Di malam ulang tahun suaminya yang ke tiga puluh lima, Zhea datang ke kantor Zavier untuk memberikan kejutan.
Kue di tangan. Senyum di bibir. Cinta memenuhi dadanya.
Tapi saat pintu ruangan itu terbuka perlahan, semua runtuh dalam sekejap mata.
Suaminya ... lelaki yang ia percaya dan ia cintai selama ini, sedang meniduri sekretarisnya sendiri di atas meja kerja.
Kue itu jatuh. Hati Zhea porak-poranda.
Malam itu, Zhea tak hanya kehilangan suami. Tapi kehilangan separuh dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Elara menempelkan kartu akses di depan pintu apartemen milik Zavier. Saat pintu terbuka, ia masuk dengan tergesa. Dan pemandangan yang menyambut matanya adalah kegelapan.
Elara segera menyalakan lampu dan memanggil nama Zavier. Namun hanya hening yang menyapanya. Tak ada jawaban dari kekasih hatinya.
"Zavier ke mana sih?" Dia kembali menekan nomor Zavier sambil membuka kamar utama. "Ihh ... nggak diangkat juga," rungutnya marah. "Dia pergi ke mana dan ada di mana sih?"
Elara masuk ke dalam kamar dan akhirnya menjatuhkan tubuh di ranjang besar milik pacar gelapnya itu . "Apa dia pulang ke rumah orang tuanya, ya?" Elara menyerah, dia tak lagi menghubungi Zavier. "Mungkin dia memang pulang ke sana untuk membujuk tua bangka itu agar tak jadi menurunkan jabatannya."
______
Jam dinding menunjukkan pukul tiga dini hari. Lorong rumah sakit sepi, hanya suara langkah perawat yang sesekali lewat menyapa telinga.
Di kursi tunggu, Arin duduk sambil memeluk Rindu yang kini sudah sadar lagi, wajah keduanya sembap, doa tak henti-henti keluar dari bibir mereka.
Sementara itu Zavier duduk di sudut ruangan, tubuhnya membungkuk, kepala menunduk dalam-dalam. Tangannya berkeringat dingin. Kaki tak berhenti bergoyang.
Setiap detik terasa seperti jarum jam itu menusuk hatinya. Setiap suara membuat jantungnya mencelos.
Karena di balik semua ini ... ia tahu, tangan yang mendorong ayahnya adalah miliknya.
Pintu ruang operasi terbuka perlahan bersamaan dengan lampu di atas pintu ruang operasi yang padam.
Dokter yang tadi keluar dengan wajah sangat letih, masker sudah diturunkan. Dua perawat mengikuti dari belakang.
Wajah dokter itu nampak sendu.
Arin dan Rindu refleks berdiri dengan tubuh gemetar.
Rindu maju, "Dok ... bagaimana operasinya? Berhasil, kan? Suami saya selamat, kan?"
Zavier ikut maju. Jantungnya bertalu menggedor rongga dada.
Dokter menatap Arin, Rindu dan Zavier dengan sorot mata sedih. Ia menghela napas panjang, menunduk sebentar sebelum berbicara. "Kami sudah berusaha sebaik mungkin. Sekuat tenaga dan sebisa kami, tapi ... kondisi Pak Soni tiba-tiba melemah, dan ..." Dokter menjeda ucapan.
Arin menutup mulutnya, sementara Rindu mundur satu langkah sambil menyebut nama suaminya.
Zavier langsung melotot, tubuhnya seakan kehilangan kekuatan.
Dokter melanjutkan penjelasan dengan suara pelan, "Detak jantung Pak Soni sempat kembali sebentar, tapi ... menurun lagi dan tidak merespons resusitasi."
Rindu menggeleng keras, air matanya jatuh tanpa suara. "Terus sekarang bagaimana keadaan suami saya?"
"Iya, Dok. Bagaimana keadaan Papa?"
Dengan sangat hati-hati, dokter berkata. "Kami minta maaf yang sebesar-besarnya ... Pak Soni Dinata telah meninggal dunia sekitar sepuluh menit yang lalu."
