NovelToon NovelToon
ISTRI MANDUL JADI IBU ANAK CEO

ISTRI MANDUL JADI IBU ANAK CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Menikah Karena Anak / Pelakor jahat / CEO / Romantis / Ibu Pengganti / Duda
Popularitas:125k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

Selama tiga tahun menikah, Elena mencintai suaminya sepenuh hati, bahkan ketika dunia menuduhnya mandul.

Namun cinta tak cukup bagi seorang pria yang haus akan "keturunan".
Tanpa sepengetahuannya, suaminya diam-diam tidur dengan wanita lain dan berkata akan menikahinya tanpa mau menceraikan Elena.

Tapi takdir membawanya bertemu dengan Hans Morelli, seorang duda, CEO dengan satu anak laki-laki. Pertemuan yang seharusnya singkat, berubah menjadi titik balik hidup Elena. ketika bocah kecil itu memanggil Elena dengan sebutan;

"Mama."

Mampukah Elena lari dari suaminya dan menemukan takdir baru sebagai seorang ibu yang tidak bisa ia dapatkan saat bersama suaminya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 35. KONSEKUENSI

Miss Hannah berdiri beberapa langkah dari Elena, wajahnya gelisah, seakan menahan sesuatu sejak tadi. Ia meremas map berwarna biru di tangannya, lalu membuka suara dengan hati-hati.

"Mrs. Morelli, kami sangat menyesal. Kami tidak menyangka perkelahian ini akan sejauh itu. Mason memang sudah beberapa kali mendapat teguran, tapi-"

"Panggil orang tua Mason," potong Elena lembut, namun tegas. "Sekarang."

Nada itu bukan teriakan, bukan kemarahan impulsif, namun otoritas yang membuat siapa pun ingin menurut. Aura yang terbentuk dari pengalaman panjang berada di dunia bisnis, sosialita, dan keluarga berpengaruh.

Miss Hannah mengangguk cepat. "Baik. Kami sudah menghubungi ibunya, dan mereka sedang dalam perjalanan."

"Bagus." Elena merapikan rambut Theo yang masih berantakan. "Aku ingin berbicara langsung dengan mereka."

Guru itu lalu keluar, meninggalkan Elena dan Theo dalam ruangan yang terasa terlalu kecil untuk menampung emosi sebesar itu.

Elena kembali berlutut agar sejajar dengan Theo. Anak itu sudah berhenti menangis, tapi hidungnya masih merah dan matanya bengkak. Elena mengusap lembut sisa air mata di pipinya.

"Theo dengar Mama tadi?" tanya Elena pelan.

Theo mengangguk, meski tatapannya masih turun ke lantai. "Theo minta maaf, Ma."

Elena langsung menggeleng. "Sayang, lihat Mama."

Perlahan, mata kecil itu kembali bertemu dengan matanya, rapuh, tapi jujur.

"Theo sudah bilang Theo menyesal. Itu hal yang baik," ujar Elena. "Tapi Theo juga harus tahu ... Theo melakukan hal yang benar saat Theo membela temanmu. Theo tahu mana yang baik dan mana yang tidak. Mama bangga akan hal itu."

Theo terdiam,seolah tidak yakin ia pantas mendengar kalimat itu.

"Yang salah adalah cara Theo menanganinya," lanjut Elena pelan. "Theo boleh marah. Theo boleh tidak terima. Tapi memukul bukan jalan keluar. Itu malah menyakitimu, lihat wajah Theo. Sakit, 'kan?"

Refleks, Theo menyentuh pipinya yang memar. Dan meringis kecil.

"Mama tidak mau Theo terluka," suara Elena melembut tajam. "Karena Mama sayang kamu. Dan Papa juga."

Nama Hans membuat Theo mengangguk kecil, ia tahu kalimat itu bukan ancaman, tapi rasa cinta.

"Kalau nanti Papa tanya, Theo siap cerita?" tanya Elena.

Theo menghela napas kecil. "Theo takut Papa marah."

