Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.
Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.
Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.
Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.
Dan Aira bahkan tidak tahu…
Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16 — Perjalanan yang Menyiksa
Perjalanan dari Kota Arganata menuju desa terpencil tempat tinggal Ibu Aira adalah kontras yang brutal. Alih-alih menggunakan mobil mewah yang menarik perhatian, Dion memilih mobil SUV hitam dengan kaca gelap yang nyaris tak tertembus, disopiri oleh salah satu pengawal kepercayaannya, Kai, yang juga bertindak sebagai mata-matanya.
Di kursi belakang, suasananya adalah neraka yang beku. Arvan, yang masih demam ringan dan lesu, tidur pulas di pangkuan Aira. Kehadiran putranya adalah satu-satunya hal yang mencegah Aira dan Dion meledakkan kemarahan mereka.
Dion duduk di sebelah Aira. Ia tidak membaca dokumen, tidak menelepon. Ia hanya ada, keberadaannya yang tenang namun kuat menghimpit Aira.
Aira menatap ke luar jendela, pikirannya kalut. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan kehadiran Dion kepada Ibunya. Ibunya tahu kontrak pernikahan ini, tetapi ia tidak pernah bertemu Dion.
“Kau yakin Ibu-mu tidak akan curiga?” tanya Dion, suaranya pelan, memecah keheningan yang panjang.
Aira tidak menoleh. “Dia pasti curiga. Tapi saya akan bilang Anda adalah… rekan kerja yang kebetulan sedang berlibur dan ikut untuk memastikan saya aman.”
“Rekan kerja?” Dion mendengus. “Pria sepertiku melakukan perjalanan delapan jam ke desa terpencil hanya untuk memastikan seorang rekan kerja aman? Itu adalah kebohongan yang lebih buruk dari pernikahan kontrak kita.”
“Lalu apa yang harus saya katakan?” tanya Aira, suaranya mengandung tantangan. “Haruskah saya bilang Anda adalah suami saya yang kejam, yang datang untuk mengklaim anak Anda?”
Dion terdiam. Ia menoleh, melihat profil Aira yang lelah dan pucat.
“Katakan saja aku adalah suamimu,” kata Dion, akhirnya. “Aku adalah suami kontrakmu. Tidak perlu detail. Jika ada yang bertanya, katakan aku sedang menjalankan proyek rahasia di daerah itu. Itu lebih masuk akal daripada ‘rekan kerja.’”
Aira terkejut. Dion bersedia mengakui statusnya sebagai suaminya, meskipun itu hanya untuk memuluskan kebohongan mereka.
“Kenapa?” tanya Aira. “Anda selalu menjaga jarak dari kontrak ini.”
“Karena aku tidak ingin anakku mendengar cerita aneh,” jawab Dion, tegas. “Dia sudah mendengarmu menyebutku ‘Tuan Dion’ terlalu lama. Dia harus tahu aku adalah sosok dominan di hidupmu. Itu saja.”
Itu adalah jawaban yang kejam, tetapi Aira tahu itu adalah pengakuan samar tentang perannya.
Perjalanan berlanjut. Setelah melewati jalan tol, mobil memasuki jalanan provinsi yang berkelok-kelok. Hujan deras mulai turun, membatasi jarak pandang dan memaksa Kai untuk memperlambat laju mobil.
Arvan tersentak dari tidurnya, batuk pelan.
“Mama…” Arvan merengek.
“Ya, Sayang, Mama di sini,” Aira memeluknya erat. “Mau minum?”
Dion segera meraih botol air mineral dari console di antara kursi. Ia membuka tutupnya, dan tanpa mengucapkan sepatah kata, ia menyerahkannya kepada Aira.
Aira mengambil botol itu, mata mereka bertemu sejenak. Mata Dion menunjukkan kekhawatiran yang tersembunyi, yang tidak bisa ia sembunyikan lagi.
Setelah Arvan minum dan kembali tidur, Dion berbicara lagi.
“Dia akan baik-baik saja,” kata Dion, suaranya meyakinkan, sebuah pernyataan yang hampir terasa seperti sebuah janji.
“Saya harap begitu,” jawab Aira, kelelahan merayap ke dalam suaranya.
“Kau terlihat sangat lelah,” ujar Dion. “Kau tidak perlu berpura-pura di depanku, Aira. Aku tahu kau tidak tidur nyenyak akhir-akhir ini.”
Aira mendongak. “Bagaimana saya bisa tidur nyenyak? Saya tidur di sebelah pria yang akan merampas putra saya. Pria yang membuat saya membayar kebohongan saya setiap malam.”
Kata-kata Aira menusuk Dion. Ia merasakan sakit yang aneh, bukan hanya kemarahan, tetapi penyesalan.
“Aku tahu aku kejam,” kata Dion, mengakui. “Tapi kau yang memulainya. Kau yang menciptakan skema ini. Kau harus menanggung konsekuensinya.”
“Konsekuensinya adalah Arvan adalah putra Anda,” balas Aira. “Tolong, jangan membuatnya menjadi korban dari pertengkaran kita.”
