Semua itu karena rasa ego. Ego untuk mendapatkan orang yang dicintai, tanpa berfikir apakah orang yang dicintai memiliki perasaan yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16-Pov Adam
POV Adam
Terkejut dan bahagia itulah dua kata yang menggambarkan perasaanku saat bertemu kembali dengan Selia. Aku tidak menyangka bahwa insiden kecelakaan itu akan mempertemukan ku kembali dengan gadis yang paling aku cintai. Selia namanya. Mantan istriku yang telah lama tak bertemu.
Dengan sigap aku mengangkatnya, dan membawanya ke rumah sakit. Di perjalanan rumah sakit, aku tak henti hentinya berdoa kepada Allah agar Selia baik baik saja. Pun sama dengan Zara, ia tampak beristighfar dan bersholawat seraya mengelus elus rambut Selia. Selia berbaring di pangkuan Zara. Zara sebenarnya gadis yang baik, tidak seharusnya dia terperangkap di dalam pernikahan ini. Tetapi aku pun tak punya hati untuk mencintainya.
Sesampainya di rumah sakit, Selia langsung menerima penanganan intensif dari para dokter dan perawat. Aku benar benar gelisah, aku khawatir hal yang buruk terjadi kepadanya.
Alhamdulillah, Selia dinyatakan baik baik saja, hanya saja tangan dan kakinya mengalami cidera, yang membuatnya tak bisa berjalan dan harus dirawat inap di rumah sakit.
"Dia baik baik saja, hanya saja ia sedang tak sadarkan diri akibat dari bius saat kami melakukan operasi pada kakinya." Ucap pak dokter.
"Operasi? Apakah dia tidak akan cacat dok. Maksudku apakah dia masih bisa berjalan normal?" tanyaku, aku khawatir dia akan menjadi cacat, tentu aku tak akan memaafkan diriku seumur hidupku.
"Bapak tenang saja, begitu dia pulih maka Selia akan bisa berjalan kembali, normal tanpa kekurangan satu apapun" ucap pak dokter yang membuat hatiku lega.
"Alhamdulillah dok, terimakasih banyak dok" ucapku.
"Ya sudah, Selia sudah di antar oleh para perawat ke ruangannya, bapak sudah bisa menemuinya" ucap pak dokter.
"Baik dok, sekali lagi terima kasih banyak dok" aku menyalam tangan pak dokter spontan, hatiku begitu lega mendengar perjelasannya.
"Iya sama sama. Kalau begitu saya pergi dulu" ujar Dokter kemudian pergi meninggalkanku.
Perlahan lahan aku mendekati ruangan tersebut. Melalui kaca kecil pada pintu, aku menatap ke arah dalam. Dari balik pintu ini aku bisa menatap di sana Selia terbaring di atas tempat tidur. Aku menatap jari jari tanganku. Di sini telah tersemat sebuah cincin nikah yang melingkar. Sebelum aku melangkah masuk, tak lupa cincin ini aku lepaskan. Aku tak ingin dia menjauh dari ku, hanya karena dia tahu aku telah menikah. Sebab ia tak tahu meskipun aku telah menikah, hatiku masihlah utuh untuknya.
Aku duduk di sini, disamping tempat tidurnya. Aku memandanginya, dengan tatapan penuh harap. Berharap ia segera siuman dan melihatku ada di sini. Mengenai Zara, aku tak memikirkan nya. Ia dalam keadaan sehat walafiat. Ia bisa bebas ke mana saja yang ia mau.
"Adam...?" panggilnya dengan nada suara bertanya, syukurlah dia sudah sadar, tadi dia sempat pingsan dan tidak sadarkan diri.
"Yah, ini aku Adam, mantan suamimu dulu" ujarku, ingin rasanya aku merain tangannya dan memeluknya tetapi dia bukanlah mahram ku, jadi kuurungkan niatku. Untuk memegang erat tangannya.
Namun, begitu ia mendengar pengakuanku Selia langsung buat muka dariku. Apa dia membenciku? Tetapi apa salahku, bukankah dulu yang meminta untuk diceraikan adalah dirinya? Dan sampai sekarang aku masih menunggunya.
"Tinggalkan aku sendiri Adam," perintahnya, Selia memintaku untuk pergi meninggalkannya, bagaimana mungkin aku bisa melakukannya. Saat ini ia sedang membutuhkanku, dan aku tak akan meninggalkannya.
