Tama adalah seorang kurir pengantar barang yang melihat kejadian mengerikan di depan matanya, pada malam itu iya menyaksikan pembunuh*n yang dilakukan pria bertopeng
Detektif Lee ditugaskan saat itu menyelidiki kasus pembunuh*n berantai tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 17 Identitas
"Jen" detektif Ryu seketika panik tidak menemukan Jenni di rumah, iya segera merogoh ponsel di sakunya, membaca pesan dari jenni ("seseorang mengikuti ku") seketika mukanya memerah membaca pesan itu, segera iya berlari menuju ke tempat terakhir kali ponsel Jenni aktif, "Jenn...jenni" teriaknya namun tidak melihat Jenni di sana, dengan tangan gemetar iya memegang ponsel untuk menghubungi Jenni namun nomor itu tidak terhubung.
Detektif Ryu meremas rambutnya lalu berteriak frustasi "brengs*k" ia pun berlari kian kemari mencari Jenni hingga nafasnya terengah-engah namun tidak ada jejak Jenni sedikitpun. Detektif Ryu menghela nafas panjang berpikir sejenak untuk menemukan jawaban, ia terpikir untuk mendatangi rumah detektif Lee, siapa tau detektif Lee mengetahui sesuatu.
"Ting..tong"bel berbunyi, tapi tidak ada jawaban dari dalam apartemen.
"Kemana perginya detektif itu" gumamnya dalam hati, Detektif Ryu pun seketika membuka paksa pintu apartemen detektif Lee, hanya ruangan yang kosong, detektif Ryu menelisik setiap sudut ruangan, tapi tidak menemukan apapun,matanya melirik kepada tirai di dekat jendela, *srrrrtt* tirai terbuka, matanya seketika membulat melihat banyak foto dan rentetan kasus yang di tandai dengan pulpen merah, "detektif Lee benar-benar sudah gila."ucap detektif Ryu terperangah.
Detektif Lee menyadari seseorang telah masuk ke dalam apartemennya, ia pun berjalan perlahan dengan memegang sebuah pistol di tangannya, melihat ada seseorang yang berdiri di jendela iya langsung menodongkan pisau tersebut "siapa kau?"
"Jelaskan padaku siapa mereka?" Ucap detektif Ryu tanpa menoleh, pandangannya hanya tertuju pada foto yang ada di depannya. Detektif Lee seketika menurunkan tangannya berjalan kearah pria itu "kau, mengapa kau kemari?"
Detektif Ryu langsung mengangkat kerah baju detektif Lee "dari mana saja kau" ucapnya menatap mata detektif Lee, detektif Lee seketika melepaskan tangan detektif Ryu dari kerah bajunya "aku ada urusan, mengapa kau seenaknya masuk ke rumahku?"
"Apa perempuan ini korban pembunuhan?" Ucap detektif Ryu sambil menunjuk foto naomi "lalu siapa pria bertopeng ini" tanyanya lagi, detektif Lee kesal dengan berbagai macam pertanyaan yang di ajukan kepadanya, iya pun meraih lengan detektif Ryu menariknya keluar "adikku hilang."
Detektif Lee seketika berhenti berjalan "apa?" ucap nya kaget , detektif Ryu terhenyak dan meremas rambutnya "harusnya aku tak mengabaikan pesannya" ucap detektif Ryu dengan mata berkaca-kaca.
Detektif Lee kemudian membaca pesan yang dikirimkan Jenni, iya menduga itu ulah pria bertopeng, "kita harus mencarinya malam ini." ucap detektif Lee, mereka pun menyerahkan pasukan kepolisian untuk mencari Jenni malam itu juga.
**
**
Jenni merasakan kepalanya terasa sakit, tubuhnya tidak bisa bergerak sama sekali, jantungnya berdebar tidak karuan, iya sekarang berada di ruang yang sangat gelap dan dingin, dengan mata menyipit ia melihat punggung seseorang yang mengasah pisau seketika ia menelan Salivanya kasar,
pria itu terkekeh serak "syukurlah kau sudah sadar." pria itu tidak berhenti terkekeh, "tolong lepaskan aku." ucap jenni lirih. Jenni pun menangis meminta tolong, "menangislah sekuat-kuatnya, aku suka mendengar tangisan seseorang." "maukah kau bermain denganku." ucap pria bertopeng
Jenni pun terdiam, "jawab." pria itu tiba-tiba menghardik, membuat jenni terperanjat.
"apa permainanmu" tanya Jenni.
