NovelToon NovelToon
Kebangkitan Zahira

Kebangkitan Zahira

Status: tamat
Genre:Wanita Karir / Pelakor jahat / Cinta Lansia / Tamat
Popularitas:498.4k
Nilai: 4.9
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

pernikahan selama 20 tahun ternyata hanya jadi persimpangan
hendro ternyata lebih memilih Ratna cinta masa lalunya
parahnya Ratna di dukung oleh rini ibu nya hendro serta angga dan anggi anak mereka ikut mendukung perceraian hendro dan Zahira
Zahira wanita cerdas banyak akal,
tapi dia taat sama suami
setelah lihat hendro selingkuh
maka hendro sudah menetapkan lawan yang salah
mari kita saksikan kebangkitan Zahira
dan kebangkrutan hendro

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KZ 16

Adit bersiap pulang pagi itu.

Di teras rumah, Zahira, Edi, Yusni, Zaenab, dan Zahid berdiri berjejer, seolah enggan melepas kepergiannya. Suasana terasa akrab, nyaris seperti melepas anak sendiri yang merantau jauh.

Di samping motor Adit, dua karung besar tergeletak siap diangkut: satu berisi dukuh dan singkong, satunya lagi penuh rambutan merah segar hasil panen Zaenab.

Zahira tak bisa menahan senyum geli. Dalam hati ia bergumam,

“Nasib orang memang tak bisa ditebak. Dulu dia dokter arogan yang nyaris tak bisa disentuh… sekarang? Jadi ojek online dan pembawa paket sekaligus.”

“Dok, kalau rame di jalan, bagi-bagi rambutan ya,” celetuk Zahid, membuat semua orang tertawa.

Adit hanya geleng-geleng kepala, tapi bibirnya tersenyum lebar.

“Bukan pasien yang bawel, sekarang emak-emak kebun yang titipannya nggak habis-habis,” ucapnya sambil menaikkan karung ke jok belakang.

“Saya kayak kurir bawa paket begini, Bu,” celetuk Adit sambil menatap dua karung besar yang nyaris menutupi motor bebeknya.

Yusni tersenyum tulus, wajahnya penuh keibuan. “Hanya itu yang bisa Ibu kasih, Nak Adit. Jangan bosan ya main ke sini lagi.”

“Iya, Pak Dokter jangan sungkan main. Di sini juga ada JAKI, loh,” timpal Zahid sambil menyenggol lengan Adit.

“JAKI? Apaan tuh?” tanya Adit bingung.

“Janda Kinclong,” jawab Zahid cepat, wajahnya penuh cengiran jail.

Zahira langsung melotot ke arah adiknya. “Zahid!”

Zahid buru-buru bersembunyi di balik tubuh Yusni sambil berseru, “Tuh, Mak, Kakak galak!”

Tawa pun pecah di teras rumah itu. Bahkan Adit sampai menunduk, menahan geli.

Adit akhirnya benar-benar berpamitan. Ia melaju pelan di jalan desa, diiringi lambaian tangan dan canda tawa dari keluarga Zahira.

Di balik tawa itu, Zahira merenung—dulu Hendro dan anak-anaknya pernah berkunjung ke rumah ini, tapi tak pernah sehangat dan seakrab ini.

Yang datang dan pergi bisa saja sama, tapi perasaan yang tertinggal… jelas berbeda.

Zahira melangkah masuk ke kamar dengan langkah pelan. Di balik pintu, udara sejuk bercampur aroma kenangan menyeruak, seolah kamar itu masih menyimpan bayangan dirinya yang dulu.

Ia membuka lemari kecil di sudut ruangan. Tangannya terhenti di sebuah album foto tua. Zahira duduk di tepi ranjang, membukanya perlahan.

Lembar demi lembar memperlihatkan senyumnya di masa lalu—dari SD hingga SMA, selalu berdiri di podium juara. Ada juga foto-foto saat ia membacakan puisi di panggung kecil desa, dengan mikrofon reyot dan kertas puisi yang sudah lusuh.

Air mata menetes tanpa permisi. Zahira memeluk album itu erat, lalu mengeratkan kepalan tangan.

Ia mengambil sebuah buku catatan kosong dan bolpoin dari laci. Di halaman pertama, ia menuliskan satu per satu hal yang ingin ia lakukan:

– Menulis kembali

– Membuat buku kumpulan puisi

– Mencari komunitas penulis

– Bangkit, bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk diri sendiri

Lalu ia menulis puisi—tulisan pertamanya setelah sekian tahun:

"Rajutan Baru"

Terlalu lama aku diam dalam badai,

Mengalah demi cinta yang tak pernah utuh.

Kini aku berdiri, walau dengan luka.