Elena tersenyum tipis. "Papa mungkin akan tegas, tapi bukan karena Papa tidak sayang. Tapi karena Papa ingin Theo tumbuh menjadi laki-laki baik, sopan, dan kuat. Seperti yang selama ini Theo lakukan. Lihatlah Papa, apa pernah Theo melihat Papa memukul orang walau Papa marah. Tidak, 'kan? Papa menyelesaikan masalah dengan cara yang tidak membuat dirinya terluka. Theo akan belajar itu nanti sama Papa, oke."

Theo terdiam, lalu perlahan tersenyum. Senyum kecil, tapi nyata. "Baik, Mama."

Elena mengusap rambut Theo. "My Good Boy. Anak pintar."

Sepuluh menit berlalu dalam keheningan tenang. Elena duduk di kursi, Theo di pangkuannya, melukis garis-garis kecil di punggung tangan Elena dengan jarinya, kebiasaan yang selalu ia lakukan saat merasa tidak aman. Dan Elena membiarkannya, menikmati setiap sentuhannya, karena ia tahu Theo sedang mencari perlindungan.

Ketukan terdengar di pintu.

"Mrs. Morelli," suara Miss Hannah kembali muncul. "Orang tua Mason sudah datang."

Dan seperti saklar yang ditekan, seluruh atmosfer berubah.

Elena berdiri pelan, menurunkan Theo ke lantai. "Stay beside me, Baby."

Theo mengangguk, memegang jari Elena, erat, takut kehilangan.

Pintu terbuka.

Seorang wanita berusia awal empat puluhan masuk, memakai blazer merah marun, tas mahal menggantung di siku, heels tinggi yang terdengar nyaring saat menyentuh lantai. Wanita itu terlihat gugup, tapi berusaha menjaga martabatnya. Di belakangnya, seorang anak laki-laki berdiri; Mason.

Wajah Mason mulus, hanya ada sedikit goresan, jauh lebih minim daripada luka Theo. Rambut pirang pendek, hidung mungil, postur percaya diri khas anak yang terbiasa merasa paling penting dan berkuasa.

Tapi saat tatapan Mason bertemu tatapan Elena, ia menunduk, insting anak tahu mana sosok yang tidak boleh dianggap remeh.

"Mrs. Morelli," ibu Mason mencoba tersenyum, tapi suaranya bergetar. "Saya-"

Elena mengangkat tangan halus, menghentikan kalimat itu. "Nanti."

Suaranya pelan, tapi membuat ruangan hening total.

Ia lalu menunduk, menatap Mason langsung, tanpa meninggikan suara, tanpa ancaman, namun ada sesuatu dalam matanya yang membuat anak itu menelan ludah.

"Mason," panggil Elena pelan. "Apa yang kamu lakukan pada putra saya?"

Anak itu terdiam, menggenggam kausnya gelisah. Ibu Mason menyentuh bahunya, seakan memberi perintah diam-diam.

Mason menunjuk Theo. "Dia duluan yang mukul aku! Theo nakal!"

Theo tersentak. "Tidak! Mason duluan dorong Theo! Mason suka gangguin teman-teman!"

Suara Theo gemetar, tapi berani.

Miss Hannah menutup mata sebentar, seolah ingin berkata: itu benar.

Mason mendengus, "Aku cuma main! Mereka saja yang cengeng! Terus Theo mengancam akan laporin ke guru!"

"Itu bukan ancaman," balas Theo cepat. "Itu benar! Kau nakal!"

"Cukup," Elena menghentikan pertukaran itu, lembut tapi final.

Theo langsung diam. Mason menelan ludah.

Elena mengarahkan tatapannya pada Mason, tatapan yang tidak pernah perlu meninggi untuk memberi peringatan. "Kau boleh bermain. Tapi tidak dengan membuat temanmu menangis. Tidak dengan mendorong orang. Dan tidak dengan berkata jahat."

Mason menggeser kakinya gelisah. "Aku hanya cerita yang aku dengar."