Rindu menjerit histeris seketika. "Tidaaak! Mas Soni! Jangan tinggalkan aku ...!" Tubuhnya limbung hingga perawat cepat-cepat memeganginya.
Tangisnya pecah keras ... tangisan seorang istri yang kehilangan separuh jiwanya.
Ia memukul dadanya sendiri, menangis, memanggil-manggil nama lelaki yang telah menemaninya puluhan tahun itu.
Sementara Arin, menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil berjongkok dan memanggil 'Papa ... Papa dan Papa'.
Dan Zavier, dia mematung seperti kehilangan oksigen. Kakinya lemas, wajahnya mengerut penuh rasa bersalah. Ia menyentuh dahi, rambut, tengkuk ... gemetar hebat. "Pa ... Papa nggak boleh pergi. Enggak Pa. Jangan ..." Suaranya pecah, meski yang ia tangisi bukan hanya kehilangan ayahnya. Tapi juga karena kematian itu terjadi akibat ulahnya sendiri.
Ia menatap lantai, air mata menetes deras. "Aku yang menyebabkan Papa tiada. Aku membunuh Papaku sendiri ..." pikiran itu bergema keras di kepalanya. "Maafkan aku, Pa. Maaf ..."
Namun tak ada seorang pun yang tahu.
Hanya dirinya dan rasa bersalah yang siap membunuhnya perlahan.
"Mas Soniii ...!" Rindu jatuh berlutut, menangis sejadi-jadinya. Zavier menghampiri, mencoba menahan tubuh ibunya, tapi kedua tangannya sendiri gemetar tak terkendali.
Pada akhirnya, Rindu tak sadarkan diri lagi.
"Mama ..." Arin meraung, membantu Zavier dan dua perawat mengangkat tubuh Rindu ke atas brangkar untuk dibawa ke ruang tindakan.
Melihat keadaan mama dan adiknya, Zavier memejamkan mata, rahangnya mengeras. Batinnya mencelos lagi. "Mama, Arin ... maafkan aku. Aku sudah menyebabkan Papa tiada, tapi aku tidak sengaja."
Malam itu, tidak hanya Soni yang meninggal. Tapi hati dan hidup Zavier ikut hancur berkeping-keping.
______
Rumah dua lantai itu sunyi. Zhea baru saja keluar dari kamar mandi. Dia sudah mengambil air wudhu untuk melaksanakan salat tahajud.
Saat ia hendak mengambil mukena, ponselnya berdering. Nama yang muncul membuat dahinya mengkerut. "Tumben Arin nelepon jam segini? Ada apa, ya?" Zhea langsung mengangkat telepon itu. "Halo, Rin. Tumben nelepon jam segini. Ada apa, Dek?"
Namun tak ada jawaban langsung. Yang terdengar hanya suara isakan terputus-putus.
Zhea mematung. Jantungnya berdentum. "Rin, ada apa hei? Jangan bikin Kakak cemas! Ada apa?"
Akhirnya Arin bisa bersuara, namun suaranya pecah, sulit dipahami. "Kak Zhea ... Papa, Kak. Papa ..."
Zhea menegang. Tubuhnya langsung bergetar. "Papa kenapa, Rin?"
Arin menangis semakin keras. "Papa ... Papa ... Papa meninggal, Kak ..."
Zhea terhenyak, seketika terdiam. Ponsel di tangannya hampir jatuh. Dadanya mendadak sesak, seperti ada batu besar yang menghantamnya. "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Papa ..." Suaranya tercekat. "Kenapa Papa bisa meninggal, Dek? Padahal tadi pagi ... dia masih sempat video call sama Kakak dan Zheza?"
Arin tersedu hampir tak bisa bernapas. "Papa jatuh di kantor, Kak. Dan mengalami pendarahan. Terus tadi, Papa menjalani operasi, tapi dia tidak selamat."
