NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16

Pelajaran berlangsung cukup lama untuk bangkit mengerjakan beberapa tugas berat. Harus dilakukan demi mencapai nilai baik dan menuju peringkat kelas ketika nanti akan mendapatkan buku rapot.

Di depan pandangan perempuan sibuk mencatat tulisan hitam, selalu dihalangi oleh kepala-kepala sang murid yang tidak mau mengalah demi mengisi buku tulisnya.

"Mengesalkan," Suara dikecilkan dan ditekan sembari menancap tinta hitam menuju kertas mengharuskan untuk bergetar.

Akan tetapi anak itu sadar bahwa ia telah melewatkan kata-kata yang dijelaskan melalui guru yang mengajar hanya karena rasa emosi.

Pelajaran berakhir dengan sendirinya setelah bel bergerak mengumandangkan dari kelas menuju kelas lain.

Permukaan papan putih telah dipenuhi aksara-aksara Jawa yang bahkan jika diperhatikan, menurut Gita itu seperti bahasa Alien. Pemahaman perempuan ini belum cukup puas jika hanya mendengar dari mulut-mulut manusia seperti guru.

Anak-anak sekolah berbondong keluar bermain.

Sekiranya terdapat waktu melenggang, sejenak digunakan dari perempuan berkucir rambut untuk melepaskan ikatan yang mengakibatkan sulit berpikir.

"Lega sekali. Mantap." Gita menyeringai, cukup senang akhirnya rambut miliknya seperti dapat bernapas lega dari jeratan tali pengikat.

Disambut satu kantong yang disimpan dalam laci pribadi, menyusul membuka apa saja yang tersisa.

"Banyak juga ya, Git, ternyata." Salma melihat jejeran plastik makanan yang berembun basah.

"Sisa stok hari ini. Bantu aku habiskan, Sal. Jangan hanya aku saja yang gendut, kau harus ikut juga."

Ajakan Gita berhasil menipu keinginan Salma hendak membaca buku. Berhenti sesekali dari kegiatan yang memicu memusingkan otak demi menikmati bersama dengan suasana kelas sebagai alat pemantauan.

Siang merupakan waktu pas sebelum bergantinya pelajaran baru. Sangat lelah dan malas untuk mencari jajanan di luar kelas. Udara panas seperti melelehkan kaki-kaki kami untuk bergerak bebas.

"Apa kali ini Kakakmu tidak akan marah? Baru pertama kali aku lihat kamu membeli jajanan sebanyak ini," pinta Salma menarik tusukan sate dengan memaksa.

"Aku tidak akan memberitahunya. Dan juga semua makanan ini kita habiskan lalu buang di tempat sampah sekolah. Aku sengaja mengajakmu untuk bersama-sama menghabiskan."

Dengan suara ringan sengaja membuat gadis di sampingnya menjadi tenang. Namun dalam diri seorang Gita, ia tetap mengkhawatirkan sesuatu. Khawatir bahwa nantinya saat makan malam bersama, Gita akan menolak ajakan Kakaknya.

Porsi anak itu tidak besar dan itu adalah suatu malapetaka baru. Seperti waktu sarapan nasi goreng, dia tidak berhasil melahap yang terhidang di piring berkaca itu.

Tetapi rasanya tetap tidak masalah selagi makanan yang masuk ke pencernaan ini akan berkurang menjadi energi sebelum jam makan malam tiba.

Berjalan kaki setelah menaiki angkot adalah kunci untuk membuatnya lapar.

Saat makan malam bisa saja perutnya seperti perut karung. Lapar tanpa batas, memakan apa saja yang menurutnya muat.

...***...

Bel sekolah bahkan dapat memotong suara guru dengan kesibukan mengajar secara berlangsung.

Guru matematika adalah salah satunya.

Otomatis para penghuni kelas turut senang karena berhasil menyelesaikan urutan jadwal pelajaran hingga sore memunculkan diri dan bekerja di wilayah ini.

Cahaya kuning yang bertabrakan dengan oranye tidak memasuki kelas kami, hanya singgah menerpa dinding terluar kelas sebagai tanda sudah waktunya para murid segera meninggalkan bangunan lebar.

Gita mengepal tangan, asyik berbahagia karena guru matematika menutup kalimatnya "sampai jumpa di pertemuan selanjutnya. Selamat sore. Silahkan pulang" mengakibatkan rasa senang itu keluar dari perasaan yang terpendam lama.

Telah usai mengalahkan kemalasan untuk mencoba belajar lebih baik, Gita dapat berbangga diri karena melewati rasa malasnya.

Sejak pertama setelah istirahat siang berakhir dan dilanjutkan pelajaran terberat yaitu matematika, Gita menahan sebisa mungkin dari mengantuknya pembelajaran.

Setiap sudut bangunan lebar dengan anak-anak sekolah membawa tas, seakan memikul beban berat orang tuanya yang sudah membiayai hidup mereka.