"Selia, tolong jangan bersikap seperti ini kamu sedang sakit, jika aku meninggalkanmu siapa yang akan mengurusmu di sini?" Ujarku, dan ia masih pun buang muka dari ku.
"Selia aku minta maaf jika aku ada salah, tetapi saat ini kamu benar benar butuh bantuanku" aku berharap Selia tak menolak bantuan ku, aku tak tega melihatnya begini.
"Ketahuilah aku yang telah menabrakmu, jadi untuk membalas itu maka aku harus bertanggung jawab untuk kesembuhan mu. Tak ada yang lain" apapun akan aku lakukan agar ia mau menerima bantuanku.
Perlahan lahan dia menoleh ke arahku.
"Kamu yang menabrakku?" tanyanya, dan aku mengangguk.
"Ya, aku yang menabrakmu, itulah sebabnya aku ingin bertanggung jawab dengan menjagamu sampai kamu sembuh, tak lebih dari itu" ujarku.
"Janji?" Selia seperti tak mempercayai ucapanku.
"Janji" ucapku seraya tersenyum.
Selia pun membalas senyuman ku dengan senyuman. Senyumnya tak berubah, ia masih saja manis sama seperti dulu.
"Tak sangkaya kita bisa bertemu di sini, padahal sudah dua tahun kita tak pernah lagi bertemu bahkan tak ada komunikasi sama sekali." ujarnya seraya tersenyum menatap langit langit ruangan.
"Allah selalu mempunyai cara untuk mempertemukan hamba-Nya yang saling merindu" ujarku. Spontan Selia menatapku, yang membuatku menjadi kikuk. Apa aku salah bicara. Ya, seharusnya aku tak mengatakan hal itu, mudah mudahan saja Selia tak marah padaku.
"Apa kamu rindu padaku?" tanyanya, dan aku mengangguk ragu.
"Kalau kamu?" tanyaku perlahan.
Dan Selia hanya tersenyum seraya menggelengkan kepalanya.
"Apa kamu tak rindu padaku? Bagaimana mungkin?" tanyaku tak percaya. Dan Selia hanya tertawa kecil, yang membuat hatiku semakin mencair. Aku rindu tawa itu, dan sekarang rindu itu telah terobati.
"Bercanda, bagaimana mungkin aku tak rindu dengan masa laluku." Ucapnya, dan aku menjadi salah tingkah, yang kututupi denga menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
"Apa kamu masih mencintaiku?" ucapku to the point. Jika ia mengatakan masih, itu artinya masih ada kesempatan untuk kembali.
Selia menatapku dalam dalam, kemudian.
"Apa masih pantas dua orang yang telah bercerai membahas perihal cinta?" tanyanya.
"Tapi kita bercerai bukan karena masalah sudah tak lagi cinta Selia, melainkan karena..." perkataanku terhenti, aku tak ingin mengingatkannya pada masa lalu yang menyakitkan.
"Karena HIV?" ucapnya berterus terang.
"Ya, bagaimana keadaanmu? Setelah pisah dariku apa yang kamu lakukan, dan apa kamu sudah sembuh dari hivmu? Kamu berobat di mana? Dan berapa lama kamu habiskan untuk berobat?" tanyaku beruntun, aku ingin tahu setelah perpisahan kami apa saja yang ia lakukan, dan dengan siapa.
Selia tersenyum, kemudian.
"Pertanyaanmu banyak sekali, sangking banyaknya aku jadi bingung mau jawab yang mana lebih dulu." Ujarnya.
"Begini mas Adam, ternyata surat hasil pemeriksaan itu tertukar, sebab ada orang yang namanya kembar denganku. Dan setelah aku melakukan pemeriksaan ulang ternyata aku dinyatakan negatif. Aku melakukan pemeriksaan ulang setelah 2 bulan bercerai denganmu." Jelasnya.
"Lalu kenapa kamu tak pernah kembali padaku? Kamu tahu aku terus menantimu kembali untukku" tidak adil, seharusnya begitu dia tahu dirinya negatif harusnya dia kembali padaku. Bukankah dia memaksaku menceraikan nya sebab hivnya, lalu setelah dia divonis negatif kenapa dia tak kembali padaku.
