Anyelir Almera Galenka, tapi sudah sejak setahun yang lalu dia meninggalkan nama belakangnya. Wanita bertubuh tinggi dengan pinggang ramping yang kini tengah hamil 5 bulan itu rela menutupi identitasnya demi menikah dengan pria pujaan hatinya.
Gilang Pradipa seorang pria dari kalangan biasa, kakak tingkatnya waktu kuliah di kampus yang sama.
"Gilang, kapan kamu menikahi sahabatku. Katanya dia juga sedang hamil." Ucapan Kakaknya membuat Gilang melotot.
"Hussttt... Jangan bicara di sini."
"Kenapa kamu takut istrimu tahu? Bukankah itu akan lebih bagus, kalian tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi untuk menutupi hubungan kalian. Aku tidak mau ya, kamu hanya mempermainkan perasaan Zemira Adele. Kamu tahu, dia adalah perempuan terhormat yang punya keluarga terpandang. Jangan sampai orang tahu jika dia hamil di luar nikah."
Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang mendengar semua pembicaraan itu.
"Baiklah, aku akan ikuti permainan kalian. Kita lihat siapa pemenangnya."
UPDATE SETIAP HARI.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erchapram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Busuk Gina
Suara tetesan infus menjadi irama di ruangan serba putih itu. Gina masih tergolek lemah dengan kedua mata yang terpejam rapat. Hembusan nafas teratur, menandakan wanita itu masih pingsan atau tertidur.
"Gina... Kamu membuat masalah sendiri. Maaf, tapi aku tidak bisa menjagamu lebih lama. Karena ada hati yang harus aku jaga." Usai berbicara pada diri sendiri, Jeremy pergi meninggalkan ruang Gina. Tak lupa mantan kekasih Gina itu sudah membayar uang muka untuk biaya rawat inap Gina. Tapi tentu saja, Jeremy tidak memberi informasi tentang siapa dirinya. Jeremy hanya berbicara jika dia tidak sengaja menemukan Gina yang sedang jatuh pingsan di jalanan.
Sebelum benar-benar keluar ruangan, Jeremy mengambil ponsel milik Gina. Kemudian memeriksa daftar kontak, lalu memblokir nomernya sendiri dan menghapusnya. Jeremy juga menghapus seluruh galery yang ada foto atau videonya. Bahkan email pun Jeremy periksa, lalu menghapus data dan jejaknya. Jeremy benar-benar tidak ingin berhubungan lagi dengan mantannya itu.
Patah hati, rasa sakit, kecewa dan terluka telah mengajarkan Jeremy menjadi pria yang lebih baik. Terlebih calon istri pilihan Ibunya adalah wanita baik-baik meskipun sudah dia gagah i juga. Ya, Jeremy sudah mengambil keperawanan Jasmine sejak mereka menjalin pertunangan. Kurang lebih satu bulan yang lalu di sebuah rumah mewah.
Jasmine bukan dari keluarga biasa. Selain punya salon dia juga aktif sebagai sosialita dan selebgram. Ibu Jeremy adalah sahabat lama Mamanya Jasmine, meskipun dari keluarga berada tapi mereka sungguh menginginkan Jeremy sebagai suami untuk Jasmine. Dan demi nama baik Ibunya yang memohon supaya menerima perjodohan, Jeremy berjanji menjadi pria baik.
Beberapa menit setelah Jeremy pergi, Gina mulai membuka kedua matanya. Bau antiseptik menyengat memasuki hidungnya. Gina menatap sekeliling, tahu jika dirinya ada di Rumah Sakit.
Ingatanya kembali saat jatuh pingsan di halaman rumah kontrakan Jeremy. Gina tersenyum, dia yakin Jeremy yang membawanya ke Rumah Sakit. Artinya Jeremy masih perhatian dengannya.
"Lalu di mana Jeremy? Kenapa aku tidak melihatnya di sini?" Perasaan Gina yang tadi mulai membaik, kini kembali seperti semula. Sakit, terluka dan kecewa dengan keputusan sepihak pria yang dicintainya.
