Benarkah mereka saling tergila-tergila satu sama lain?
Safira Halim, gadis kaya raya yang selalu mendambakan kehidupan orang biasa. Ia sangat menggilai kekasihnya- Gavin. Pujaan hati semua orang. Dan ia selalu percaya pria itu juga sama sepertinya.
...
Cerita ini murni imajinasiku aja. Kalau ada kesamaan nama, tempat, atau cerita, aku minta maaf. Kalau isinya sangat tidak masuk akal, harap maklum. Nikmati aja ya temen-temen
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dochi_19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pria di ujung maut
Maura tinggal bersama Gavin di ruangan itu, sementara yang lain berkeliling sebelum nanti bermain ke lapangan. Safira sendiri mengantar Lisa membeli pakaian golf yang baru.
"Gimana? Kamu suka di sini?"
"Kamu nanya aku?" Sarkas Maura. Pasalnya Gavin belum mengajaknya bicara sejak kejadian itu.
"Memang ada siapa lagi selain kita?"
Maura diam tidak menjawab. Ia sendiri pun bingung dengan semua kejadian hari ini. Di mulai dari Aditya yang mengajaknya ke tempat tak terduga, hingga serangan teman-teman Safira.
"Aku minta maaf soal waktu itu. Aku beneran gak inget, tapi bagi kamu pasti buruk banget, ya. Adit sama Reza udah ngasih tahu detailnya. Adit bilang dia ngajak kamu ke sini buat hiburan. Semoga kamu seneng di sini." Gavin tersenyum canggung.
"Itu penghinaan buat aku, ya? Jangan-jangan sejak awal kalian ngasih aku kerjaan juga untuk situasi memalukan saat ini." Maura tiba-tiba saja berseru keras.
"Hah?" Gavin terkejut. "Tunggu dulu. Aku gak ngerti apa maksud kamu."
"Kalian jelas tahu orang miskin kayak aku mana bisa main golf. Dan lagi, apa kamu gak lihat gimana Lisa sama yang lain ngehina aku? Apa jangan-jangan ini rencana Safira? Jadi ini termasuk ancaman dia juga?" Maura setengah berteriak meluapkan emosinya.
"Aku minta maaf kalau kamu ngerasa gak nyaman. Tapi Safira bukan orang kayak gitu."
"Kamu masih membela Tuan Putri itu? Kamu lihat, kan, gimana kelakuan mereka. Aku pikir kamu berbeda."
"Maura—"
"Mungkin ini sebabnya orang kaya dan miskin itu berbeda." Lisa tiba-tiba datang bersama Safira.
"Lisa!" Gavin memperingatkan.
"Lo pasti marah sekarang, niat pansos, eh, kak Gavin malah udah punya pasangan. Jujur deh, lo pasti lagi kecewa dan marah sama keadaan saat ini."
Maura geram dan hendak menyerang Lisa tapi ditahan oleh Gavin.
"Apa?! Mau main fisik lo?" Teriak Lisa dan hendak menerjang Maura lebih dulu.
Safira langsung menahannya. "Udah, Lisa, jangan main fisik. Mungkin sekarang kak Maura mau pulang."
Wajah Maura sudah memerah akan emosi, tapi tiba-tiba saja ia menyeringai. Maura punya ide. "Oh, ya, aku penasaran. Sudah sejauh apa hubungan kamu sama Gavin?"
Safira melotot, begitu pun Lisa.
"Maura!" Gavin menatapnya penuh ancaman.
Maura tersenyum senang dengan respon Safira, lantas menatap Gavin. "Jangan bilang aku ciuman pertama kamu?"
Safira mematung hingga kehilangan kata-kata.
Gavin buru-buru memeluk Safira. "Enggak sayang, kamu jangan dengerin dia. Kamu gak usah dengerin dia."
"Lancang banget, sih, lo!" Lisa menarik Maura keluar dari sana secepat mungkin.
"Hei, hei, kamu dengerin aku. Itu semua gak bener, yang." Gavin menepuk punggung Safira lalu beralih mengusap air mata yang sudah turun di pipi gadis itu.
Tiba-tiba saja jam tangan Safira berbunyi, dan napasnya sudah mulai pendek-pendek.
Gavin semakin panik. "Hei, tarik napas, sayang."
Safira terjatuh memegangi dadanya. Gavin dengan segera menggendong Safira, membawanya secepat mungkin keluar dari sana. Ia terus bergumam, "Safira, please."
.
.
Gavin menunggu di depan ruangan ICU, di mana dokter Lukman sedang memeriksa keadaan Safira. Ia tidak memberitahu Mamanya, mungkin itu keputusan terbaik saat ini. Sedangkan keluarga Safira pasti akan datang cepat atau lambat.
Gavin segera menyerbu dokter Lukman yang sudah selesai. "Gimana, dok?"
Dokter menghela napas. "Untung kamu cepet ke sini. Hah, kali ini masalah apalagi?"
Gavin menunduk. "Dia harusnya gak ikut acara aneh temennya. Dia gak bakal dengerin hal yang seharusnya bukan masalah serius, tapi–"
Dokter Lukman menepuk pundak Gavin. "Vin, cewek cemburu itu normal. Dan kamu gak bisa cegah fenomena alami kayak gitu. Nasib Safira aja yang kurang bagus, dia harus jatuh cinta sama cowok yang digilai banyak cewek. Wajar 'kan kalau dia sering cemburu?"