Zhea menutup mulutnya, lututnya gemetar hebat. Air mata langsung jatuh tanpa bisa ia tahan. "Ya Allah ... Papa, huhu ..." Suaranya pecah tak beraturan.
Meski sedang proses cerai, Soni adalah sosok ayah mertua yang sempurna bagi Zhea. Dia selalu memperlakukan Zhea seperti anak kandungnya sendiri. Seketika, ia melirik boks bayi, di mana anaknya tertidur. "Zheza ... Kakekmu telah tiada, Nak." Zhea membatin getir.
Tak lama, ia mengeluarkan suara lagi setelah mengatur napas dan suaranya yang tumpang tindih dengan air mata. "Kakak akan ke sana sekarang, Rin. Kamu ada di rumah sakit mana?"
Suara Arin terdengar lemah di seberang sana. "Rumah sakit Pusaka, Kak."
Zhea menghapus air matanya sambil gemetar. "Kamu yang kuat, ya. Kakak ke sana sekarang." Saat akan mengakhiri panggilan, Zhea melontarkan satu pertanyaan lagi. "Mama ke mana?"
"Mama pingsan, Kak."
Zhea sudah menduga, ia tak banyak bicara lagi.
Telepon pun terputus.
Begitu panggilan berakhir, Zhea langsung sesenggukkan. Ia memeluk dirinya sendiri, suara tangisnya menggema di kamar itu.
Rasa duka itu menghantam begitu keras. Soni bukan ayahnya, tapi selama ini, Soni memperlakukannya dengan hangat, berbeda dari Zavier yang justru menyakitinya.
Kesedihan itu bercampur rasa kehilangan yang menyayat.
Tanpa menunggu lama, Zhea keluar dari kamarnya, mengetuk pintu kamar sang ibu.
Tak lama, pintu terbuka, sang ibu muncul memakai mukena. "Zhea ... kenapa kamu menangis? Ada apa, Nak?" Zahrani bertanya panik.
"Papa Soni, Ma. Dia ... dia ..." Suara Zhea terpatah-patah.
"Papa mertuamu kenapa?"
"Papa Soni meninggal, Ma."
"A-Apa?!" Zahrani refleks menutup mulutnya. "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un." Dia lalu memeluk Zhea, mengusap punggung anak sulungnya itu.
"Aku mau ke rumah sakit, Ma. Titip Zheza ya. Persediaan susunya ada di kulkas." Zhea melepas pelukan ibunya.
"Iya, Nak. Pergilah. Bangunkan adikmu, biar kamu pergi diantar sama dia."
"Nggak usah, Ma. Aku pergi sendiri saja. Kasihan Rafly, dia pasti capek. Semalam kan habis lembur."
Setelah mendapatkan izin, Zhea pun mengganti pakaian, mengambil kunci mobil dan tas, lalu bergegas pergi.
Sepanjang perjalanan, momen bersama kedua mertuanya berkelebatan. Dari mulai awal pacaran dengan Zavier, sampai hari kemarin, saat dia membongkar perselingkuhan suaminya di hadapan mereka. "Papa orang baik. Aku yakin, Allah pasti memberikan tempat yang baik juga untuk Papa."
_____
Lorong rumah sakit dini hari itu terasa sunyi, hanya ada beberapa lampu remang yang menerangi.
Zhea berjalan cepat, matanya bengkak karena menangis selama perjalanan. Napasnya pendek-pendek, dada sesak.
Ketika ia mendekati ruang jenazah, ia melihat tiga sosok di ujung lorong.
Rindu, duduk di kursi tunggu sambil menangis di pundak Arin.
Dan Zavier, berdiri tak jauh, wajahnya pucat, kosong, seolah seluruh hidupnya tercabut.
Zhea menahan napas, matanya langsung berkaca-kaca lagi.
Arin dan Rindu mendongak karena mendengar suara langkah kaki. Begitu melihat Zhea, keduanya langsung berdiri dengan tubuh gemetar.
"Kak Zhea ..."
"Zhea ... menantuku ..."