Kalimat itu seperti palu godam menghantam lantai.

Elena membeku. "Cerita apa? Beritahu," perintahnya.

Mason melanjutkan, tanpa sadar ia sedang menusuk luka yang tidak terlihat. "Mama Theo bukan mama sungguhan. Katanya Mama Theo enggak bisa punya anak, jadi kalau tidak bisa punya anak jadi Theo bukan anak Mamanya, dong. Aku hanya hanya mengatakan itu."

Napas Theo tercekat,seperti baru ditampar.

Semua guru yang berada di ruangan spontan menoleh,wajah mereka berubah ngeri, syok, murka.

Ibu Mason langsung memegang lengan putranya, wajah memucat. "Mason! Itu tidak sopan!"

"Dari mana kau dengar itu?" Elena bertanya, tenang, tetapi tatapannya mengiris es.

Mason membuka mulut, tapi ibunya buru-buru menjawab, "Saya minta maaf ... sungguh, saya tidak tahu Mason mendengar hal seperti itu-"

"Pertanyaanku sederhana," Elena memotong halus. "Dari mana mendengar hal itu?"

Keheningan menusuk.

Ibu Mason menatap lantai, suaranya pelan seperti bisikan, "Suami saya bekerja di Wattson Corporation. Rumor itu ... sudah beredar di lingkungan sosialita. Dan Mason ikut mendengar saat saya menghadirinya."

Theo menatap Elena, bingung, terluka, putus asa. Elena ingin memeluknya, menyembunyikannya, melindunginya dari kekejaman dunia dewasa.

Tapi sekarang bukan waktunya untuk rapuh.

Elena mengangkat dagunya, anggun, dominan, berbahaya.

"Jadi, seorang anak enam tahun bisa berkata seperti itu karena orang dewasa tidak tahu bagaimana menjaga mulut," kata Elena.

Ibu Mason berkeringat, panik, malu, ketakutan. "Saya ... saya minta maaf, sungguh. Saya tidak bermaksud-"

"Dan bagaimana rumor itu kembali muncul," Elena melanjutkan, tatapan tajam seperti kaca pecah, "padahal semua sudah dibersihkan oleh suamiku karena rumor hanyalah rumor."

Ibu Mason menutup mata, sebelum akhirnya berbisik, "Mantan mertua Anda."

Bagai petir menyambar dalam ruangan kecil itu.

Miss Hannah menutup mulutnya, terkejut. Para guru saling pandang, mengeras, marah, muak. Karena mereka tahu siapa Elena. Mereka tahu apa yang pernah ia lalui.

Theo menggenggam tangan Elena lebih erat, seakan takut ibunya akan hilang.

Elena tidak bereaksi selama beberapa detik, wajahnya tetap cantik, rapi, anggun. Terlalu tenang.

Dan ketenangan itulah yang menakutkan.

"Baik," ucap Elena akhirnya. "Terima kasih informasinya. Tapi jangan salah paham ... masalah ini tidak selesai hanya karena Anda memberikan informasi ini."

Ibu Mason menelan ludah ... ketakutan semakin jelas.

"Mulai hari ini," Elena menatap langsung ke wanita itu, "nama Mason akan aku coret dari semua daftar rekomendasi sekolah top di Los Angeles. Termasuk jalur penerimaan ke jenjang lebih tinggi."

Wanita itu terbelalak. "Mrs. Morelli, tolong ... itu masa depan anak saya-"

"Mrs. Morelli," Miss Hannah mencoba menengahi, tapi Elena hanya mengangkat tangan, tenang.

"Agar menjadi pelajaran," Elena melanjutkan, "bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi. Dan mendidik anak bukan hanya soal uang ... tapi moral dan etika. Jika itu tidak ditanamkan sejak kecil, maka dunia yang akan menghukumnya."

Mason mulai menangis ... pertama kalinya sejak masuk ruangan. Secara tidak langsung tahu bahwa ia dalam masalah besar.