"Mas Adam, yang berlalu biarlah berlalu, tak perlu disesali" ujarnya. Bagaimana mungkin ia bisa sesantai itu berkata demikian, sedangkan aku telah depresi karenanya. Aku bahkan pernah harus berobat rutin ke psikiater dan psikolog demi memulihkan jiwaku yang sakit sebab kehilangannya.
"Apa kamu tak pernah merasa sedikit pun kehilangan sejak perceraiannya itu?" tanyaku. Aku ingin tahu, apakah ia memang benar benar santai saja begitu cerai denganku.
"Kehilangan itu pasti, tetapi nyatanya saat ini aku baik baik saja" ujarnya.
"Apa kamu tidak mau rujuk denganku? Sejauh ini aku belum menemukan penggantimu" ucapku dengan tatapan dalam, aku ingin kami kembali lagi seperti dulu. Aku ingin hidup selamanya bersamanya.
"Adammm, aku sedang sakit, tolong jangan bahas perihal masa lalu apalagi rujuk. Aku ingin tenang" ujarnya. Apa ia tak tenang jika mengetahui aku ingin kembali padanya. Apa ia sudah tak lagi cinta padaku.
"Kamu tak lagi mencintaiku?" tanyaku.
Dan dia menggelengkan kepala.
"Tidak Adam, tidak sama sekali" jawabnya, yang membuat hatiku hancur berkeping-keping. Tetapi tidak apa apa, selama aku merawatnya aku akan mengambil hatinya kembali. Aku akan membuat Selia kembali menjadi milikku.
*****
"Begini pak, Selia sudah bisa pulang pada esok hari. Tetapi ia harus tetap melakukan rawat jalan. Apakah bapak tinggal di sini?" Ujar dokter yang bertugas menangani Selia selama enam hari ini.
"Saya tinggal di kota Panji dokter" ujarku.
"Ya, sudah Selia bisa kamu bawa ke sana, dan berobat jalan di sana. Kalian bisa menghubungi rumah sakit Sakti, sebab rumah sakit tersebut bekerja sama dengan rumah sakit ini. Itu jika bapak bersedia, jika tidak bapak bisa membawanya berobat di tempat lain. Yang penting, saudari Selia ini harus menjalani proses pengecekan rutin oleh dokter" ujar pak dokter panjang lebar.
"Kira kira berapa lama proses pemulihannya dok?" tanyaku.
"Paling cepat dua bulan, kakinya sudah bisa normal kembali." ucap pak dokter.
Jika aku membawanya ke rumah tentulah aku akan punya banyak waktu dan kesempatan untuk membuatnya kembali jatuh hati padaku. Ini kesempatan yang bagus.
"Baik dokter, saya paham,"
"Silahkan selesaikan tagihannya pda ruang administrasi" ucap pak dokter memberikan secarik kertas padaku, dan aku pun langsung ke ruang administrasi untuk melunasi tagihannya.
Aku berencana akan membawa Selia ke rumahku di kota Panji. Aku akan merawatnya di sana, dengan begitu aku akan punya banyak untuk bersama sama dengan Selia. Dan tidak menutup kemungkinan Selia akan kembali lagi mencintaiku dan kami akan rujuk. Dengan cepat aku bergegas menuju ruangan tempat di mana Selia di rawat. Ia sedang tertidur.
Kupandangi wajahnya yang manis, setiap kali aku melihat wajahnya, kenangan kenangan dahulu kembali beruforia di fikiranku. Aku tak perduli apakah aku telah menikah atau belum, yang pasti aku tak ingin melepaskan Selia kembali.
Bukan ku tak memikirkan Zara, aku pun memikirkannya tetapi ku kira ia akan mengerti keadaanku sebab sedari awal telah kuberi tahu bahwa aku masih menunggu Selia kembali. Dan dia tidak mempermasalahkan itu, bahkan ia mengatakan ia sama sekali tak punya rasa kepadaku. Jadi, ku rasa apa yang kulakukan saat ini bukanlah hal yang menyakiti hatinya.
Dokter memvonis Selia mengalami patah tulang, dan harus melakukan rawat jalan. Aku benar benar merasa bersalah, disebabkan kelalaianku Selia harus menderita seperti ini. Sebagai lelaki aku harus bertanggung jawab, di sini ia tak punya keluarga sama sekali, jadi aku putuskan untuk membawanya masuk ke dalam rumahku.