"jika kau bisa membuka ikatan itu aku akan melepaskanmu, tapi jika tidak aku terpaksa membunuhmu." mendengar itu Jenni langsung berkeringat dingin, memohon untuk dilepaskan, jantung nya berdetak tidak karuan. "aku akan mengasihmu waktu lima menit untuk kau membukanya."
Jenni sekuat tenaga membuka ikatan tali di tangannya, namun tidak bisa terlepas "please..please..please..please! gumamnya sambil mencoba melepaskan ikatan.
"Ting.. Waktu mu sudah habis." tubuh Jenni seketika kaku, iya tidak membayangkan akan mati di tangan pria itu, iya berusaha meminta untuk di lepaskan "tolong, jangan bunuh aku, aku mohon." pria menggertakkan geraham nya, berjalan perlahan membawa pisau di tangannya "aku sudah memberi mu waktu."
pisau sudah berada tepat di depan di mata Jenni. Perlahan pria bertopeng mengangkat pisau itu.
"Ayah, apa yang kau lakukan?" ucap tama bergetar
"Tama?"
"Apa yang kau lakukan ayah, lepaskan wanita itu." ucap tama menatap ayahnya
"apa kau ingin mencoba nya Tama, kau harus melakukannya kali ini sendiri."
"tidak ayah, aku tidak ingin membunuh siapapun."
"pegang pisau ini, kau harus mencobanya sendiri."
Tama pun menggeleng ketakutan,
"kalau kau tak mau, biar ayah saja."
*ssttt* sayatan pisau mengenai tangan Tama yang berusaha memegang pisau itu
Jenni pun seketika memicingkan mata dan menyadari tetesan darah muncul mengenai hidungnya, perlahan iya mendongak kan kepala lalu berteriak histeris.
Tama pun mendorong ayahnya dan pergi dari tempat itu, iya berlari dengan banyak darah di tangannya, "aakhh" ucapnya mendesah kesakitan.
dengan nafas tersengal iya berjalan perlahan ke apartemen. Kakinya sudah sangat melemah, pandangannya sudah terasa kabur
iya pun menekan kode masuk pintu apartemennya
"Tama." pandangan Tama terlihat gelap iya pun terjatuh di bahu Yoona.
Yoona pun seketika panik dan membopong Tama ke atas sofanya.
"ada apa denganmu, kenapa tanganmu berdarah?" tama pun tak menjawab karena iya pingsan seketika.
Yoona pun membersihkan Luka Tama, meletakkan tangan Tama di atas pahanya kemudian membungkusnya dengan perban, air matanya mengalir hangat di pipinya, hingga membasahi tangan Tama
"aku tidak apa-apa, tidak perlu menangis" Yoona pun terkejut mendengar suara Tama, perlahan Tama menyingkirkan rambut Yoona yang menutup wajahnya ke belakang telinganya, memegang dagunya perlahan memutarnya hingga bertemu dengan wajah Tama. Tama perlahan menghapus jejak air mata Yoona, bibir Yoona terasa basah, Tama mengecup bibir Yoona, Yoona pun menutup matanya, sekarang bibir Tama sudah menutup bibir Yoona yang menghanyutkan kedua pasangan itu.
"bagaimana kalau besok kita pergi ke rumah ibuku, dan menikah di sana" ucap Yoona
"kenapa harus ke rumah ibumu?"
"karena di sana pemandangannya sangat indah, mungkin kau bisa menenangkan pikiranmu."
"apa kau khawatir padaku?"
Yoona pun seketika menoleh ke Tama, mereka sekarang berada di atas ranjang, Yoona berada di pangkuan Tama, sementara tangan kiri Tama membelai rambut Yoona.
"aku khawatir akan melukai mu sayang." ucap Tama.
"aku percaya padamu, kau tidak akan melukai siapapun."
tidak ada percakapan apapun lagi, karena mata Yoona sudah terasa berat karena air mata membasahi matanya, Tama perlahan menyingkirkan tangannya dari kepala Yoona, iya pun terduduk di tepi ranjang, menatap tangannya yang sudah di perban, seketika telinganya berdenging sangat keras. Iya pun segera mengambil obat penenang,
sudah enam bulan Tama berobat di psikiater, dia selalu mendengar suara-suara aneh di telinganya, hingga membuatnya susah untuk tertidur, mata Tama pun seketika berat iya pun mulai membaringkan badannya di samping Yoona dan tangannya melingkari perut Yoona.