Dion menghela napas. Ia memejamkan mata. “Aku tidak akan melukai anakku,” janjinya. “Tapi kau harus berjanji padaku, Aira. Setelah dia sembuh, kau tidak akan lari. Kau akan kembali ke penthouse.”
“Dan terus menjadi sandera Anda?” tanya Aira.
“Kau adalah istriku,” koreksi Dion. “Dan Ibu dari anakku. Peranmu telah berubah. Kau tidak lagi sandera. Kau adalah milikku. Kau adalah bagian dari fondasi yang aku butuhkan untuk anak itu.”
Aira tidak bisa menjawab. Ia tahu, dengan pengakuan ini, Dion telah mengklaim kepemilikan mutlak.
Hujan semakin deras, dan Kai memutuskan untuk berhenti di rest area yang sepi, jauh dari keramaian kota.
“Tuan, jarak pandang terlalu rendah. Kita istirahat sebentar. Saya akan membeli kopi,” lapor Kai, sebelum keluar dari mobil.
Di dalam mobil yang sunyi, suasana menjadi lebih intens. Arvan masih tidur. Aira dan Dion kini terperangkap dalam keintiman yang dipaksakan.
Udara di dalam mobil terasa dingin karena AC yang masih menyala. Aira menggigil pelan.
Dion melihatnya. Tanpa kata, ia meraih selimut dari tasnya dan meletakkannya dengan lembut di atas Arvan dan Aira.
“Kau akan sakit juga,” kata Dion. “Jaga dirimu. Arvan membutuhkanmu.”
Aira menatap selimut tebal itu. Tindakan kecil ini, perawatan yang tidak disengaja ini, hampir meluluhkan pertahanannya. Itu mengingatkannya pada malam di dapur, saat Dion merawat jarinya.
“Dion,” Aira memanggilnya, menggunakan namanya untuk pertama kali sejak konfrontasi mereka.
Dion menoleh, suaranya menahan emosi. “Ya.”
“Malam itu,” Aira berbisik. “Malam empat tahun lalu. Apakah Anda benar-benar tidak mengingat apa-apa tentang saya?”
Dion menatap lurus ke mata Aira. “Aku hanya mengingat sensasi. Aku ingat kehangatan dan kejujuran yang menenangkan. Aku ingat perasaan bahwa aku akhirnya bisa bernapas. Aku tidak ingat wajahmu, atau namamu. Aku hanya mengingat rasa itu.”
Pengakuan Dion ini menyakitkan dan jujur.
“Saya bukan sensasi, Dion,” kata Aira, air mata menggenang di matanya. “Saya adalah wanita yang mencintai Anda. Wanita yang mencintai Anda karena Anda tulus malam itu, sebelum Anda menjadi tiran ini.”
Dion mengulurkan tangan, tangannya yang besar dan hangat menyentuh pipi Aira, menghapus air mata itu. Sentuhan itu lembut, sangat berbeda dari sentuhan tuntutan yang ia berikan di kamar tidur.
“Tiran ini adalah aku, Aira,” balas Dion. “Aku tidak tahu bagaimana menjadi pria yang tulus. Aku hanya tahu bagaimana menjadi pemenang. Dan sekarang, aku ingin memenangkanmu kembali.”
Wajah Dion mendekat. Napas mereka menyatu. Di luar, hujan menderu. Di dalam, gairah dan penyesalan bergolak. Dion mendekatkan bibirnya ke bibir Aira, sebuah ciuman yang dipenuhi permintaan maaf dan klaim kepemilikan.
Aira memejamkan mata. Ia ingin menyerah. Ia ingin kembali ke malam di mana Dion adalah pria yang polos dan tulus.
Namun, ia merasakan Arvan bergerak dalam pelukannya. Tubuh mungil putranya, yang kini sakit karena ulah mereka, mengingatkan Aira akan konsekuensi dari keintiman ini.
Aira memalingkan wajahnya dengan berat hati, menolak ciuman itu.
Dion berhenti, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Aira. Kekalahan itu terlihat jelas di matanya.
“Aku tidak bisa, Dion,” bisik Aira, air mata membanjiri pipinya. “Saya tidak bisa menerima kehangatan Anda ketika saya tahu itu hanya hukuman yang akan Anda tarik kembali kapan saja.”
Dion menarik dirinya. Ia kembali ke sudutnya, menyilangkan tangan, dan melihat ke luar jendela yang buram karena hujan. Wajahnya kembali menjadi batu, lebih dingin dari sebelumnya.
“Baik, Aira,” kata Dion, suaranya kembali tanpa emosi. “Kau ingin aku menjadi tiran? Aku akan menjadi tiran. Tapi ingat ini: perjalanan ini hanya permulaan. Begitu kita tiba di sana, kau tidak akan punya tempat untuk bersembunyi. Tidak ada lagi kebohongan.”
Dion telah dikalahkan oleh penolakan Aira, tetapi kini ia telah dikuatkan oleh tekad baru: ia akan mendapatkan segalanya.
semoga cepet up lagi