"Mas Adam, apa aku tidak merepotkan jika menumpang di rumahmu?" suara lembut selia benar-benar mampu membius ku. Ia tidak hanya cantik, tetapi juga lembut tutur bahasanya.
"Tidak sama sekali Selia, di rumah aku hanya tinggal dengan sepupuku yang bernama Zara, dan juga seorang art, sungguh kehadiran mu tak akan merepotkan ku atau siapapun di rumahku" ujarku meyakinkan Selia, aku tak ingin ia menolak tawaranku ini.
"Lagipula kamu tidak bisa jalan, bagaimana kamu ingin bepergian atau pulang ke kampung halamanmu. Jadi, tolong jangan menolak tawaranku kali ini,"
"Tapi Adam..."
"Tidak Selia, tolong jangan menolakku kali ini. Sebab aku tak menerima penolakan apapun darimu saat ini Selia. Ini demi kebaikanmu. Aku bersalah dan aku harus bertanggung jawab untuk itu" ucapku.
"Terimakasih banyak Adam" ujarnya, dan aku mengangguk. Senanng ia tak lagi menolak tawaranku.
******
Di perjalanan kami mampir di sebuah restoran, dengan menggunakan kursi roda aku membawa Selia untuk makan malam di sini.
"Adam kamu tak malu membawaku masuk dengn kursi roda begini. Jika kamu lapar makanlah sendiri, dan untuk makananku nanti bawa saja ke sini, aku makan di dalam mobil saja" ucapnya. Dan aku tersenyum, bagaimana mungkin aku bisa merasa malu, bahkan aku sangat senang bisa makan bersama dengan gadis yang aku cintai.
"Tak aku malu sama sekali" ucapku, lalu mengangkat nya ke kursi roda. Aku mendorongnya, dan membawanya masuk ke dalam.
Begitu pesanan datang, aku menyuapi nya.
"Adam aku bisa sendiri" Selia menolak tapi aku kekeuh untuk menyuapinya.
"Tidak Selia, tanganmu masih sakit, aku harus menyuapimu makan," ucapku, rasanya malam ini sangat romantis sekali. Hinggalah nada dering di ponselku mengganggu momen ini.
"Dert..." Itu panggilan dari Zara.
Aku menghela nafas panjang, ingin rasanya aku emosi, tetapi aku tahan aku tak ingin Selia merasa tersinggung.
"Sebentar ya Selia, ada telpon dari sepupuku" ucapku, dan selia mengangguk. Aku menjauh sedikit dari Selia untuk mengangkat telepon dari Zara.
Ternyata Zara hanya menanyakan perihal apakah aku jadi pulang atau tidak. Ia benar benar menganggu momenku dengan Selia.
Setelah menutup telepon, aku kembali melanjutkan menyuapi Selia
"Jangan menyuapiku terus Adam, kamu juga harus makan" ujarnya.
"Tak, kamu dulu" ucapku, dan dia menggelengkan kepala.
"Aku tak mau lanjut makan kalau kamu belum makan" ujarnya seraya cemberut. Aku pun terkekeh pelan.
"Iya iya, ini aku makan" ujarku seraya menyuapkan makanan dari bekas mulutnya.
"Ohhh jorok ah, masak sendoknya enggak di ganti" ujarnya.
"Biarin" ucapku, aku senang begini.
Setelah kami selesai makan. Aku kembali mendorongnya dan membawanya masuk ke dalam mobil.
Bahagia sekali rasanya bisa kembali sedekat ini dengan Selia.
"Adam..." ujar Selia pelan.
"Iya ada apa Selia?" tanyaku.
"Terima kasih untuk semuanya, maaf karena telah merepotkan mu" ujarnya. Aku pun menghentikan kursi roda. Dan berpindah ke hadapannya.
"Tak perlu berterima kasih apalagi meminta maaf. Aku yang salah, dan yang aku lakukan ini untuk menebus kesalahanmu padamu" ujarku seraya tersenyum. Dan ia membalas dengan senyuman.
Aku akan melakukan apa saja yang penting aku dan Selia bisa rujuk kembali, tak perduli jika itu berarti aku harus menceraikan Zara, gadis yang baru ku nikahi.