Gavin tersenyum masam. Ia sudah menceritakan penyebab kondisi Safira saat kritis yang kemarin. Kalau dokter sudah bercanda seperti sekarang, itu artinya Safira sudah ditangani dengan baik. Ia jadi sedikit lega.
"Makasih, dok."
"Ya, untuk sementara ini aku titip jangan tebar pesona dulu. Paling enggak sampai bulan depan." Suster di belakang dokter Lukman cekikikan mendengar penuturan itu.
Gavin pun mengangguk lantas menuju ruang ICU. Ada seorang perawat di dalam sana yang memberinya pakaian medis lengkap dengan masker. Setelah berpakaian steril ia pun diperbolehkan berada di dalam ruangan yang sama dengan Safira.
Safira masih belum sadar. Gavin memegang tangan kekasihnya.
"Aku tahu, bau ruangan ini lebih menyengat makanya kamu belum mau bangun." Hanya suara alat yang menjawab perkataannya. "Safira, please, jangan hukum aku kaya gini. Aku minta maaf, sayang."
"Kamu harus sehat lagi. Aku belum jelasin semuanya sama kamu."
.
.
"Hai, aku bawain apel buat kamu." Gavin membawa kantong jaring berisi apel.
Safira tidak mengatakan apapun. Sejak siuman dua hari lalu, ia belum berbicara pada Gavin. Ya, hanya pada lelaki itu. Saat Mama Amanda datang, ia berbicara seperti biasa. Begitu pula pada yang lain.
Gavin duduk di sofa sambil mengupas apel. Safira masih menerima apapun yang ia berikan, sebenarnya ia cukup senang akan hal itu. Hanya saja, dengan Safira enggan berbicara padanya berarti gadis itu masih marah. Setelah selesai mengupas, Gavin berpindah duduk di dekat ranjang.
"Sayang, ayo dong. Jangan marah lagi!" Safira bahkan tidak membalas tatapannya. "Kamu ngomong, dong. Jangan bikin aku bingung!"
Safira akhirnya berbalik menatapnya, tapi matanya berkilat marah. "Emangnya kamu ada ngomong jujur sama aku?"
"Aku udah bilang semuanya sama kamu. Apa kamu masih gak percaya?"
"Kenapa harus dia yang ngomong?"
"Aku gak cerita karna takut jadi begini kejadiannya."
"Dulu atau pun sekarang, kejadiannya akan tetap sama. Kamu tahu perasaan aku."
Gavin menunduk. "Ya, aku minta maaf."
"Kak." Safira mengulurkan tangannya yang langsung digenggam Gavin. "Kiss me."
"Safira aku—"
"Please!" Safira menatapnya dengan sorot penuh permohonan.
"Aku mau cium kamu, tapi bukan di situasi sekarang."
.
.
Malam harinya kondisi Safira memburuk. Gavin datang ke rumah sakit setelah mendapat telepon dari Ayahnya Safira. Di sana sudah ada kedua orang tua Safira. Mereka duduk di atas, menatap putrinya akan di operasi di bawah sana. Ruangan ini dikhususkan untuk melihat berlangsungnya operasi di sana.
"Saya gak tahu apa yang sudah kamu perbuat hingga kondisinya jadi gini. Tapi kalau sampai Safira mati... saya pastikan hidup kamu lebih menderita dari kami." Ibu Safira melayangkan ancaman pada Gavin.
Gavin tidak menggubris. "Gimana kondisi Safira sekarang? Siapa yang akan melakukan operasi?"
"Dokter ahlinya sedang dalam perjalanan ke sini. Tapi donornya belum ada." Ayah Safira membeberkan kondisi saat ini.
"A-apa?!" Gavin melirik ke bawah sana. "Di mana dokter Lukman?"
"Dia sedang mencari donornya."
"Aku juga akan ikut mencari." Gavin pun keluar dari sana.
Pertama ia menelpon Reza dan Aditya untuk membantunya. Setelah itu ia juga menelpon beberapa saudara dan relasinya. Ia tidak berharap banyak, mengingat sekarang tengah malam jadi kebanyakan sedang beristirahat dan tidak bisa dihubungi.
Gavin pun kembali ke ruangan sebelumnya sembari menunggu datangnya kabar baik. Satu jam berlalu dan Safira seolah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ia gelisah, berbagai kemungkinan buruk terus menghantui pikirannya. Tanpa diancam pun, ia tidak akan bisa hidup tanpa Safira di dunia-nya. Ini sungguh balasan yang menyakitkan. Safira membalasnya dengan kejam. Tanpa sadar ia menangis dalam diam. Hatinya sakit, melihat pujaan hatinya terbaring di bawah sana. Ia pun menyesal sempat menolak Safira. Ia terus menuturkan do'a pada Tuhan meminta kesembuhan untuk Safira.
Pintu terbuka lalu dokter Lukman masuk.
"Kabar baik, kita dapat pendonornya." Dokter Lukman menyampaikan berita baik tapi wajahnya tidak terlihat senang. "Tapi aku tidak tahu apa Safira bisa bertahan sampai dokter Jose datang."
Gavin menerjang dokter Lukman. "Aku mohon, lakukan sesuatu. Apa pun itu. Aku gak bisa kalau sampai... gimana kalau Safira..."
"Hey, kamu tenang dulu." Dokter Lukman menepuk bahu Gavin. "Aku yakin Safira pasti bisa. Kamu do'akan terus dia."
Kedua orang tua Safira hanya diam melihat Gavin yang terus meracau. Sejak tadi pun hanya Gavin yang paling tidak bisa diam di sana.
.
.
TBC