NovelToon NovelToon
Black Parade

Black Parade

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Horror Thriller-Horror / Identitas Tersembunyi / Kutukan / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Dendam Kesumat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Sad Rocinante

Nb : konten sensitif untuk usia 18 tahun ke atas !

Parade Hitam, wabah Menari.
Kisah kelam dalam hidup dan musik.
Tentang hati seorang anak manusia,
mencintai tapi membenci diri sendiri.
Sebuah kisah gambaran dunia yang berantakan ketika adanya larangan akan musik dan terjadinya wabah menari yang menewaskan banyak orang.

------------------------------------------------

Menceritakan tentang Psikopat Bisu yg mampu merasakan bentuk, aroma, bahkan rasa dari suatu bunyi maupun suara.

Dia adalah pribadi yang sangat mencintai musik, mencintai suara kerikil bergesekan, kayu terbakar, angin berhembus, air tenang, bahkan tembok bangunan tua.

Namun, sangat membenci satu hal.
Yaitu, "SUARA UMAT MANUSIA"

------------------------------------------------

Apa kau tahu usus Manusia bisa menghasilkan suara?
Apa kau tahu kulitnya bisa jadi seni indah?
Apa kau tahu rasa manis dari lemak dan ototnya?
Apa kau tahu yang belum kau tahu?
Hahahaha...

Apakah kau tetap mau menari bersamaku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sad Rocinante, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian II - Blue Eyes

Menempuh jarak sekitar empat jam dalam perjalanan telah membawa kereta kuda tiba pada pemberhentian di pusat Kota Malisande.

Kota ini tidak jauh berbeda dengan Kota Nolohopis, penduduk dan bangunannya sama-sama kumuh dan dingin, yang berbeda hanyalah tingkat ekonomi penduduk Malisande sedikit lebih baik dari pada penduduk di Kota Nolohopis, serta perbedaan yang paling menonjol adalah tingkat kebisingannya, di Kota Malisande pekerjaan utama adalah peternakan hewan sehingga jarang ada pabrik di kota ini, pendapatan yang paling utama di kota ini adalah hasil madu, susu, keju, telur ayam serta dagingnya, dan yang paling banyak adalah penjual daging babi maupun sapi.

Baudry meminggirkan kereta kudanya keseberang jalan dimana telah banyak kuli angkut yang bosan menunggu kedatangan suatu pekerjaan bagi mereka, kuli angkut ini terdiri dari para pria-pria paruh baya yang tidak tahu harus berbuat apa untuk mengisi perutnya selain dengan mengandalkan kekuatan dan kekerasan.

"Hei Baudry, apakah ada barang yang harus diantarkan di dalam keretamu? kami harap ada, karena perut kami sudah lapar sekali," ujar salah seorang kuli angkut bernama Baldwin, dia pria yang berbadan besar dan berotot.

"Tentu saja Baldwin, menurutmu kenapa aku repot-repot berhenti di depan kalian sekarang," Baudry turun untuk membuka pintu belakang kereta kuda.

"Baguslah Baudry, barang apa sekarang?"

"Hmm ... sebentar, dimana tadi suratnya? Oh ... ini dia." Baudry mengambil amplop dari kantong jasnya.

"Alamat di amplop ini adalah alamat yang harus kau tuju," lanjut Baudry.

"Bukankah ini alamat panti asuhan milik wanita si pembuat keju?" timpal Baldwin memastikan.

"Ya, dan ini ada tiga bayi yang harus kau antarkan, kebetulan alamat tujuan mereka sama-sama ke panti asuhan itu." Baudry menarik tiga keranjang bayi dari dalam kereta kudanya.

"Oh ya, kau harus memberikan amplop ini kepada panti asuhan dan jangan sampai tertukar karena itu adalah surat baptis dan sertifikat lainnya mengenai si bayi," lanjut Baudry sembari menyalakan pipa cerutunya.

"Apa kau tidak memberikan lobang udara di keretamu sialan? Lihat wajah bayi-bayi itu telah merah pucat dan berkeringat, apa kau mau membunuh mereka?" Baldwin merasa khawatir jika dalam pengantarannya nanti bayi itu malah mati sehingga dia bisa dituduh sebagai pembunuh.