Mimpiku tak mati—hanya tertidur.

Waktu mengajarkanku satu hal:

Jangan berkabung di atas abu impian,

Tapi bakarlah masa lalu yang kelam

Agar terang masa depan lahir dari nyala keberanian.

Zahira menatap tulisan itu dalam-dalam. Tangannya gemetar, tapi bukan karena takut.

Itu getaran dari keberanian yang perlahan kembali hidup.

“Sekarang, aku akan menjahit kembali hidupku… dengan benang yang kupilih sendiri,” gumamnya pelan.

Hal pertama yang ingin dilakukan Zahira adalah menulis cerpen. Maka, yang pertama ia butuhkan hanyalah kertas HVS dan bolpoin. Zahira tersenyum kecut—bahkan untuk membeli bolpoin pun, dia sudah kehabisan uang.

Ia keluar dari kamar dengan langkah pelan, lalu melangkah ke luar rumah. Tujuannya jelas: meminjam uang ke Zaenab, adik perempuannya.

Saat Zahira masuk ke rumah Zaenab, ia mendapati adiknya sedang duduk di ruang tengah, menatap layar ponsel dengan senyum kecil di wajah. Anak Zaenab sudah tertidur, masih berusia dua tahun. Sementara suaminya sedang merantau ke kota, hanya pulang sebulan sekali.

“Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?” tanya Zahira sambil mendekat.

Zaenab menoleh, meletakkan ponselnya. “Ini, Ka. Aku lagi baca cerita online,” jawabnya ringan.

Zahira diam sejenak. Istilah-istilah zaman sekarang terasa asing di telinganya.

“Ada apa, Ka?” tanya Zaenab sambil mendekat, menyadari ada yang ingin disampaikan kakaknya.

“Aku mau pinjam uang, buat beli kertas HVS dan bolpoin,” ucap Zahira sambil menatap wajah adiknya.

Zaenab mengernyit. “Buat apa, Ka? Mau sekolah lagi, atau mau ngelamar kerja?”

“Kakak mau nulis cerpen lagi, kayak dulu,” jawab Zahira, tenang tapi penuh harap.

“Kakak mau nulis di kertas, terus dikirim lewat kantor pos, pakai perangko, habis itu nunggu dimuat di majalah, gitu?” Zaenab terkekeh, menahan tawa.

Zahira menghela napas pelan. “Kenapa? Ada yang lucu ya?” tanyanya, tak sepenuhnya mengerti dunia yang berubah cepat.

"Kakak punya HP Android?" tanya Zaenab, bukannya menjawab pertanyaan Zahira, justru balik bertanya dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.

“Lihat HP kakak, masih setia dengan model lama,” jawab Zahira sambil menunjukkan ponsel lamanya, ponsel legendaris Nokia 3310.

Bagaikan melihat barang antik, Zaenab membolak-balik ponsel itu dengan rasa heran dan takjub.

“Kenapa sih kamu?” tanya Zahira dengan alis sedikit terangkat, bingung melihat reaksi Zaenab.

“Ka, sekarang tahun 2022, bukan tahun 2002. Kenapa Kakak masih punya ponsel legendaris ini? Apa Kakak nggak punya ponsel kayak punyaku ini?” ucap Zaenab sambil menunjuk ponselnya.

“Sudahlah, jangan meledek. Ponsel ini lebih tua dari usia pernikahanku,” jawab Zahira sambil tersenyum getir.

“Sudah, jangan meledek terus. Sekarang aku perlu bantuan kamu,” ucap Zahira dengan nada serius namun tetap lembut.

“Ka, sekarang sudah nggak zamannya lagi bikin cerita pakai tulis tangan, kirim lewat pos, terus Kakak nunggu tulisan itu terbit,” ucap Zaenab dengan nada santai sambil terkekeh dan jelas itu adalah sindiran

“Terus sekarang sudah nggak ada dong yang jadi penulis? Pantas saja aku kesusahan nyari koran bekas sekarang,” ucap Zahira dengan nada setengah bercanda, tapi matanya tampak sedih.

“Sekarang justru orang yang jadi penulis semakin banyak, Ka. Bahkan banyak yang dibayar mahal, dan cerita-ceritanya dijadikan novel online,” ucap Zaenab antusias.

“Siapa bilang mudah jadi seperti J.K. Rowling atau Mira W.? Tapi aku nggak pernah dengar ya ada novel dijadikan film. Dulu sempat ramai film Laskar Pelangi, Angina cuma lihat cuplikannya di TV. Aku sendiri cuma bisa nonton TV satu jam setiap hari,” ucap Zahira pelan, suaranya penuh kegetiran.