Zhea cepat menghampiri dan memeluk ibu mertua serta adik iparnya erat, sangat erat.
Pelukan itu pecah menjadi isak.
"Papa ... Zhea. Papa kamu sudah tiada. Dia meninggalkan kita semua ..." Rindu berucap dalam raungannya.
Arin menangis di bahu Zhea. "Aku udah nggak punya ayah, Kak. Aku jadi anak yatim."
Zhea ikut tersedu, membalas pelukan itu sambil mengusap punggung Arin dan juga Rindu. "Kalian harus kuat. Kita lewati ini sama-sama," suara Zhea bergetar hebat.
Setelah pelukan perlahan mereda, Zhea melepaskan diri dan menoleh ke arah Zavier.
Mereka saling menatap.
Sunyi.
Hening.
Tegang.
Penuh luka.
Zavier terlihat kacau, mata sembap, wajah pucat seolah tak berdarah, tangan gemetar. Tapi di balik itu semua, ada sesuatu yang tak bisa disembunyikan ... rasa bersalah yang begitu besar.
"Aku ... turut berduka, Zavier." Suara Zhea pelan dan tulus, tanpa kemarahan.
Ia mengucapkannya sebagai menantu yang selalu disayang, bukan sebagai istri yang disakiti.
Zavier membuka mulut, tapi tidak keluar suara. Suaranya tercekat. Akhirnya ia hanya berkata pelan, "Terima kasih, Zhea."
Tapi matanya tak bisa menatap Zhea lama-lama. Terlalu banyak rasa bersalah yang menghantui.
Zhea berpaling sejenak ke pintu ruang jenazah yang tertutup.
Sementara Zavier menatap ke lantai, rahangnya mengencang. Rasa bersalah dan penyesalan semakin menyesakkan dadanya.
_____
Rumah keluarga Dinata penuh dengan pelayat. Doa-doa bergema, aroma bunga kamboja memenuhi udara. Zhea, Zahrani dan Rafly duduk di dekat jenazah Soni yang sudah dibungkus kain kafan dan ditutup dengan kain hijau bertuliskan lafaz laa ilaha illallah.
Arin duduk tidak jauh dari mereka, memeluk ibunya yang terus menangis. Sementara itu, Zavier berdiri sendirian di pojok ruangan, tak berani mendekati jenazah ayahnya sendiri. Tatapan keluarga besar menusuknya, sebagian besar tahu Soni stres karena masalah perselingkuhan Zavier dan rumah tangga anaknya itu yang kini di ujung tanduk.
Namun tak ada yang tahu kebenaran paling kelamnya.
Ketika Zavier hendak beranjak dari tempatnya, ponsel di saku celananya berbunyi. Ia merogohnya, lagi-lagi nama Elara memanggil. Dia melangkah menjauh dari ruangan itu, lalu masuk ke laundry room dan mengangkat panggilan dari Elara di sana.
Saat ponsel itu baru menempel ke telinga, suara manja Elara langsung menyambut rungu. Nyerocos tak terkendali. "Kamu ke mana aja, Babe? Kenapa kamu nggak menjawab teleponku dan nggak membalas satu pun pesan yang kukirimkan. Aku khawatir banget tahu, sama kamu!"
Zavier menarik napas panjang. "Papa meninggal, Ela."
Hening.
Suara Elara menghilang sesaat.
"Kamu serius?!" Elara kemudian memekik.
"Iya, Ela."
"Ya Tuhan ... tapi kenapa dia bisa meninggal, bukannya kemarin pagi dia masih sehat dan marah-marah kan sama kita?"
"Ceritanya panjang Ela, nanti aku jelaskan. Sekarang udah dulu ya, aku mau mengantar Papa ke tempat peristirahatan terakhirnya." Tanpa menunggu jawaban dari Elara, Zavier mematikan panggilan itu. Ia kembali ke ruangan tadi.
Jenazah Soni mulai diangkat untuk dibawa ke pemakaman.
Langit pagi itu sangat mendung, seakan ikut berkabung. Angin pagi membawa aroma tanah basah ketika keluarga dan pelayat mulai berkumpul di area pemakaman.