"Tenang saja, toh mereka masih bernapas seperti anak tikus, yang terpenting amplop berstempel gereja ini untuk anak berkulit putih pucat dan bermata biru ini, sedangkan amplop yang tidak memiliki stempel adalah milik dua bayi perempuan lainnya, kau dengar? Jangan sampai tertukar karena aku sudah muak diomeli penjaga loket sialan itu," papar Baudry menghembuskan asap dari mulut baunya, menunjuk ke amplop di tangan Baldwin.

"Baiklah akan aku antarkan, asal bayarannya dibayar dimuka karena aku mau makan, sakit perut sialan ini terlalu menyiksa."

"Ini bayaranmu, karena jaraknya lumayan jauh akan kutambahi sedikit." Baudry memberikan tiga franch.

"Baik, sampai jumpa."

Baldwin mengikatkan ketiga keranjang bayi tersebut dengan sebatang kayu panjang, satu keranjang di depan dan dua lagi di belakang. Dia telebih dahulu membeli roti sebagai makannya selama di perjalanan, lalu setelah itu barulah dia berangkat ke arah pinggir kota dengan memikul batang kayu yang telah diikatkan dengan keranjang bayi itu di pundaknya.

Masih beberapa meter Baldwin berjalan, suara tangisan bayi di belakang sungguh kencang, membuat mata orang-orang tertuju kepadanya.

Merasa malu, Baldwin mempercepat langkahnya untuk berhenti di lorong sempit seberang bangunan tua, di sana dia menurunkan keranjang bayi itu untuk melihat apa yang terjadi.

Ternyata bayi yang menangis adalah salah satu dari si kembar, sedangkan bayi bermata biru itu terlihat sangat tenang menikmati suara hembusan angin sepoi-sepoi di sekitar keranjangnya.

"Cup ... cup ... cup ... ada apa bayi mungil? apa kau tidak suka di belakang? kalau begitu kau di depan saja, biar saudarimu yang di belakang."

Baldwin menukarkan posisi si kembar satu sama lain dan melanjutkan perjalannya. Lepas beberapa saat, sekarang bayi yang baru dipisahkan kebelakang malah menangis lebih keras dari saudarinya, membuat Baldwin naik darah karena merasa kesal, dengan emosi dia menurunkan keranjang itu ketanah kembali.

"Dasar bayi kurang ajar, ada apa lagi? karena inilah aku membenci seorang bayi, tangisannya bisa membuat telingaku berdarah." Baldwin membentak bayi-bayi itu seperti hilang kewarasan.

"Apa kalian berdua tidak bisa diam saja seperti bayi bermata biru ini?"

Baldwin terdiam sejenak karena mata biru itu seakan menyeretnya kedalam sebuah jurang sempit, gelap, dan sangat dalam.

Napasnya mulai terasa sesak dan matanya terbelalak lebar seperti terkaget-kaget dibarengi rasa takut dan cemas, ketika lehernya terasa semakin tercekik oleh bisikan-bisikan yang mengutuki dirinya, dengan teramat kuat dia mementalkan tubuhnya ke belakang sampai tersungkur. Saking takutnya seluruh tubuhnya merinding, keringat dingin membasahi pakaiannya.

"Bayi ini dirasuki iblis, pantas saja si kembar selalu menangis bila berdekatan dengannya. Dasar Baudry sialan, beraninya dia memberiku seorang bayi iblis," gerutu Baldwin menjambak rambutnya sendiri.

"Aku harus membuang bayi ini bagaimanapun caranya, aku tidak mau mati di tengah jalan hanya karena persoalan tiga franc."

Baldwin yang sedang terdesak akan rasa takutnya sendiri mulai berdebat antara hati dan pikirannya. Hatinya sungguh ingin membuang bahkan membunuh bayi iblis di hadapannya, sementara pikirannya mengingatkan hukuman dan resiko yang akan dia tanggung jika bayi ini tidak sampai ke tujuan, dengan berat hati dia mengumpulkan segala keberanian di pundaknya untuk kembali melanjutkan perjalanan, bayi kembar dia gantungkan di depan sedangkan bayi bermata biru digantungkan di belakang sembari memberi jarak lebih jauh karena dia merasa tidak sudi berdekatan dengannya.

Huff ... huff ... hah ....

Selama perjalanan nampaknya Baldwin tidak dapat menghilangkan rasa takut dan kebencian terhadap bayi bermata biru di belakangnya, napasnya seperti sesak tak beraturan, sesekali dia menoleh kebelakang untuk memastikan keadaan karena merasa seperti ada seseorang yang mengikutinya seakan telah bersiap untuk membunuhnya tanpa ampun.

