NovelToon NovelToon
Happy Story

Happy Story

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta Murni
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Riska Darmelia

Karya ini berisi kumpulan cerpenku yang bertema dewasa, tapi bukan tentang konten sensitif. Hanya temanya yang dewasa. Kata 'Happy' pada judul bisa berarti beragam dalam pengartian. Bisa satir, ironis mau pun benar-benar happy ending. Yah, aku hanya berharap kalian akan menikmatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riska Darmelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saat yang Bicara adalah Cinta part 1.

“Menarik sekali, kan? Walau kita berbeda ras, saat kita tua rambut kita sama-sama memutih,” katamu.

Aku tertawa. Rasanya masih seperti kemarin aku melihat rambut pirangmu untuk pertama kalinya dan terpesona. Di bumi Indonesia, warna pirang rambutmu sama seperti setetes darah di hamparan kain putih. Mencolok dengan caranya sendiri.

Seperti kebanyakan laki-laki pada umumnya, rambutmu pendek. Tapi masih cukup panjang untuk kugenggam saat bibir kita bertautan. Masih cukup panjang untuk kamu sisir setiap pagi dengan tatanan rapi bergaya maskulin yang kamu suka.

“Aku suka caramu bicara tentang rambut. Aku suka kita masih bersama meski rambut kita sudah uban semua,”kataku.

“Berterima kasihlah pada cinta ciptaan Tuhan,”katamu. “Ia tidak pudar meski kita telah menikah selama lebih dari separuh umur kita.”

Ya. Tanpa kamu minta sejak lama aku berterima kasih pada cinta yang membuat kamu dan aku bersatu. Lalu kamu dan aku membuat mereka yang kita sebut sebagai buah cinta ada. Membuat kita bisa menyebut diri kita sebagai orang tua.

Saat pertama kali melihatmu aku tidak pernah membayangkan kalau kita akan hidup bersama. Dalam bayanganku dulu, kamu akan memilih salah satu dari sekian banyak gadis cantik yang terpesona pada paras dan darah asingmu. Tapi kamu memilihku, bukan mereka. Alasanmu sangat sulit untuk kupercaya.

“Kamu manis dan punya sinar,”katamu. “Melihatmu bagiku bagai melihat pelita di kejauhan. Awalnya aku kira kamu hanya sekedar cahaya kecil. Tapi saat menyentuhmu aku merasa hangat. Bagiku alasan itu sudah cukup untuk membuatku menetap.”

Di lain waktu kamu bilang bersamaku membuatmu melihat dunia dengan cara berbeda. Hal kecil jadi berharga dan masalah besar tidak lagi membuatmu khawatir. “Aku tidak tahu bagaimana cintaku berpengaruh dalam hidupmu. Tapi aku bisa melihat di matamu bahwa bersamaku membuatmu bahagia dan tidak menyesal telah menyatukan hidup kita,”katamu.

Ingin sekali aku menceritakan hal yang kamu ubah dari hidupku. Tapi aku terlalu pemalu untuk menjelaskannya, bahkan sampai saat ini. Yang harus kamu tahu, jika kamu meninggalkanku karena perempuan lain, aku mungkin akan mati. Mati seperti pohon yang dicabut sampai ke akarnya. Aku bersyukur kamu memupuk cinta bersamaku setiap harinya sampai aku merasa bahagia bahkan saat penyakit sedang menyerang ragaku. Untukku cinta kita adalah hal paling luar biasa yang kutemukan dalam hidupku. Hal yang membuat jiwaku tidak pernah menua.

“Teh hari ini enak,”pujimu. “Kamu beli teh merek lain, ya?”

“Iya. teman-temanku suka teh merek ini. Kebetulan saat reuni teh ini disajikan bersama kue-kue. Karena suka rasanya aku tanya mereknya pada panitia acara.”

“Rasa ini mengingatkan pada seseorang di masa lalu.”

Aku cemburu. “Mantanmu?”

Kamu tertawa. “Abangku. Rasa teh buatannya seperti ini.”

Aku tersenyum. Kamu suka sekali bicara tentang abangmu. Kamu bilang dia adalah pahlawan keluarga. Dia hanya bekerja serabutan tapi berhasil membuatmu dan adik-adikmu bersekolah. Sayangnya saat adikmu yang terakhir lulus SMA, dia menghilang di Indonesia. Karena itulah kamu ke negara ini dan bertemu aku. Entah aku harus senang atau bersimpati. Sampai saat ini abangmu tidak berhasil kamu temukan, dimana pun kamu pernah mencarinya. Dia hilang tanpa jejak.

