kembali. Kita merayakan momen indah,” Candra menjawab, matanya tak lepas dari kerumunan yang terhanyut dalam kebahagiaan.
Dira menarik napas, terasa seluruh ruangan bergetar mengikuti beat musik. “Aku rasa kita harus menjadikan ini acara rutin! Setiap akhir pekan, kita adakan live music!” Candra bersemangat membayangkan ide itu. “Itu bisa jadi sesuatu yang besar! Kita ajak musisi lokal, mereka juga butuh panggung.”
Dira mengangguk, “Bayangkan berapa banyak orang yang bisa berkumpul di sini, Candra. Banyak talenta yang perlu kita dukung,” Dira menambahkan, antusiasme merembes dalam suasana.
Candra menatap Dira, melihat kilauan di matanya. "Kita bisa mulai merencanakannya minggu ini! Tidak ada salahnya memposting pengumuman di media sosial agar semua orang tahu tentang acara itu,” Candra menjawab, napasnya bersemangat.
Dira melompat kecil kegirangan. “Iya! Kita juga bisa menarik perhatian para musisi yang ingin tampil. Kita dapat menawarkan mereka kesempatan untuk memperkenalkan karya mereka di kafe ini!”
Candra merasakan embun segar dari ide tersebut. “Musik bisa menghidupkan suasana. Kita akan menciptakan tempat di mana kreativitas dan komunitas bersatu.”
Dira tersenyum lebar, mengangguk setuju. “Semua yang kita butuhkan adalah izin dari pemerintah daerah dan tentu saja, sponsor lokal.”
Candra menggaruk dagunya, merenungkan. “Kita bisa mengajukan pengajuan ke pihak-pihak yang berpotensi mendukung, seperti perusahaan makanan atau minuman. Kita perlu membuat proposal menarik.”
Dira melangkah ke arah papan tulis di sudut kafe , memegang spidol dengan penuh semangat. “Baiklah, mari kita tulis semua ide ini. Kita harus mencantumkan semua potensi yang bisa kita tawarkan,” katanya.
Dira mulai menulis di papan putih, setiap kata mengalir deras seperti musik yang menggembirakan latar mereka.
"Jadi, pertama, kita butuh daftar musisi lokal yang akan kita ajak bekerja sama," ucap Dira, tangannya bergerak cepat menuliskan ide-ide di papan.
Candra melangkah mendekat, ikut menambahkan. “Setidaknya lima atau enam nama. Kita bisa mulai dengan musisi yang pernah tampil di kafe lain. Buatkan daftar kontak mereka,” Candra menambahkan, matanya berbinar dengan semangat baru.
“Bagus! Dan jangan lupa, kita perlu menyiapkan promosi yang menarik agar orang-orang ingin datang berbondong-bondong,” Dira melanjutkan, gerakan semangatnya meningkat. “Kita bisa membuat poster, menggunakan foto-foto kafe yang menarik untuk menarik perhatian.”
Candra meraih spidol dari tangan Dira, lalu menggambar sketsa poster di papan tulis, menciptakan gambar visual yang cerah. Ia menggambar sebuah mikrofon dan melingkarinya dengan nada-nada musik yang bersinar, seolah mengundang semua orang untuk merasakan kehadiran musik dalam hidup mereka.
Mereka terus bertukar ide untuk acara yang mereka rencanakan. Membuat mereka sibuk dan membuat Candra tak ada waktu untuk memikirkan kejadian kemarin saat di pantai.
...----------------...