Namun tidak ada yang merasa kasihan.

Karena hari ini Theo-lah yang terluka, bukan Mason.

Elena mencondongkan tubuh sedikit, suara turun menjadi nada yang lebih dingin. "Dan percayalah ... aku masih sangat baik hati. Jika suamiku tahu tentang ini, aku tidak dapat menjamin keluarga Anda akan tetap berdiri."

Ruangan terasa seperti kehilangan suhu.

Ibu Mason mengangguk cepat, suaranya pecah. "Saya ... saya mengerti. Maafkan kami. Kami benar-benar minta maaf."

Tapi Elena hanya menatapnya; diam, tampak seperti sedang menilai, mengukur, memutuskan seberapa besar ia harus menghancurkan seseorang.

Setelah beberapa detik, ia berdiri tegak kembali. "Keluarkan Mason dari ruangan. Aku ingin berbicara dengan putra saya."

Wanita itu buru-buru menarik Mason keluar, tersedu minta maaf berulang kali sebelum pintu tertutup.

Keheningan kembali memenuhi ruangan, tetapi bukan lagi keheningan yang menegangkan, melainkan lega.

Miss Hannah mendekat. "Mrs. Morelli, kami ... ingin meminta maaf atas nama sekolah. Kami akan menindaklanjuti. Kami juga akan mengatur sesi konseling untuk Mason dan mengawasi lingkungan pertemanan."

Elena mengangguk tipis. "Terima kasih. Aku menghargainya."

Theo menatap ibunya, mata kembali berair. "Mama ... Theo tidak mau Mama sedih."

Dan hati Elena langsung runtuh. Ia berjongkok, memeluk Theo erat, bukan hanya sebagai ibu, tetapi sebagai tempat pulang.

"Mama tidak sedih karena Theo. Mama bangga karena kamu membela orang lain. Itu artinya hatimu baik," kata Elena lembut.

Theo menyeka matanya. "Tapi Theo salah."

"Theo mengakui kesalahan. Itu hal yang paling penting." Elena mengecup keningnya. "Itu bukti Theo anak hebat."

Miss Hannah tersenyum, matanya penuh empati melihat Theo. "Theo, kau tahu semua guru bangga sama Theo hari ini?"

Theo kaget. "Bangga?"

"Theo menolong teman. Theo berani berkata yang benar meski sendirian. Tidak banyak anak seusia Theo bisa melakukan itu,"

Theo tersipu, senyum mungil kembali tumbuh.

Elena berdiri, merapikan seragam Theo yang agak kusut. "Baiklah, sebelum kita pulang, Theo harus melakukan satu hal."

Theo mengangkat kepala. "Apa, Ma?"

"Kita minta maaf pada para guru karena sudah membuat kegaduhan," kata Elena.

Theo tampak ragu. "Walaupun Theo tidak salah?"

Elena tersenyum, lembut, bijak, penuh cinta. "Meminta maaf bukan berarti kamu salah. Itu menunjukkan bahwa kamu sopan, bertanggung jawab, dan menghargai orang lain. Itu yang membedakan laki-laki baik dengan yang tidak."

Mata Theo membesar, mengerti.

Lalu ia mengangguk. "Oke, Mama."

Momen kecil itu, momen sederhana antara ibu dan anak, justru menjadi pelajaran terbesar bagi semua orang di ruangan.

Theo melangkah maju, menunduk sopan. "Maaf ya, Miss. Hannah ... Theo bikin ribut."

Semua guru tersenyum, bukan senyum basa-basi, tapi tulus, hangat, terharu.

"Tidak apa-apa, Theo," jawab Miss Hannah lembut. "Hari ini kau seperti pahlawan kecil."

Theo membeku, lalu senyumnya mekar seperti matahari setelah badai.

Elena menatap putranya dan merasakan dadanya penuh, bukan dengan kebencian, bukan dengan kemarahan, tetapi dengan cinta yang begitu besar hingga menyesakkan.