Katamu dulu, “Mungkin sekarang waktunya aku menyerah. Mungkin Steven sudah bergabung dengan tanah.” Saat kamu berkata begitu, aku melihat air matamu menetes untuk pertama kalinya sejak kita berkenalan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.

“Apa yang harus terjadi memang harus terjadi. Yang bisa kita lakukan hanyalah mendo\`akan agar Tuhan memberinya kebahagiaan dimana pun dia berada,”kataku saat itu.

Saat itu kamu tersenyum. Entah apa yang kamu pikirkan saat itu. Tapi setelahnya kamu melanjutkan hidupmu di Negara ini, seolah-olah kamu sudah bisa menerima apa yang terjadi.

“Kamu masih ingat rasanya? Setelah bertahun-tahun tidak mencicipi rasa teh buatan abangmu?”tanyaku tidak percaya.

“Aku tidak bisa lupa rasanya. Aku sering minum teh buatan orang lain dan itu tidak bisa mengobati kerinduanku pada teh buatannya.”

Aku percaya. Tidak ada orang yang bisa mengobati kerinduan kita pada seseorang selain orang itu sendiri. Aku sering merasakan kerinduan itu pada orang tuaku yang sudah lama meninggal. Ibuku meninggal saat setua aku sekarang dan Ayahku bahkan meninggal di usia yang lebih muda lagi.

Ah, tiba-tiba aku teringat kematian.

“Mungkin sudah saatnya kita menulis surat wasiat,”kataku sedih.

Ekspresimu terlihat kaget. “Kamu berpikir tentang kematian? Seperti bukan kamu saja.”

“Aku mengakui kita sudah tua, Max. Aku tidak butuh apa-apa lagi selain kamu, makanan dan ketenangan. Waktu untuk melepas apa pun yang kita punya sudah datang. Aku tidak mau anak-anak sibuk berebut harta sampai lupa menangisi kematian kita.”

Kamu terdiam lama sebelum menjawab. “Baiklah. Aku akan membuat dokumendengan notaris. Kamu berpikir terlalu cepat tentang kematian. Tapi aku bisa memahami kekhawatiranmu.”

“Aku khawatir. Khawatir sekali malah. Anak-anak sering mengeluh soal biaya hidup padaku. Anita bahkan pernah bilang ingin bercerai dengan suaminya karena suaminya berhenti bekerja. Aku khawatir persoalan harta warisan akan membuat rasa persaudaraan anak-anak kita memudar sehingga mereka jadi terpecah belah.”

“Iya. aku paham.”

Aku lalu melihatmu menatap langit sore. Suasana sore yang benar-benar tenang membuatku merasa hari tuaku benar-benar tentram. Aku beruntung punya suami seperti kamu yang pandai berdagang dan bekerja keras saat muda. Saat kita tua kita tinggal menikmati semuanya.

“Kalau aku mati terlebih dahulu dibandingkan kamu, apa yang akan kamu lakukan?”tanyamu, membuatku cuma bisa tersenyum sedih.

Aku selalu berharap aku yang mati lebih dulu karena diantara kita berdua karena aku yang paling lemah terhadap perpisahan. Aku tidak akan sanggup rasanya mengantarmu berpulang pada Tuhan.

“Kalau aku mati, jangan menikah lagi,”katamu lagi.

Untuk yang satu ini aku bisa berjanji. “Pasti. Rasanya mustahil untuk jatuh cinta lagi di umur lebih dari setengah abad seperti sekarang. Yang kurasakan sekarang lebih dari cukup. Yang kukhawatirkan adalah kamu. Usia membuat rupamu semakin menawan hati.”

Kamu tertawa. “Kamu juga terlihat seperti itu. Rambutmu terlihat masih berkilau walau sudah memutih. Dan senyummu terlihat semakin manis karena kebahagiaan yang kamu rasakan. Aku selalu merasa aku berhasil membahagiakanmu sebagai suamimu. Mungkin itulah hal paling membanggakan yang kulakukan selama aku hidup.”

Ya, kamu benar. Aku juga bisa bangga karena bisa merawatmu dan keluarga kita dengan baik walau aku tidak memiliki prestasi yang benar-benar membanggakan selama aku hidup.

Hujan sedang turun di tengah malam saat aku terjaga dari tidurku. Aku menatap wajahmu yang terlelap di sampingku. Hatiku di susupi rasa menyenangkan yang membuat damai hanya dengan melihatmu bernafas dalam tidur. Tubuh kita ditutupi satu selimut hangat yang membuat kita terlindungi dari dinginnya malam. Satu selimut yang membuatku bisa memeluk tubuhmu di balik selimut yang menutupi tubuh kita.