Terdapat pula anak sekolah yang tidak membawa tas ketika sore hari berlangsung. Sibuk melakukan ekstrakurikuler yang diminati, juga termasuk suatu perbedaan.

Murid sekolah yang cenderung ingin cepat-cepat pulang dan murid sekolah yang berhenti menahan diri demi menikmati apa yang mereka inginkan dalam hidup selain belajar, adalah suatu pilihan.

Mereka menggeluti hobi yang diselenggarakan sekolah dan mereka yang ingin belajar tanpa mengetahui minat bakat mereka, sangat jelas di mata Gita.

Mungkin mereka ingin mencoba mengikuti ekstrakurikuler selain belajar tetapi terkadang orang tua dapat menjadi pemicu untuk melarang anaknya mencari bakat yang diberikan Tuhan.

Mata berat membentuk kantong mata hitam memberikan tanda bahwa mereka selalu dipaksa untuk belajar keras.

Tiada kata lelah bagi mereka yang memiliki orang tua yang memaksakan anak mereka agar selalu menjadi rangking pertama dan itu sangat memuakkan.

Lain seperti Gita. Beruntung dalam hidupnya tidak ditekankan seperti itu. Kakaknya hanya memberikan penekanan agar tidak malas belajar, tidak bolos sekolah karena dia yang membayar pendidikan. Masalah ranking, menurut darinya tidak begitu penting.

Pengamatan murid sekolah di sekeliling mereka berdua berlangsung cukup lama sebelum akhirnya gerbang besar membuka lebar.

Puluhan penunggu motor yang kebanyakan adalah orang tua murid sibuk mengawasi dimana saja anak-anaknya berada. Gerobakan penjual makanan dan minuman asyik menerima pelanggan yang selalu datang menunggu.

Kejelian mata sungguh dilakukan keras, memperhatikan kendaraan yang melewati depan gedung ini.

Kami tidak bisa berbicara karena harus mencermati wajah-wajah manusia yang selalu tertutup oleh anak-anak sekolah yang selalu berlari kemana saja.

"Pamit pulang dulu, Git." Salma menoleh, menjulurkan tangan kepadaku. Ketika gerakan itu sudah terjadi maka tidak salah lagi bahwa Gita akan benar-benar sendiri menunggu.

"Sudah ada yang datang?" Panik bertanya karena ketelitian melihat siapa yang menjemput temannya tak kunjung terlihat.

"Sudah, baru saja mereka tiba."

Dimana?" Gita baru saja menoleh, lingkung ketika jabatan tangan telah berada di hadapannya.

Klakson mobil dibunyikan cepat sebanyak tiga kali. Panggilan menyuruh Salma agar cepat memasuki kendaraan itu karena pada belakang mobil telah menunggu pemotor yang tertahan.

"Sana cepat pulang saja."

"Tapi bagaimana denganmu? Angkot saja belum lewat."

"Kau jangan pikirkan. Urusanku menunggu dan kau telah ditunggu. Pergi saja. Besok senin kita bertemu lagi."

"Baiklah, kamu tunggu di dalam saja, Sal. Cuaca panas, tidak ada kursi disini. Banyak orang menunggu duduk daripada berdiri capek."

Klakson mobil ditekan lama.

"Sana, pergilah. Mereka mengamuk sekarang. Terima kasih kau mencemaskan tetapi kali ini kau yang harus kucemaskan."

Gita mengangguk, mengusir temannya yang berjalan dan berhenti sambil melihat temannya berdiri seorang diri.

Dilakukan beberapa kali karena rasa iba, Salma telah berlari, menghilang karena memasuki mobil hitam polos.

Meneruskan perjalanan menuju depan jalan, menyusul pengendara motor yang sibuk memutar arah bersama penumpang anak sekolahan.

Tidak ada lagi teman yang bisa menemani Gita hingga ia benar-benar sendiri.

Gita berdiri lama. Lelah ditahan, rasa menunggu tiada arti jika harus dikeluarkan menggunakan kata-kata. Sabar mendengarkan teriakan emosi pengendara motor yang mendadak berhenti karena ulah pengendara lain yang menerobos tanpa peringatan.

"WOI!" Teriakan sang lelaki ketika harus menerima motor miliknya tersenggol oleh pengendara lain yang tidak mau meminta maaf.

Menggeleng kepala menjadi bahan ajar sabar selama menonton kelakukan para pengguna jalan.

Hanya Gita yang sanggup berdiri dibandingkan anak-anak sekolah yang berlarian masuk karena ingin menghindari pertikaian maupun bau asap yang memusingkan.

Udara segar bertarung dengan asap-apa hitam menggulung ke udara berkat knalpot kendaraan.

Di balik udara kotor, akhirnya penantian lama Gita tidak sia-sia.

Angkot berhenti tepat di hadapan. Sang supir membuka jendela, mengeluarkan salah satu tangan. "Naik, Neng."

"Oke, Mas."

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!