Menikah adalah hal yang membahagiakan. Tapi tidak saat aku menikah. Menikah membawaku kedalam jurang kesakitan. Dilukai berkali-kali. Menyaksikan suamiku berganti pasangan setiap hari adalah hal yang lumrah untuk ku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dewi wahyuningsih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Arsen memajukan langkahnya agar lebih dekat dengan Naina. " Tidak kah kau berpikir? kau adalah istriku. Tapi kau memperlakukanku layaknya musuh mu. Entah kau suka atau tidak, aku adalah suamimu. Aku adalah orang yang paling berhak menyetuh mu. Apa kau masih ingin mengelak?
Naina menahan segala gejolak dihatinya. Ada kemarahan yang meronta dan membutuhkan pelampiasan. Tapi, status yang kini ia sandang, membungkam mulut serta hatinya. Diam,... Apalagi sih selain hanya bisa diam? Naina ingin sekali mendorong tubuh lelaki yang kini berdiri dihadapannya sembari menatapnya tajam. Tapi, lagi-lagi tubuhnya tidak mampu melakukan itu.
" Kenapa kau diam? apa kau yang biasanya ketus dan selalu dingin dihadapan ku tidak mampu bereaksi? " Arsen kembali bertanya. Sembari mencengkram dagu Naina.
" Aku hanya berpikir, sudah berapa ratus wanita yang sudah ditiduri oleh suamiku. " Naina mengepalkan tangan kuat. Jika saja di terus diam dan memikirkan statusnya dirumah ini, bukankah hanya akan membuat Arsen melakukan hal sesuka hatinya? lebih baik mati dalam keadaan suci batin Naina.
Arsen semakin kuat menekan cengkramannya. Membuat Naina sedikit mendesis karena merasakan sakit di dagunya. " Itu bukan urusanmu.
Vanya menyunggingkan senyum seolah mengejek. " Kau menjelaskan statusku tapi kau tidak mengerti dengan statusmu.
" Jangan mengajariku! " Arsen melepaskan tangannya dengan kasar. Naina semakin berani. Entah apa yang akan terjadi kepada Ayah dan adiknya. Dia memasrahkan semuanya pada takdir.
" Kau hanya memperjelas statusku untuk tidur denganmu kan? sayangnya, aku tidak sudi tidur dengan laki-laki milik umum.
Arsen kembali menatap Naina penuh kemarahan. " Lancang! jadi kau beranggapan aku ini kotor begitu?! " Dengan cepat, Arsen berjalan dan meraih leher Naina. Menekannya lumayan kuat yang membuat Naina terlihat menahan sakit.
Bukanya takut, Naina malah tertawa sinis. " Jangan ragu, cepat habisi aku. Lebih baik aku mati dalam keadaan bersih.
Arsen langsung menghempaskan tubuh Naina hingga terjerambah ke lantai. " Kau pikir aku seorang pembunuh? " Arsen tersenyum jahat. " Mari kita lihat. Seperti apa pembunuh yang sebenarnya. Aku akan membunuhmu secara perlahan. Menyiksamu hingga kau sendiri yang akan mengakhiri hidupmu.
Naina memegangi lehernya sembari terus mengatur nafasnya. Arsen kembali mendekati Naina. Menarik tangannya. Memaksa Naina mengikuti langkahnya.
Dan, bruk.....! tubuh Naina dihempaskan ke tempat tidur.
" Ini adalah metode penyiksaan dariku. Ini pasti akan menyakiti fisik dan hatimu. Tapi percayalah, ini adalah siksaan yang paling ringan. Di lain waktu, akan ada penyiksaan yang lebih menyakitkan.
Arsen mencengkram dagu Naina. Menciumnya dengan paksa. Naina sudah mencoba untuk meronta dan melepaskan diri. Tapi tenaganya benar-benar jauh dari Arsen. Arsen menekan kedua tangan Naina dengan satu tangannya. Hingga beberapa saat, Naina sudah tak mengenakan sehelai benangpun ditubuhnya. Menangis dan menangis. Itulah yang bisa Naina lakukan saat ini.
Arsen membuka kancing baju dengan sebelah tangannya. Membuka gesper dan menurunkan resletingnya. Tanpa membuka celana panjangnya, Arsen merebut paksa kesucian Naina. Entah sudah berapa banyak makian yang ia dapatkan dari mulut Naina. Arsen benar-benar tidak perduli. Baginya, kemarahan yang ia rasakan saat ini, lebih penting dari pada memikirkan bagaimana perasaan Naina nantinya.
Saat pagi tiba. Naina membuka mata perlahan. Rasanya, membuka mata saja sangat berat. Perlahan, Naina bangkit dari posisi nya dan duduk. Tak terasa air mata jatuh membasahi pipinya. Matanya menatap tubuh bagian atas yang polos tanpa busana karena selimut yang tadinya digunakan untuk menutupi tubuhnya melorot hingga ke bagian perut.