Badan besarnya sekarang menjadi layu bagaikan rumput yang terinjak-injak, setiap angin yang berhembus semakin menegaskan rasa dingin pada pakaiannya yang telah basah kuyup oleh keringat, dengan langkah yang semakin cepat dan terburu-buru dia mengesampingkan rasa laparnya oleh rasa gelisah dan bulu kuduk yang tidak karuan.

Sekitar empat puluh menit setelah melewati lorong-lorong jalan sempit akhirnya Baldwin telah sampai di depan Panti Asuhan Dupless John Home yang sunyi serta dikelilingi banyak pohon rindang, seperti rumah penyihir saja. Bergegas dia berlari ke arah pintu tamu dan membunyikan bell yang tergantung di langit-langitnya sebising mungkin.

"Hei, orang di dalam, tolong cepat buka pintunya!"

"Siapa di luar? Bising sekali," jawab seorang wanita dari dalam rumah.

"Ini saya, kuli angkut bernama Baldwin, mengirimkan paket berupa tiga bayi dari kota Nolohopis." Baldwin menyaut dengan nada sedikit waswas.

"Baiklah, tolong tunggu sebentar dan mohon hentikan menderingkan bell itu," sindir wanita dari dalam rumah.

Wanita itupun membuka pintu dengan pelan sehingga terdengar decitan dari pintu tua nya.

"Aku ini buta tapi tidak tuli dasar pria kurang sopan santun," lanjut Wanita Gendut itu lagi kembali menyindir keributan yang Baldwin perbuat.

"Ini, cepat ambil bayi-bayi sialan ini, dan ini surat-surat nya, amplop berstempel gereja adalah milik bayi bermata biru durjana itu, sedangkan amplop tanpa stempel adalah milik si kembar. Tolong urus sisanya, saya akan segera pulang, saya tidak sanggup lagi berlama-lama di sini." Baldwin dengan terbirit-birit berlari ke arah jalan pulang, membuat sang Wanita Gendut dan buta kebingungan.

"Emilie ... Emilie ... cepat kemari!" teriak Wanita Gendut.

"Ini hamba, Madam Brielle, apakah ada yang bisa saya kerjakan?" jawab Emilie dengan nada lembut sementara wajahnya sangat jutek dan seakan-akan ingin melahap Si Wanita Gendut.

Wanita Gendut dan buta itu adalah Madam Brielle Harel. Pemilik Panti Asuhan Dupless John yang dia jalankan bersama suaminya yang seorang pendeta bernama John. Sedangkan Emilie adalah seorang pelayan wanita yang bekerja untuk Madam Brielle, dia merupakan wanita dengan tutur bahasa yang lembut dan santun tetapi dia juga seorang munafik yang perilakunya berimbang terbalik dengan bibir manisnya, sering sekali dia melawan dan mengejek majikannya yang buta tanpa sepengetahuannya.

"Cepat, bawa masuk bayi-bayi susu itu, dan bacakan surat dalam amplop ini," perintah Madam Brielle.

"Baik, Madam."

Emilie menenteng masuk keranjang bayi kedalam rumah dan meletakkannya di sisi dekat meja.

"Kemari saya bacakan surat di dalam amplopnya, Madam," ujar Emilie sembari menarik amplop dari jari Madam Brielle dengan tingkah angkuh serta menggetarkan badannya seperti sedang jijik.

"Cepat bacakan!" bentak Madam Brielle.

"Baik, Madam. Yang pertama surat yang tidak memiliki stempel merupakan anak kembar perempuan bernama Marthe dan Martha yang di kirimkan oleh Sequin Si pedagang dari Kota Egmonth."

"Oh ... kerja bagus," potong Madam Brielle. "Lanjutkan!" sambungnya.

"Baik madam, selanjutnya adalah amplop berstempel Gereja Santo-Yosep dari Pendeta Abiel, berisi surat baptis bernama Mercury Saint-Yosep, dan lengkap dengan sertifikat transportasi berserta sebuah surat."

"Bacakan isi suratnya," perintah Madam sembari berjalan kearah kursinya.

"Baik, Madam, beginilah isi suratnya: Wahai teman lamaku yang terkasih, Pendeta John di tempat. ini aku teman lamamu Pendeta Abiel. Dalam surat ini aku memohon agar panti asuhanmu merawat dan membesarkan bayi yang telah terbaptis dalam nama Tuhan ini, sebagai rasa terimakasih aku juga telah memasukkan biaya selama dua tahun kedepan dimuka, yang telah aku sisipkan di bawah bantal bayi tersebut. Sebagai ucapan terakhir untuk menutup surat ini aku bersaksi selalu mendoakanmu dalam setiap puji syukurku. Tertanda tangan teman lamamu, Abiel."