Wajah Zaenab penuh keterkejutan. Kakaknya yang dulu selalu terdepan dalam dunia literasi, kini justru tampak paling terbelakang, seolah tertinggal oleh zaman..

“Kenapa kamu melihat aku seperti itu?” tanya Zahira, merasa tatapan Zaenab seperti menembus hatinya yang rapuh.

“Ka, hari ini semua pekerjaan menulis dilakukan oleh benda ini,” ucap Zaenab sambil menunjuk ponselnya, seolah menunjukkan kunci dunia baru yang belum dijamah kakaknya.

“Sekarang jadi penulis itu gampang, Ka. Nggak usah banyak modal, cukup pakai ponsel ini saja. Tulisan Kakak langsung dinilai layak atau nggak, nggak perlu nunggu berminggu-minggu. Dalam hitungan jam, kita sudah tahu tulisan kita bisa terbit atau tidak,” ucap Zaenab menjelaskan dengan semangat.

“Secepat itu?” ucap Zahira nyaris tak percaya. Matanya membulat, napasnya tertahan, seolah baru tersadar bahwa dunia telah bergerak jauh tanpa menunggunya.

“Iya, secepat itu. Dan Kakak nggak usah pakai bolpoin atau kertas,” ucap Zaenab sambil tersenyum.

“Kenapa?” tanya Zahira polos.

“Karena nggak akan ada yang nerimanya,” jawab Zaenab sambil terkekeh.

“Yah… peluangku untuk jadi penulis tertutup dong,” ucap Zahira, suaranya pelan, nyaris putus asa.

Zaenab menatap kakaknya sejenak, lalu berdiri dan berjalan ke luar rumah.

“Awas, jangan kabur. Jangan ke mana-mana. Jagain anakku dulu,” ucap Zaenab sambil melangkah pergi.

1
N Wage
novel keren...walau ada typo2nya dan detil2 kecil yg hilang .
N Wage
itu si ratna metongkah???
Nisa Nisa
🤣🤣🤣🤣🤣
Nisa Nisa
sdh sakaratulmaut masih juga gk ada tobatnya ni perempuan laknat. Itu menantu pilihanmu mana ada datang menengok mu apalgi merawatmu.
Nisa Nisa
masih bisa merasa geli?? bukan rasa bersalah, luar biasa kamu Zahira
Nisa Nisa
Betul betul gk ada akhlak. Minta tolong sambil marah marah terus ditolongin dan di abaikan orang yg menolong.
Zahira benar-benar beruntung punya keluarga spt ibu Bpk dan adik2nya tambah beruntung punya pria yg mencintainya spt Adit. Padahal Zahira begitu bodoh dan gk ada ahlak
Nisa Nisa
msh mau menyalahkan mereka lagi ??
Nisa Nisa
mana dibungkus rapi senyuman. Bukankah kamu cuma jadi babu mereka, kamu aja yg bodoh.
Nisa Nisa
gk heran sih dgn ibunya saja mereka durhaka. Bgmpun sebagai ibu kamu jg gagal mendidik anak-anak mu. Membiarkan mereka di didk mertua, suami dan Ratna.
Nisa Nisa
Dasar Zahira bodoh, 17 th usia anaknya berarti 17 th juga ibu bapak dan saudaranya menyimpan luka dan dia sama sekali gk peka. Malah menuduh adik2nya sinis padanya krn dia menikah dgn orang kota yg kaya. Hatimu Zahira yg ada sombong, bukan adikmu yg iri. Mereka menyimpan luka demi menjaga rumah tanggamu.
N Wage
sepertinya tgl.15 juli 2007 deh.bukan tgl 17.
Nisa Nisa
salah paham lagi Zahira terhadap saudaranya, Zahid senang akhirnya kakaknya berhenti dari kebodohannya selama ini. itu sebabnya dia begitu senang.
Yati Syahira
kejahatan pengkhianat dibalas tuanai hendro nikmato hasilmu
Yati Syahira
bagus di jadiin ladang uang anggi sama vino dijual
Yati Syahira
hendro dajjal pantes angga anggi kaya setan kelakuanya
Yati Syahira
romlah senjata peluru masuk kemulutmu
Yati Syahira
sukurlah anakanya jdi dajjal seperti bpak dan neneknya
Yati Syahira
kho ini alur ceritanya anak anaknya dibikin durhaka sama ibunya
Nisa Nisa
setelah jatuh tersungkur kemana tempat pulang?? le orang tua. susah baru ke orang tua itu jg bentuk kedurhakaan
Nisa Nisa
Baru sadar kamu. orangtua tdk perlu memberikan sumpah serapah pada anaknya, cukup merasa sakit hati dlm diam percayalah hidup anaknya tdk akan tenang dan bajagia
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!