Aina Cecilia
Seorang gadis yatim piatu yang terpaksa menjual keperawanannya untuk membiayai pengobatan sang nenek yang tengah terbaring di rumah sakit. Tidak ada pilihan lain, hanya itu satu-satunya jalan yang bisa dia tempuh saat ini. Gajinya sebagai penyanyi kafe tidak akan cukup meskipun mengumpulkannya selama bertahun-tahun.
Arhan Airlangga
Duda keren yang ditinggal istrinya karena sebuah penghianatan. Hal itu membuatnya kecanduan bermain perempuan untuk membalaskan sakit hatinya.
Apakah yang terjadi setelahnya.
Jangan lupa mampir ya.
Mohon dukungannya untuk novel receh ini.
Harap maklum jika ada yang salah karena ini novel pertama bagi author.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kopii Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GBTD BAB 17.
Pukul 7 malam, Aina duduk di sisi ranjang sembari menyusui sang buah hati.
Di waktu yang bersamaan, Arhan masuk membawakan makan malam untuk Aina.
Aina terperanjat kaget, dia dengan cepat meraih selimut dan menutupi area dadanya. Dia tidak ingin Arhan melihat bagian tubuhnya lagi.
"Kenapa ditutup?" tanya Arhan, kemudian menaruh nampan yang dia bawa di atas meja.
Aina tampak gelisah, wajahnya memerah menahan malu. Dia masih canggung meskipun Arhan sudah berulang kali melihatnya.
Arhan duduk di sisi ranjang dan melingkarkan tangannya di pinggang Aina. Kemudian melabuhkan kecupan sayang di pipi Aina yang tampak kian comel.
"Kenapa masih malu padaku? Bukankah sebentar lagi kita akan menikah? Semua yang ada di dirimu akan menjadi milikku, begitupun sebaliknya."
Arhan tersenyum sumringah, dia tak berhenti menatap lekat wajah Aina. Wajah yang setiap saat membuat hatinya bergetar tak tentu arah.
"Jangan kepedean! Kapan aku bilang mau menikah denganmu?" ucap Aina dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Aina, apa maksudmu?" tanya Arhan dengan tatapan tajamnya, rahangnya mengerat kuat menuntut penjelasan.
Saat hisapan sang baby sudah terlepas dari ujung dadanya, Aina menutupnya kembali dan bangkit dari duduknya.
Aina menaruh sang baby di dalam box, kemudian memilih duduk di sofa sembari menatap makanan yang tadi Arhan bawakan untuknya.
"Aku lapar, aku mau makan dulu." ucap Aina, dia tak menghiraukan ucapan Arhan sama sekali.
Arhan menggertakkan giginya geram, dia kesal melihat tingkah Aina yang seakan menganggap dirinya tidak ada.
Dia bangkit dari duduknya dan melangkah menghampiri Aina yang tengah asik menikmati makanannya.
"Aina, apa maksud ucapan mu tadi?" tanya Arhan menuntut penjelasan, kemudian duduk di samping Aina.
"Ucapan yang mana?" jawab Aina sembari mengunyah makanan yang memenuhi mulutnya.
"Aina, aku serius. Jangan membuatku marah!" ketus Arhan, dia benar-benar kesal melihat tingkah Aina yang acuh tak acuh begitu saja.
"Kalau mau marah, ya marah saja! Kenapa musti mengatakannya padaku?" ucap Aina, lalu melanjutkan makannya.
Arhan mengusap wajahnya pelan, kemudian menghela nafas dan membuangnya kasar. Dia bingung harus bicara apa lagi kepada Aina.
Setelah makanan di piringnya habis, Aina mengemasi piring kotor dan menaruhnya kembali di atas nampan.
Arhan mengambil nampan itu dan membawanya keluar, wajahnya memerah menahan amarah yang sudah memuncak hingga ubun-ubun nya.
Aina mengulum senyumannya menatap punggung Arhan. Setelah meminum obat, Aina melangkah menuju tempat tidur dan bersandar pada tampuk ranjang.
Arhan kembali ke dalam kamar dan berbaring di samping Aina, dia bergeming menatap wajah Aina yang membuatnya penasaran.
"Aina, kamu benar tidak mau menikah denganku?" tanya Arhan mencari tau.
"Ya begitulah, memangnya kenapa?" jawab Aina, kemudian merebahkan tubuhnya dan berbaring membelakangi Arhan.
Arhan menghela nafas berat, dia sangat kecewa mendengar ucapan Aina itu.
"Mungkin sebaiknya begitu, aku tidak pantas untukmu. Aku pria brengsek, bajingan, mana mungkin kamu mau menikah denganku?"
Arhan ikut membelakangi Aina dan memejamkan matanya perlahan. Hatinya hancur menerima penolakan itu, namun dia tak bisa berbuat apa-apa untuk meyakinkan Aina atas niat baiknya.
………………
Pagi harinya, Arhan bangun lebih awal. Tangisan sang baby membuatnya tak bisa melanjutkan tidur. Arhan bangkit dari pembaringannya dan mengangkat tubuh mungil putranya.