"Jeremy...?" Tangis Gina seketika pecah. Di saat itu seorang Dokter datang untuk memeriksa kembali kondisinya.
"Ibu Gina, Anda sudah bangun."
"Dokter siapa yang membawa saya ke Rumah Sakit, di mana dia sekarang?" Tanya Gina penasaran.
"Seorang pria datang mengatakan menemukan Anda di jalanan sedang pingsan. Tapi usai membayar uang muka, pria itu sudah pergi tanpa meninggalkan kontak untuk dihubungi kembali. Apa ada keluarga yang hendak Anda minta datang?" Tanya Dokter.
"Iya, nanti saya hubungi sendiri. Sebenarnya saya sakit apa Dokter. Kenapa tiba-tiba kepala saya saat itu berputar-putar dan pandangan gelap." Tanya Gina beruntun.
"Selamat Ibu Gina, Anda saat ini sedang mengandung. Gejala yang Anda sebutkan tadi adalah gejala wajar wanita hamil muda. Untuk lebih jelasnya, berapa usia kehamilan..."
"Sebaiknya Anda langsung memeriksakan diri ke poli kandungan. Saya bisa memberikan rujukan, jika suami Anda sudah datang ke Rumah Sakit."
Deg
"Aku hamil?" Wajah Gina seketika pucat pasi. Baru tadi Gilang mengingatkannya, dan sekarang kejadian.
"Bagaimana ini? Apa Rayan mau menerima? Kalau begitu, aku harus menjebak Rayan supaya tidur denganku."
"Setelah itu, aku tinggal ngaku saja jika aku hamil anaknya. Dengan begitu, aku tidak perlu merasa malu. Dan rahasia ini tetap tertutup rapat." Gumam Gina. Tidak sadar jika Dokter memperhatikan.
"Kalau begitu, saya permisi dulu. Segera hubungi suami Anda, Bu Gina. Supaya Anda bisa mendapatkan penanganan yang tepat." Ucap Dokter.
Setelah dokter pergi, Gina terdiam. Dia sedang berfikir sebuah rencana.
"Lebih baik aku pulang saja, siapa yang akan melunasi tagihan Rumah Sakit kalau aku lama tidur di sini. Lagian aku sudah tidak lemas." Gumam Gina.
Dengan perlahan, Gina mencabut selang infus yang menancap di tangannya. Mengambil tas, dan keluar ruangan.
Sekitar pukul 8 malam, Gina sampai rumah milik Anye tentunya. Tapi sepi, entah ke mana semua orang. Gina tidak peduli.
"Aku akan coba telepon Rayan. Siapa tahu dia mau angkat."
Tut
Tut
Tut
"Sialan, ke mana sih itu orang. Punya suami gak jelas banget." Gerutunya.
"Kenapa juga aku harus hamil."
Gina mondar mandi di kamarnya, mau merencanakan sesuatu butuh biaya. Sedangkan semua kartu masih diblokir. Gina bingung sekarang harus apa?
Tut
Tut
Tut
"Gilang, kamu dan Mama pergi ke mana jam segini belum pulang?" Tanya Gina lewat sambungan telepon adiknya.
"Aku ke tempat lokasi pernikahanku dengan Zemi." Jawab singkat Gilang.
"Sialan, semua orang sedang senang-senang. Aku sekarang merana sendirian. Apa aku gugurkan saja kandunganku, atau sesuai rencana awal aku jebak Rayan supaya mau tidur denganku. Setelah itu tinggal ngaku hamil. Benar seperti itu saja. Aku butuh obat perang sang. Tapi di mana aku bisa mendapatkannya dengan gratis." Monolog Gina.
Waktu terus berganti, hampir 2 minggu Arrayan pergi dari rumah yang dia tempati bersama istrinya. Hari ini Arrayan pulang, tapi tetap sama seperti kebiasaan lamanya. Tidak ada senyum atau tegur sapa terhadap seluruh keluarga Gina. Hanya sekilas dia menatap Anye, selama 14 hari Arrayan dan Anye kerap bertukar pesan singkat.