Setelah semuanya selesai, Elena meraih tangan Theo, mengecup puncak kepalanya, dan berkata, "Ayo pulang, Sayang."

Theo menggenggam tangannya lebih erat.

Dan mereka pun berjalan keluar, bukan sebagai pemenang dalam pertengkaran, tapi sebagai keluarga yang tahu apa artinya bermartabat.

Walau Elena khawatir kalau hans tahu tentang ini, kegilaan apa yang akan dilakukan Hans nanti. Elena berharap Hans tidak membakar rumah keluarga anak bernama Mason itu, atau membuat reputasi keluarganya hancur.

Ya, Elena harap.

1
Maria Lina
skrng up nya 1 1 1 mulu ya thor gk asik lo thor hadeh
Archiemorarty: Kalau gx asik gx usah baca, udah dikasih bacaan gratis lo ngatur. ngasih duit kagak. dari kemarin gue perhatiin lo ngatur aja cil. Readers gua yang lama aja nggak ada yang ribut kayak Lo.

Jangan bilang gue nggak sopan ya, Lo duluan soalnya yang nggak sopan dari kemaren2.
total 1 replies
Jelita S
bntar lagi ketemu si Twin
Archiemorarty: Siap siap perang dunia si Hans sam Elena 🤣
total 1 replies
Miss Typo
semoga lancar persalinan nya, sehat ibu dan bayinya 🤲
Miss Typo: semoga lekas sehat kembali ya thor, semangat 💪
total 2 replies
Nofi Ani
double dong seru.
Asyatun 1
lanjut
Mundri Astuti
ya ampun Hans..getok apa roland biar ngga ngeblank dia
Miss Typo
karna Hans blank, ayo Roland kamu yg gercep bawa ke RS 😁
Miss Typo
aku terharu 🥹😭
Lisa
Syukurlah tidak ada lg dendam dan beban di antara mereka..utk Raven bukalah lembaran baru bersama Zayden & ayahmu..utk Elena sehat terus y sampe HPL'nya nanti..
Arfano Mauza
suka ceritanya👍👍
Archiemorarty: Terima kasih udah baca ceritanya kak 🥰
total 1 replies
Miss Typo
Hans garda terdepan untuk Elena dan anaknya.
tenang Hans Raven dah berubah dah kena karma nya dia 😁
Miss Typo
semoga lancar saat persalinan nanti
Miss Typo
bener mending jual tuh rumah, tinggal bertiga dgn ayah dan bayimu. atau mungkin pindah ke kota lain biar lebih tenang hidup kalian.
bab ini aku terhura 🥹
Asyatun 1
lanjut
LB
karena kamu mandul, memiliki zayden juga bagus, paling tidak kamu tidak masa tuamu tidak sendiri dan kesepian.harap nanti ajarkan anakmu berpendirian teguh dan benar jangan seperti kamu yg mudah dipengaruhi dan seperti ibu kandungnya yang manipulatif.
Archiemorarty: Bener ini 😌
total 1 replies
LB
lega tapi " gelar ayah " yg kau dambakan itu juga hukuman sepanjang hidup.bagaimana tidak, demi gelar itulah hidup mu hancur dan gelar itu disematkan padamu atas darah daging lelaki lain😮‍💨.
mirisnya hidup mu.
Archiemorarty: Benar gelar yg bakal buat dia selalu ingat kesalahan masa lalunya seumur hidup
total 1 replies
LB
akhirnya mereka saling memaki, sama2 bejat sih
Archiemorarty: Tabur tuai itu ada 🙄
total 1 replies
Mundri Astuti
akhirnya bisa berdamai semua❤️
Archiemorarty: Cara terbaik 🥹
total 1 replies
Lisa
Benar Raven jual aj rumah itu lalu tinggal bertiga dgn Papa & debaynya
Mundri Astuti
tenang Hans, jangan galak" kesian raven dah dpt karmanya dia
Archiemorarty: Penjaga Elena mah beda 🤣
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!