"Begitulah isi suratnya Madam," tutur Emilie yang telah berjalan menghampiri keranjang si bayi untuk memeriksa apa benar ada uang di dalamnya tanpa sepengetahuan Madam Brielle.

"Ternyata dari sahabat suamiku, kalau begitu cepat ambil uang yang dia katakan tadi," perintah Madam dengan telapak tangan yang telah terbuka di atas meja.

"Baik, madam."

Emilie mengangkat Bayi Mercury untuk memeriksa bawah bantalnya, berencana untuk mengambil sebagian uang tersebut untuk dirinya sendiri tanpa sepengetahuan majikannya yang sangat dia benci.

Sebelum mengetahui posisi uang tersebut, tiba-tiba perhatian Emilie teralihkan oleh keindahan bola mata bayi di tangannya, dengan lembut dan hormat dia meletakkan kembali bayi itu ke tempatnya seakan-akan dia telah melupakan tujuan utamanya.

Semakin dia menatap dan menikmati keindahan bola mata itu batinnya seakan tersentak oleh rasa takut dan rasa berdosa, membuat lutut kakinya menjadi lemas tak berdaya lagi walau hanya untuk berdiri.

"Mana uang nya, Emilie! Kenapa lama sekali?" bentak Madam Brielle merasa ada yang janggal.

"EMILIE ...!" bentaknya kuat, membuat Emilie kembali tersadar dari siksaan yang dia alami tadi.

"Eh ... apa? Ini, Madam, sebaiknya Madam sendiri yang mengambilnya karena pelayan seperti saya tidak pantas untuk menyampuri urusan keuangan keluarga Madam yang terhormat," kilah Emilia dengan leher terasa sesak.

"Baiklah, kemarikan keranjangnya!"

Emilie yang tidak sanggup lagi berdiri memilih untuk merangkak memberikan bayi itu ke tangan Madam Brielle, menunggu bagaimana ekspresi yang akan Madam Brielle keluarkan setelah berhadapan dengan anak iblis itu.

"Wah bayi ini nampaknya kurang sehat, telapak kaki dan tangannya berkeringat dan dingin, begitu pula badannya seperti balok es. Hmm... dimana uangnya? Nah, ini dia."

Madam Brielle yang buta sepertinya tidak terdampak oleh dominasi ketakutan yang terpancar oleh Bayi Mercury, dia hanya tahu kondisi badan sang bayi dan tidak merasakan perasaan apapun selain itu. Emilie yang terkejut merasa aneh dan berpikir kalau hal yang tadi dia rasakan itu hanya karena dirinya terlalu kelelahan saja.

"Emilie ... Emilie ...! Cepat bawa bayi-bayi ini ke ruangan anak-anak lainnya dan berilah jus atau bubur terserah kau saja, sebelum aku menyusui mereka nanti. Aku masih harus menghitung uang-uang ini," perintah Madam Brielle dengan senyum bahagia di wajahnya.

Emilie yang seakan terbangun dari mimpi buruk pun berjalan linglung menenteng keranjang bayi-bayi di tangannya, mengantarkan bayi-bayi itu ke tempat kehidupan baru yang menunggu mereka.

1
Sulis Tiani Lubis
negeri yang dibalik?
SAD MASQUITO: gimana? hahaha
total 1 replies
L'oreal ia
jadi bacaan cewek cocok, apalagi cowok.
pokoknya netral dah, baru kali ini ketemu novel klasik kayak novel terjemahan aja
Gregorius
thor, Lo gila kayak pas nulis ini
Anonymous
lupa waktu jadinya
hopitt
alur cerita penuh warna, tidak monoton, naik turun kayak mood gw wkwk
Kyo Miyamizu
cerita ini bikin segala macam perasaan muncul, dari senang sampai sedih. Gila!
SAD MASQUITO: terima kasih kawan atas kesediaannya membaca novel saya
SAD MASQUITO: terima kasih kawan atas kesediaannya membaca novel saya
total 2 replies
AmanteDelYaoi:3
Mendebarkan! 😮
SAD MASQUITO: terimakasih banyak, kakak pembaca pertama saya, akan saya ingat.
izin screenshot ya kak 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!