Kisah cinta si kembar Winda dan Windi. Mereka sempat mengidamkan pria yang sama. Namun ternyata orang yang mereka idamkan lebih memilih Windi.
Mengetahui Kakanya juga menyukai orang yang sama dengannya, Windi pun mengalah. Ia tidak mau menerima lelaki tersebut karena tidak ingin menyakiti hati kakaknya. Pada akhirnya Winda dan Windi pun tidak berjodoh dengan pria tersebut.
Suatu saat mereka bertemu dengan jodoh masing-masing. Windi menemukan jodohnya terlebih dahulu dibandingkan Kakaknya. Kemudian Winda berjodoh dengan seorang duda yang sempat ia tolak lamarannya.
Pada akhirnya keduanya menjalani kehidupan yang bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda RH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengakuan
Sekarang Windi sudah tahu siapa Kanzha setelah Javier menimpali ucapan Kanzha. Saat ini Windi hanya tertunduk malu. Javier berdiri dari duduknya. Lalu Kanzha duduk di samping Windi menggantikan Javier. Kanzha menggenggam tangan Windi yang saat ini ternyata dingin sekali.
"Windi, maaf jika saya membuatmu salah sangka.
Saya Kakaknya Javier, bukan istrinya."
"Ah iya saya juga minta maaf, Kak. Karena setahu saya waktu itu Tuan Javier akan segera menikah. Jadi saya pikir Kakak adalah istrinya, hehe... "
"Manis sekali, pantesan adikku tertarik kepadanya." Batin Kanzha.
Javier membiarkan mereka ngobrol berdua. Ia pergi menemui empat bocah yang sedang bermain di dalam.
"Javier gagal menikah." Ujar Kanzha dengan tatapan kosongnya.
"Apa?"
Kanzha menoleh dan menatap Windi.
"Iya, dia gagal menikah. Calon istrinya berubah pikiran."
"Subhanallah... mungkin mereka belum berjodoh, Kak."
"Iya, mungkin Allah sudah menyiapkan jodoh lain untuk Javier. Mungkin juga jodoh Javier sudah di depan mata."
Windi mendongak. Kanzha tersenyum kepadanya. Keempat bocah sudah bosan bermain. Mereka keluar dari area mandi bola. Javier mengikuti mereka dari belakang.
"Anti kita sudah capek. Ayo pulang."
"Wah, kalian kembar empat ya?"
"Iya, Tante."
"Lucu sekali." Kanzha mencubit dagu Reyna.
"Maaf, saya harus pulang. Sepertinya mereka sudah capek." Ujar Windi.
"Oh iya."
"Anak-anak, ayo salim dulu sama Om dan Tante."
"Iya, anti."
Mereka berempat mencium punggung tangan Javier dan Kanzha. Sebelum pergi Rayyan membisikkan sesuatu kepada Javier.
"Om, misi sukses. Jangan ulur waktu ya, Om."
"Dah... "
"Dadah Om, Tante."
Mereka bergandengan tangan dengan posisi Windi di tengah-tengah mereka.
Javier menatap kepergian mereka.
"Kalau suka, jangan diam! Segera ungkapkan. Atau lamar sekalian!"
Ucapan Kanzha membuyarkan lamunan Javier.
"Bagaimana menurut Kakak?"
"Apanya yang bagaimana?"
"Windi."
"Cantik, menarik, penyayang.. apa lagi?"
"Kira-kira Babah dan Ummah setuju?"
"Ya, kita lihat saja nanti. Kayaknya jamu memang sudah jatuh cinta ya sama dia?"
Javier hanya membalas pertanyaan Kakaknya dengan senyuman.
Kanzha melihat Windi membawa pengaruh positif bagi adiknya. Dari kemarin ia mencari tahu siapa Windi. Namun sampai detik ini ia tidak memberitahu Javier. Javier pun tidak ngeh dengan ucapan Windi dari tadi yang menyebut keempat bocah itu adalah keponakannya.
Akhirnya Kanzha mengajak Javier pulang. Ia khawatir karena cukup lama Javier berdiri dan berjalan tanpa tongkat.
Mereka baru saja sampai di rumah Babah dengan mobil masing-masing. Javier ke Mall bersama Tomi. Namun Tomi menunggunya dari jauh. Sedangkan Kanzha membawa mobil sendiri.
Babah dan Ummah yang tadinya sangat khawatir kepada Javier, kini sudah lega melihat putranya baik-baik saja.
Javier langsung masuk ke kamarnya setelah menemui kedua orang tuanya.
"Ummah, Javier kelihatannya sangat senang."
"Iya, babah. Ummah ikut senang melihatnya. Sepertinya semangat hidupnya sudah kembali."
"Ummah, Babah, sepertinya keinginan kalian untuk punya menantu akan segera terkabul." Ucap Kanzha."
"Maksudmu?" Tanya Ummah.
"Javier sedang jatuh cinta."
"K-kamu tidak sedang bercanda, kan?"
"Tentu saja tidak. "
"Bukankah adikmu itu sangat susah untuk jatuh cinta."
