Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 17
Plak!
"Papah!" desisku tak menyangka.
Sejak kapan tautan tangan kami terlepas? Kutatap jemariku yang telah terurai tanpa sadar, kemudian berpaling pada laki-laki gagah yang berdiri sambil memburu udara. Napasnya tersengal-sengal, bukan karena lelah berlari, tapi karena luapan emosi.
"Aku nikahkan kamu dengan anakku bukan untuk disakiti, tapi untuk disayangi. Aku bersedia menyerahkan anakku padamu untuk dijaga bukan dikhianati. Aku tutup aib keluargamu waktu itu, tapi ini balasan kamu! Kamu sakiti putri yang kujaga dengan cinta, kamu khianati putri yang kubesarkan dengan kasih sayang. Sekarang, ceraikan Shanum malam ini juga! Aku nggak sudi punya menantu yang nggak tahu diri kayak kamu!"
Jedddar!
Seperti suara petir menyambar, lengkingan suara Papah lebih dahsyat terdengar. Aku ternganga melihat apa yang dilakukan Papah, sampai suara lirih isak tangis samar aku dengar dari arah sampingku.
Mamah menangis tergugu, kenapa bukan aku yang berurai air mata? Kenapa justru Mamah yang menangis? Ya Allah! Kulirik kedua mertuaku yang terpana sambil menatap Papah. Mereka belum bereaksi melihat anaknya ditampar begitu keras hingga sudut bibir Raka robek dan berdarah.
"Kalo kamu nggak mau ceraikan anak aku, biar aku yang pergi ke pengadilan buat ngurus semuanya," lanjut Papah masih berapi-api.
"Shanum udah urus semuanya, Pah. Tinggal nunggu jadwal sidang dari pengadilan."
Mamah mertua memekik histeris, Papah berpaling terlihat puas dan setuju dengan apa yang aku lakukan. Aku memang sudah memasukkan berkas ke pengadilan tanpa sepengetahuan siapapun. Untuk persiapan kalau-kalau Raka enggan menjatuhkan talaknya secara lisan.
Sekali lagi aku lihat mimik wajah yang sama dari Raka, ia nampak terkejut. Kupalingkan wajah darinya, enggan bersitatap. Biar dia tahu jika aku tidak sedang main-main. Aku tahu, perceraian dibenci oleh Allah. Akan tetapi, bertahan dalam kesakitan pun tak dibenarkan.
"Sha-shanum ... ka-kamu ...." Tak ada kata yang terlontar dari lisan laki-laki yang menikahiku tujuh bulan lalu itu. Dia nampak gugup, ingin menolak, tapi semua sudah terlanjur.
"Kenapa kamu kayak gini, Nak? Kenapa kamu nggak omongin dulu semua ini sama keluarga? Mamah nggak mau kalian pisah, Mamah nggak mau kalian cerai," jerit Mamah mertua menangis histeris.
Kusapu air mata, tak ingin terlihat lemah di hadapan mereka. Juga tak ingin menambah air mata Mamah yang sudah menganak sungai terlebih dahulu. Biarlah aku yang menjadi kekuatan bagi mereka.
"Aku mendukung apa yang dilakukan putriku. Anak kalian sudah keterlaluan, menyakiti anakku secara lahir dan batin." Suara papah belum surut dan masih berada di atas.
"Tapi Shanum lagi hamil, mereka nggak boleh cerai," rengek Mamah mertua mengiba pada Papah.
"Aku tahu, tapi apa anak kamu sebagai bapaknya peduli sama kandungan Shanum? Apa dia suka nemenin Shanum kontrol? Atau menjaga perasaannya supaya nggak stres, tapi apa yang dibuat anak kamu? Dia malah asik sama mantannya, berduaan, dan apa tadi ... dengan berani dia datang sama Shanum dan meminta hal yang nggak pantas. Apa menurut kamu itu?" cerocos Papah menuding Mamah mertua dengan telunjuknya yang lurus.
Mamah mertua menangis histeris, di sampingnya Papah membantu menenangkan. Mengusap-usap bahu sang istri yang tak terima dengan keputusanku.
"Shanum, apa udah nggak ada kesempatan buat aku memperbaiki semuanya?" Suara Raka kembali terdengar lirih, aku menoleh padanya.
Wajah yang beberapa saat lalu mengeras, kini terlihat melunak dan mengiba padaku.