"Arrayan, kamu ke mana saja? Kamu itu punya istri, kenapa pergi tidak pamit dengan Gina." Ucap Mama Ambar setengah dongkol.
"Apa itu perlu? Bahkan aku sama sekali tidak merasa punya istri. Gina pun bebas pergi kapan saja tanpa pernah pamit. Jadi jangan menuntut sesuatu yang tidak pantas untuk diperdebatkan lagi."
"Aku capek mau istirahat." Ucap Arrayan melangkah menuju kamar tamu.
"Tidur saja di lantai, adik iparmu ini belum beli perabot baru. Kami saja sudah seminggu tidur di sofa ruang keluarga." Teriak Mama Ambar semakin dongkol.
"Sudahlah Ma, gak perlu teriak-teriak capek. Anye, mana perabot yang kamu janjikan?" Tanya Gina.
"Sudah Mbak, sudah aku pesan 7 hari lagi katanya diantar. Karena aku mendesain sendiri modelnya. Jadi toko furniture itu mengikuti sesuai pesanan. Tapi butuh waktu." Jawab Anye santai tanpa emosi.
"Anye, kenapa waktu itu apartemen disita oleh tim audit keuangan?" Tanya Gilang menatap lekat istrinya.
"Loh kok bisa, apartemen siapa?"
"Maksudnya, kamu tidak memberi perintah..."
"Tentu saja bukan, bahkan aku tidak tahu jika ada apartemen yang dibeli dari uang perusahaan. Berarti tim audit yang aku sewa sangat detail dalam bekerja. Nanti aku tanya, apartemen milik siapa yang mereka ambil paksa. Bukan milik kami kan Mas? Atau kamu yang mengambil uangku?"
"Oh ya Mas Gilang, ikut aku ke ruang kerja ya. Ada berkas pemindahan aset dan serah terima jabatan yang harus kamu tanda tangani." Ucap Anye.
Mendengar itu Gilang dan Mama Ambar tersenyum lebar karena bahagia.
"Serius kamu akan mempercayakan perusahaan pada Gilang?" Tanya Mama Ambar.
"Tentu saja, karena dia suamiku."
"Lihat perutku sudah sangat besar, bulan ini usianya 6 bulan. Tinggal 3 bulan lagi, aku akan melahirkan pewaris seluruh kekayaanku. Tapi sampai dia cukup dewasa, perusahaan akan dikelola oleh Papanya. Sedangkan aku sebagai Mamanya tentu saja di rumah saja, karena tugasku adalah menjadi madrasah pertama bagi anak-anakku." Ucap Anye.
"Apa tidak kecepatan, tanda tangan sekarang Anye?" Tanya Gilang curiga.
"Kamu pikir perusahaanku tidak ada dewan direksi dan pemegang saham? Aku harus meyakinkan mereka semua, jika kamu memang pantas menggantikanku. Dan itu butuh proses lama. Sudahlah kalau kamu tidak mau. Aku juga tidak akan rugi. Lebih baik aku ke kantor."
Anye beranjak, dan pura-pura ingin meninggalkan rumah seperti kemarin.
"Tunggu sebentar Anye, Gilang kamu itu jangan buat istrimu marah. Sudah bagus Anye percaya padamu." Ucap Mama Ambar sesuai rencana.
"Baiklah Anye, ayo ke ruang kerjamu. Berkas mana saja yang harus aku tanda tangani." Ucap Gilang menatap dalam wajah istrinya.
Sementara itu, Gina sedang membuatkan secangkir kopi susu untuk Arrayan. Kopi yang sudah dicampur obat perang sang dosis tinggi tentunya. Sambil mengelus perutnya yang masih rata, Gina menyeringai memasuki kamar.
"Mas Rayan, kamu pasti sudah lelah selama ini sibuk kerja. Aku sudah buatkan kopi kesukaanmu di atas meja." Ucap Gina.