"Tapi perempuan ini beda, Ummah. Dia bisa membuat adikku memiliki semangat hidup lagi."
"Siapa dia?" Sahut Babah.
Kanzha menunjukkan foto Windi dan Javier yang dia ambil secara diam-diam kemarin saat di rumah sakit.
"Bah, lihat ini! Dia berhijab. Cantik sekali."
"Babah sepertinya familiar dengan wajahnya."
"Bagaimana tidak familiar, babah? Dia ini ternyata masih keluarga besar Abdillah. Putri dari Tuan Tristan Abdillah. Babah kenal kan?"
"MasyaAllah... yang benar saja?" Ummah terkejut.
"Iya, Ummah. Tapi adikku yang lugu itu tidak tahu siapa perempuan yang dia cintai. Aneh kan?"
"Babah, segera ambil tindakan!" Ujar Ummah.
"Hem, baiklah."
Sementara Di kamarnya, Javier sedang membayangkan kebersamaannya tadi bersama Windi. Meski tidak ada gak yang istimewa, namun mampu membuatnya tidak berhenti memng ingat sang pujaan hati.
"Ck.. gara-gara Kak Kanzha. Padahal tadi aku sudah mau menyatakan perasaanku." Gerutunya.
Sementara di kamar Windi.
Ia sedang duduk di atas tempat tidurnya sambil menggigit jari tangannya. Ia mengingat kejadian memalukan di Mall tadi.
"Ya Allah... bisa-bisanya aku salah paham. Tapi kenapa aku senang saat tahu dia nggak jadi menikah? Mungkin karena aku takut ketahuan jalan sama, suami orang. Eh nggak dong! Kan, aku nggak ngajak dia." Windi bicara seorang diri.
-
Keesokan harinya.
Pagi-pagi Rayyan, Mami, dan saudaranya dijemput Papi Zaki untuk kembali ke Jakarta. Mereka sengaja pulang pagi karena Rayyan dan tiga saudaranya harus masuk sekolah. Rayyan dan saudaranya memeluk erat anti kembarnya. Rumah Abi Tristan langsung sepi setelah kepergian mereka.
Abi Tristan memanggil Windi ke kamarnya sebelum mereka sarapan pagi.
"Duh, ada apa ini? Roman-romannya aku bakal disidang." Batin Windi.
Tok tok tok
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam. Masuklah!"
Windi membuka pintu kamar orang tuanya, lalu masuk ke dalam.
Abi dan Bundanya sedang duduk di sofa.
"Ada apa, abi?"
"Sini, duduklah!"
Windi duduk di samping sang Bunda.
"Kenapa kamu seperti ketakutan gitu, hem? Apa kamu merasakan punya salah?"
"Ti-tidak kok, bi."
Windi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bunda menahan senyumnya, menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.
"AmSekarang abi tanya. Kemarin kamu jalan ke mana?"
Windi sudah mulai paham arah pembicaraan abinya.
"Ke Mall, bi."
"Sama siapa?"
"Sama si kembar, bi."
"Orang lain?"
Windi tidak mungkin bisa menyembunyikan apapun pun dari abinya. Ia sangat tahu itu. Tapi sejauh ini, abinya tidak pernah langsung menegurnya. Karena selama ini Windi memang selalu menjaga diri. kecuali kemarin, abinya menangkap ada sesuatu yang berbeda kepada putrinya.
"Windi, katakan! Atau kamu mau langsung Abi nikahkan saja dengan pria pilihan Abi?"
"Ja-jangan, bi! Iya, Windi akan katakan. Kemarin di Mall, ada Javier menghampiri kami. Sumpah Windi dan Javier tidak janjian, bi.Windi kenal sama Javier karena urusan pekerjaan. Javier itu rekan kerja Noval, bi. Windi tidak ada hubungan apa-apa dengannya. Kemarin aku sudah memintanya untuk pergi tapi dia tetap menemani kami. Abi tahu nggak? Rayyan itu malah berteman sama dia. Mungkin dia janjian sama, Rayyan."
Sebenarnya Abi Tristan tahu yang sebenarnya. Ia hanya ingin melihat reaksi putrinya.
"Oke, abi percaya. Ya sudah sana siap-siap. Setelah itu sarapan."
"I-iya, bi."
Windi lega setelah menghadap kedua orang tuanya. Ia segera masuk ke kamar untuk ganti baju.
Setelah kepergian Windi, Bunda Salwa tertawa. Begitupun Abi Tristan.
"Kamu lihat kan, Bun? Putri kita sudah sangat dewasa. Aku sudah menyelidiki siapa, Javier."
"Lalu?"
"Bunda lihat saja nanti!"
Bunda Salwa bersandar ke lengan suaminya.
"Abi, sebenarnya aku tidak ingin mereka cepat menikah. Karena rumah ini akan tambah sepi nantinya."
"Sudah kodratnya. Bunda, mereka hanya amanah dari Allah. Yang terpenting mereka tidak melupakan kita. Ada aku yang akan selalu bersamamu."
Abi Tristan mengecup puncak kepala istrinya.
Bersambung...
...****************...