"Udah banyak kesempatan yang aku kasih, tapi kamu sia-siain, Raka. Kesempatan apa lagi yang kamu mau? Kesempatan semakin nyakitin aku? Maaf, keputusanku udah final. Aku mau ikut pulang sama orang tuaku malam ini juga," jawabku membuat Raka tak mampu membalasnya dengan kata-kata.
"Kalo kamu nggak menjatuhkan talak malam ini, maka tunggu aja di pengadilan nanti."
Mamah mertua semakin histeris, tapi aku mencoba untuk tidak menghiraukan. Aku tak ingin terjerumus ke dalam kubangan yang sama. Bermandikan rasa sakit yang kian hari kian nyata.
"Tapi, Nak, gimana sama anak kalian nanti? Dia pasti butuh bapaknya," tanya Papah mertua yang baru membuka suara.
"Apa kamu nggak denger rekaman tadi? Anak dari mantan pacar anak kamu itu juga butuh bapaknya. Aku pastikan cucuku nggak akan kekurangan kasih sayang walaupun tanpa bapaknya. Aku sebagai ibu yang sudah melahirkan Shanum, merasa sakit hati atas apa yang menimpa anakku." Mamah kembali tergugu setelah menjawab pertanyaan Papah mertua.
"Shanum, percaya sama aku. Itu bukan anak aku, tapi anak Benny. Aku nggak pernah sejauh itu sama Shila, Sha. Tolong, pikirin lagi, Shanum," rengek Raka memelas dengan air matanya.
"Itu secara nggak langsung kamu mengakui perselingkuhan kamu sama Shila, Raka. Walaupun emang nggak sampai jauh, tapi pengkhianatan tetap menyakitkan dan aku nggak bisa terima dikhianati." Aku menegaskan lagi kepada Raka, sekuat apapun dia mengiba keputusanku tidak akan berubah.
"Ayo, pulang! Papah nggak sudi lama-lama di sini!" ajak Papah seraya meraih tanganku dan menariknya lembut.
Aku menurut karena malam ini memang akan ikut pulang bersama mereka. Tanpa mengatakan apapun lagi, kami beranjak.
"Shanum! Shanum! Pah, tolong, Pah! Jangan bawa Shanum! Aku sayang sama dia, Pah!" Raka memohon sambil memegangi kaki Papah.
"Menyingkir!" Papah mengibaskan kakinya dan lanjut membawaku pulang. Bahkan, ia memintaku masuk terlebih dahulu bersama Mamah, sedangkan dirinya membuka bagasi memasukkan koperku setelah aku beritahu.
"Shanum! Jangan pergi, Sha! Kumohon!"
Tak dinyana, Raka mengejar dan memukul-mukul jendela mobil di mana aku duduk bersama Mamah.
"Awas! Anakku berhak mendapat laki-laki yang lebih baik dari kamu!" sengit Papah setelah mendorong tubuh Raka menjauh dari badan mobil.
Ia masuk dan duduk dibalik kemudi, menjalankan mobil dengan cepat.
"Mamah! Raka, cepatan ke sini! Mamah kamu pingsan!" Suara jeritan Papah mertua terdengar panik.
"Biarin aja!" Mamah berbisik sambil mengusap bahuku, ketika aku menoleh padanya.
Dengan sangat jelas aku dapat melihat kesakitan di kedua matanya. Kesakitan yang sama seperti yang aku rasakan.
"Maafin Shanum, Mah." Kulabuhkan diri ke dalam pelukannya. Kutumpahkan air mata dalam hangat dekapannya. Tak lagi menahan laju air mata yang sejak siang tak kuizinkan jatuh.
"Nggak apa-apa, kalo kamu mau nangis, nangis aja. Asal jangan sampai berlarut-larut, kasihan cucu Mamah dia pasti ikut sedih," bisik Mamah sambil menyapu rambutku lembut dan sesekali mencium kepalaku.
Sedewasa apapun aku, di matanya tetaplah seorang anak kecil yang rapuh dan mudah menangis. Hanya malam ini saja. Aku berjanji hanya malam ini air mataku jatuh untuk laki-laki itu. Setelahnya, tak akan ada lagi tangisan karena semua hanya sia-sia.
"Semua ini salah kita, Mah. Kita yang udah maksa Shanum buat nikah sama Raka waktu itu," lirih Papah penuh penyesalan.
Ya Allah!