Zhea berdiri di samping Arin dan ibu mertuanya, mengenakan pakaian serba hitam. Wajahnya pucat, matanya masih sembap. Zavier berdiri dekat Rafly. Sedangkan Zahrani tidak ikut karena pulang duluan bersama Zheza.
Petugas pemakaman mengangkat jenazah perlahan. Arin mulai menangis semakin keras, memeluk Rindu yang nyaris pingsan. Zhea menahan napas, emosinya kembali pecah melihat jenazah Soni diturunkan ke liang lahat.
Zavier ikut turun, meraih jenazah sang ayah dengan rasa bersalah yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. "Papa ... maafkan aku. Maafkan aku ..."
Doa dipanjatkan. Suara lantunan ayat-ayat suci terdengar pelan namun menggetarkan dada.
Ketika proses itu selesai, semua keluarga maju untuk menabur bunga. Rindu akhirnya pingsan setelah menciumi nisan suaminya.
Para kerabat pun membawanya masuk ke dalam mobil.
Zavier bersimpuh, memegang nisan sang ayah sambil terus menggaungkan permintaan maaf.
"Papa ... selamat jalan. Semoga Allah menghadiahkan surga untuk Papa," ucap Zhea seraya mengusap nisan ayah mertuanya. Kemudian ia memeluk Arin yang sudah lunglai. "Raf ... ayo bantu Kakak bawa Arin ke dalam mobil."
Rafly mengangguk cepat. Memapah tubuh Arin yang nyaris pingsan seperti ibunya.
Semua orang kini pergi, meninggalkan Zavier sendirian di sisi pusara ayahnya yang masih basah dan berwarna merah.
Setelah bermenit-menit terdiam sambil meratap, satu tepukan mendarat di punggung Zavier.
Lelaki itu sontak menoleh, "Elara ..."
Elara berjongkok di sebelahnya, mengenakan pakaian serba hitam dan kacamata hitam juga. "Mas, aku turut berduka atas meninggalnya Papamu. Kamu yang sabar ya, sayang. Aku akan selalu ada di sisimu." Elara memeluk Zavier dan lelaki itu sesenggukkan dalam pelukan selingkuhannya. "Sudah, ya ... daripada terus bersedih, lebih baik kamu menata masa depanmu. Hidup harus tetap berjalan meski kita kehilangan orang yang kita sayangi. Yuk kita pulang! Kayaknya sebentar lagi mau hujan."
Pada akhirnya, Zavier bangkit. Dia berjalan gontai diapit oleh Elara. Sebelum benar-benar pergi, dia melirik lagi nisan sang ayah, dan berseru dalam hatinya. "Selamat jalan, Pa. Semoga Papa tenang di sana dan mau memaafkan aku."
Di parkiran area pemakaman itu, tinggal mobil Zavier saja yang tersisa. Ia pun masuk ke dalam mobil, diikuti Elara.
Zavier tak langsung menghidupkan mobilnya. Dia masih terdiam kaku. Hingga suara Elara memecah kekakuan itu. "Babe ..." Elara meraih lengan Zavier dan mendekapnya. "Aku udah membuat rincian untuk pernikahan kita minggu depan. Semuanya udah aku catat di buku harianku. Nanti aku akan menunjukkannya ke kamu. Terus besok, aku ingin kamu menemaniku ke butik langgananku. Kita pilih-pilh baju pengan-"
"Cukup Ela!" Zavier memotong ucapan Elara dengan bentakan menggema. Membuat Elara mematung seketika. "Aku baru aja kehilangan Papaku. Dan kamu ... dengan semringahnya membicarakan rencana pernikahan kita. Di mana hati nurani kamu, hah? Di mana rasa empati kamu, Elara?!"
memang cocok mereka berdua sama-sama iblis
gimana yah reaksi zavier kalau lihat El lagi kuda" sama laki laki lain
seperti istrimu yg melihat mu pasti booom like nuklir