" Brengsek! " Umpat Naina sembari terus mengingat apa yang terjadi semalam. Betapa kasarnya Arsen terhadapnya. Untung saja Arsen sudah tidak ada disana. Entah kapan Arsen beranjak meninggalkan Naina dalam keadaan seperti itu.
***
" Tuan, jadwal pagi ini anda tidak lupa kan? " Ucap Tomi mengingatkan. Pasalnya, sedari tadi Tuannya hanya diam tak berkata apapun.
" Hem..." Tanggap Arsen singkat. Arsen kembali menghela nafasnya. Mengingat kembali apa yang telah ia lakukan semalam. Ada rasa iba dihatinya saat meninggalkan Naina begitu saja. Tapi karena rasa marah yang menguasai hatinya, Arsen mencoba untuk tidak memperdulikannya lagi.
" Tuan apa anda baik-baik saja? " Tomi merasa ada yang aneh dengan Tuannya. Sedari tadi hanya terdiam tak bergeming. Hanya helaan nafas yang sesekali terdengar di telinganya.
Baik? apa aku baik-baik saja? aku berhasil memberikan pelajaran pada Naina. Tapi kenapa? kenapa justru hatiku yang terasa sakit.
" Jangan terus bertanya. Aku bosan mendengarnya. " Ketus Arsen yang merasa terpojok dan bingung harus menjawab apa.
Tuan, saya berharap, semoga anda tidak melakukan kesalahan semalam.
Naina berjalan menuju kamar mandi dengan menahan sakit dan perih di area sensitifnya. Air mata juga ikut mengiringi langkahnya. Entah harus seberapa banyak dan seberapa besar kesedihan serta kekecewaan yang kini bersarang dihatinya.
Setelah selesai, Naina menghubungi Oky untuk sekedar menghilangkan dukanya. Maklum saja, Oky adalah satu-satunya orang yang bisa ia percaya untuk berbagi suka terlebih dukanya.
' Nai? ' Suara Oky setelah sambungan telepon terhubung.
' Oky kau ada dimana? ' Tanya Naina sembari menahan sakitnya.
' Aku ada dirumah. Ada apa? apa kau baik-baik saja?
' Bisa jemput aku?
' Dimana?
' Di mansion jalan XX
Hening sesaat....
' Ky?
' Nai, apa kau yakin ada di alamat itu?
' Iya.
' Baiklah.....
' Baik. Aku menunggumu. Sampai jumpa.
Setelah satu setengah jam berlalu Naina menuggu. Oky menghubungi Naina untuk memberi tahu. Dengan langkah cepat, Naina berjalan untuk menghampiri.
Langkah yang terus melaju, begitu juga air mata Naina. Seakan hilang kendali dan tak sabar ingin menumpahkan rasa sedihnya melalui curhat. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya lolos membasahi pipinya.
Naina terus melangkah tak menghiraukan para pelayan yang menyapa. Bahkan penjaga pintu gerbang bertanya pun Naina tak menggubrisnya. Tentu saja mereka semua ingin tahu. Kenapa majikanya itu menangis. Tidak biasanya batin mereka.
Naina menghentikan langkahnya saat melihat sosok yang kini berdiri didepan mobil sembari menatapnya bingung.
" Naina? " Raka menatap Naina dengan tatapan bingung. Bagaimana bisa Naina berada di tempat yang terbilang elit ini? dan kenapa Naina menangis?
Raka dengan cepat melangkahkan kaki dan langsung memeluknya. " Apa yang terjadi? kenapa kau menangis?
Entah dari mana perasaan nyaman itu timbul. Naina memeluk Raka erat lalu mengencangkan suara tangisannya.
Raka mengelus kepala Naina pelan. Ingin sekali langsung bertanya pada Naina dan mendesaknya untuk bicara. Tapi Raka yakin. Saat ini, yang dibutuhkan Naina adalah tempat untuk menumpahkan kesedihannya.
Setelah beberapa saat. Tangisan Naina mulai mereda. Raka membawanya masuk kedalam mobil. Dia melajukan mobilnya begitu Naina sudah berada di posisi siap. Tiga puluh menit berlalu. Kini Naina dan Raka berada di sebuah kebun bunga milik keluarga Raka.
" Nai, kau baik-baik saja? " Tanya Raka yang sudah sangat penasaran dengan apa yang terjadi. Maklum saja, dia sudah menahan diri untuk bertanya dari tadi.
" Tidak. Aku sangat tidak baik-baik saja. " Jawab Naina sembari menatap bunga-bunga dengan tatapan sendu.
" Kenapa?
Naina menatap Raka yang juga kini menatapnya. " Raka, aku sangat tidak baik-baik saja. " Naina kembali meneteskan air mata.
" Sekarang kau baik-baik saja. " Raka kembali memeluk Naina.
" Apa yang membuatmu tidak baik-baik saja. Katakan padaku. Karatan saja agar beban di hatimu sedikit berkurang.
" Apa kau akan mempercayaiku?
" Aku selalu mempercayaimu. Dulu, sekarang, dan seterusnya.
" Raka, aku sudah menikah.
........................