"Aina, bangunlah! Baby kita haus." ucap Arhan sembari mengusap kepala Aina pelan.
Setelah Aina membuka matanya dan duduk, Arhan menaruh putranya di tangan Aina. Kemudian berlalu meninggalkan keduanya, dia masuk ke dalam kamar mandi membersihkan tubuhnya.
Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi, Arhan bergegas mengenakan pakaiannya dan duduk di sisi ranjang.
"Aku sudah memikirkan ucapan mu semalaman, tidak apa-apa kalau kamu tidak bersedia menikah denganku. Aku pantas menerima ini, kesalahanku sangat besar padamu."
"Kamu bisa tinggal di apartemen ini selama yang kamu mau, aku sudah membelinya atas namamu."
"Ini ambillah! Kamu bisa menggunakannya sesuka hatimu."
Arhan memberikan beberapa buah kartu kepada Aina, salah satunya merupakan kartu tanpa limit. Aina bebas menggunakannya untuk apa saja yang dia inginkan.
"Apa ini?" tanya Aina sembari menautkan alisnya.
"Ambil saja! Aku tau semua ini tidak akan bisa menukar rasa sakit mu ulah perbuatan ku. Aku hanya ingin kamu dan baby kita mendapatkan yang terbaik. Itu saja."
Arhan melabuhkan kecupan sayang di kening Aina, lalu menciumi baby mereka bertubi-tubi. Tanpa disadari, air matanya tumpah membasahi pipi merah baby mungil itu.
"Papa sayang kamu Nak, Papa ingin sekali membawamu bertemu Oma sama Opa. Tapi Mamamu tidak memberi Papa kesempatan untuk itu."
"Papa juga tidak bisa mengambil mu dari Mama, Mama lebih berhak menjagamu. Maafkan Papa ya,"
Seketika Aina melotot kan matanya kaget, ucapan Arhan membuat tubuhnya bergetar hebat.
"Apa yang kamu katakan?" tanya Aina dengan tatapan tak biasa.
"Maafkan aku Aina, tolong jaga putra kita dengan baik! Aku yakin kamu bisa menjadikannya pria hebat, jangan biarkan dia menjadi bajingan seperti aku!"
Arhan menyeka air matanya, dia tak sanggup menahan kesedihannya. Dia bangkit dari duduknya dan melangkah menuju pintu.
"Tunggu!" teriak Aina menghentikan langkah Arhan.
Aina menaruh putranya di atas kasur, lalu menyusul Arhan dan berdiri di depan pintu.
"Kamu mau kemana?" tanya Aina sembari menautkan alisnya.
"Menyingkir lah Aina, aku mau lewat!" pinta Arhan dengan mata yang sudah memerah.
"Tidak, jawab dulu pertanyaan ku!" ketus Aina, kemudian mengambil kunci dan menggenggamnya erat.
Arhan mengusap wajahnya kasar, lalu melangkah menuju sofa. Tatapannya tampak kosong menghadap jendela. Dia berusaha meredam emosinya, dia tidak ingin menyakiti Aina dengan sikapnya.
Aina menyusul Arhan dan duduk di sampingnya. Tak terasa air matanya tumpah begitu saja. Mana mungkin dia sanggup membiarkan Arhan pergi untuk yang kedua kalinya.
"Jangan pergi, jangan tinggalkan kami lagi! Putramu membutuhkanmu, aku tidak ingin dia besar tanpa kasih sayang seorang Ayah. Cukup aku saja yang kehilangan kasih sayang dari kedua orang tuaku."
Aina menyandarkan kepalanya di lengan Arhan, air matanya jatuh berderaian membasahi wajah cantiknya.
Arhan tergugu mendengar itu, kemudian menoleh ke arah Aina. Air matanya berjatuhan memandang lekat wajah ibu dari putranya itu.
"Aina, apa maksudmu?" tanya Arhan, lalu menyeka pipi Aina dengan jemarinya.
Aina terisak menahan tangisnya, sulit baginya untuk berkata-kata. Bahkan tarikan nafasnya terdengar semakin berat.
Aina merentangkan tangannya dan melingkarkan nya di dada Arhan. Tangisannya pecah di dada ayah dari putranya itu.
"Jangan tinggalkan kami lagi! Aku tidak sanggup membesarkan putra kita sendirian. Aku membutuhkanmu,"
"Aku mau menikah denganmu, tolong jangan pergi, aku mohon!" isak Aina, dia memeluk Arhan sekuat tenaganya.
Arhan tak sanggup lagi meredam emosinya, tangisannya pecah. Dia mendekap tubuh Aina dan mencium ujung kepala Aina dengan sayang.
"Tidak Aina, aku tidak akan pergi. Aku akan tetap bersama kalian sampai kapanpun, kalian berdua adalah hidupku. Aku tidak ingin kehilangan kalian berdua."
Arhan mengusap kepala Aina dan menciumnya bertubi-tubi. Setelah tangisan keduanya mereda, Arhan mengecup bibir Aina lembut. Hal itu membuat Aina tersenyum dan menguatkan pelukannya.