Kamu terbangun lalu menatap wajahku sebentar. Kamu balas memelukku sebelum memejamkan mata lagi. “Kenapa bangun?”tanyamu.

“Tadi terbangun dan rasanya tidak mengantuk lagi.”

“Aku bersyukur sudah pensiun seperti sekarang. Aku jadi tidak perlu lagi bangun pagi-pagi untuk berangkat kerja,”katamu. “Mau ngobrol tengah malam?”

“Ada yang mau kamu bicarakan?”

“Ya.”

“Apa?”

“Apa yang akan kamu lakukan jika kita tidak pernah bertemu?”

“Pertanyaan bagus.” Aku berpikir lama. “Aku mungkin akan menjalani hidup yang berbeda dan menemukan cinta yang berbeda.”

“Hidup seperti apa yang ingin kamu jalani?”

“Setelah mengenal kamu, aku merasa hidup dalam kebahagiaan dan cinta itu adalah yang terpenting. Tapi kalau ditanya aku ingin hidup yang seperti apa, aku memilih hidup mandiri jika harus tanpa cinta. Rasanya tanpa kamu aku tidak bisa membayangkan cinta itu rasanya seperti apa.”

Kamu diam tapi tersenyum. Aku melihatmu menatap langit-langit dan aku pun menatap langit-langit. Aku tidak punya sesuatu yang bisa dibicarakan untuk memecah keheningan.

“Aku berharap aku benar-benar orang yang tercipta untukmu agar di surga nanti pun kita akan diberi kesempatan untuk menjalani keabadian bersama,”katamu setelah terdiam cukup lama.

“Kamu bicara seolah-olah kita tidak pernah bertengkar dalam hidup. Kalau aku jadi kamu, akuakan minta seorang gadis muda dan cantik. Seorang yang bisa mematuhi semua keinginanmu dan tidak pernah berpikir untuk berselingkuh.”

Kamu terlihat kaget saat mengalihkan tatapanmu dari langit-langit ke wajahku. “Kamu pernah berpikir untuk selingkuh?”

Aku menatap wajahmu yang terlihat tidak mempercayai perkataanku. “Ya. Apa lagi saat aku mencurigai kamu dengan perempuan lain. Atau saat kamu membuat hubungan kita jadi terlalu rumit untuk kumengerti.”

Kamu tersenyum menatapku lalu mengelus rambutku. “Yang kuharapkan tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku tidak butuh gadis yang lebih muda dan cantik. Aku lebih membutuhkan kamu yang bersedia mendampingi dan selalu mencintaiku. Aku hanya meminta apa yang aku butuhkan.”

Hatiku tiba-tiba menghangat. Aku memelukmu dan merasa bahagia. Rasanya aku tidak butuh apa-apa lagi.

Hidup memang tidak bisa kita jalani selama yang kita mau. Tuhan menciptakan batas waktu bernama kematian untukmu dan untukku. Dan Tuhan menjemputmu lebih dulu dari pada aku, meninggalkan aku untuk menghuni rumah besar kita seorang diri.

Aku merasa sudah tidak bisa menangis lagi. Kamu terbujur tanpa nyawa di hadapanku, seperti tertidur tapi wajahmu terlihat pucat sekali. Sekarang kamu hanyalah daging dan tulang tanpa nyawa. Orang-orang menyebut ragamu sebagai jenazah sekarang.

Anak-anak kita mengelilingiku yang cuma bisa menatap tubuhmu dengan tatapan kosong.

“Sabar, Ma. Memang sudah waktunya papa pergi,”kata Anita.

Aku mengangguk lemah. Aku masih merasa kamu seharusnya tidak pergi secepat ini. rasanya akan sangat berat menjalani hari dan malam tanpa kamu di sisiku. Aku yakin semuanya akan terasa berat.

1
𝕻𝖔𝖈𝖎𝕻𝖆𝖓 menuju Hiatus
Hai ka.....
gabung di cmb yu....
untuk belajar menulis bareng...
caranya mudah cukup kaka follow akun ak ini
maka br bs ak undang kaka di gc Cbm ku thank you ka
Riska Darmelia
〤twinkle゛
Terima kasih sudah menghibur! 😊
Riska Darmelia: sama-sama/Smile/
total 1 replies
Tiểu long nữ
Suka dengan gaya penulisnya
Riska Darmelia: makasih.
total 1 replies
🍧·🍨Kem tình yêu
Nggak kebayang akhirnya. 🤔
Riska Darmelia: terima kasih karena sudah membaca.😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!