Jae Hyun—seorang CEO dingin dan penuh perhitungan—menikahi Riin, seorang penulis baru yang kariernya baru saja dimulai. Awalnya, itu hanya pernikahan kontrak. Namun, tanpa disadari, mereka jatuh cinta.
Saat Jae Hyun dan Riin akhirnya ingin menjalani pernikahan mereka dengan sungguh-sungguh, masa lalu datang mengusik. Youn Jung, cinta pertama Jae Hyun, kembali setelah pertunangannya kandas. Dengan status pernikahan Jae Hyun yang belum diumumkan ke publik, Youn Jung berharap bisa mengisi kembali tempat di sisi pria itu.
Di saat Jae Hyun terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya, Riin mulai mempertanyakan posisinya dalam pernikahan ini. Dan ketika Seon Ho, pria yang selalu ada untuknya, mulai menunjukkan perhatian lebih, Riin dihadapkan pada pilihan: bertahan atau melepaskan.
Saat rahasia dan perasaan mulai terungkap, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang harus melepaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Distance You Created
Di Rumah Sakit, suasana terasa lebih tenang dibanding beberapa jam sebelumnya. Aroma antiseptik khas bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan.
Di dalam kamar VIP, Ny. Hana duduk di kursi di samping ranjang, menatap suaminya yang masih terbaring lemah dengan wajah yang tampak lebih pucat dari biasanya. Selang infus terpasang di lengannya, dan suara alat medis yang berbunyi lembut menjadi latar belakang keheningan di ruangan itu.
Jae Hyun berdiri di dekat jendela, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Ia menatap ke luar, memperhatikan kota Seoul yang sibuk di siang hari. Dalam pikirannya, ada banyak hal yang harus dipikirkan_perusahaannya, kesehatan ayahnya, dan Riin.
Ny. Hana menghela napas, mencoba mengurangi ketegangan di dadanya sebelum akhirnya bersuara.
"Jae Hyun~a, dengan kondisi ayahmu saat ini, rasanya tidak mungkin dia mengelola bisnisnya sendiri. Bahkan sekalipun dia telah pulih nantinya, dia harus tetap berhati-hati," ucapnya dengan nada lembut namun penuh kekhawatiran. Pandangannya tetap tertuju pada suaminya.
Jae Hyun mengalihkan tatapannya dari jendela, berbalik menghadap ibunya. Mata tajamnya yang biasanya penuh perhitungan kini tampak sedikit melunak.
"Aku mengerti," jawabnya pelan. "Aku akan berusaha semampuku untuk menggantikan posisi Appa sementara waktu."
Ny. Hana menatapnya dengan sorot ragu. "Apa kau yakin? Perusahaanmu sendiri pun sudah cukup sibuk. Tidak mudah mengelola dua bisnis besar sekaligus."
"Mungkin akan sulit, tapi aku yakin bisa membagi waktu antara keduanya," ujar Jae Hyun, nada bicaranya tenang namun penuh keyakinan. "Lagipula, dulu Appa sudah mengajariku bagaimana menangani perusahaannya. Ini bukan sesuatu yang baru bagiku."
Ibunya mengamati wajah putranya dalam diam. Ia tahu betapa keras kepalanya Jae Hyun jika sudah mengambil keputusan. Lagipula, putranya bukan tipe pria yang akan mundur dari tanggung jawab.
Setelah beberapa saat, ia akhirnya mengangguk kecil. "Baiklah. Aku percaya padamu."
Sejenak, keheningan kembali menyelimuti ruangan, hanya diiringi suara mesin pemantau detak jantung yang berdetak stabil.
Ny. Hana kembali bersuara, kali ini dengan nada lebih ringan. "Oh iya, semalam Riin tidak marah saat kau pulang larut kan?"
Jae Hyun terdiam sejenak sebelum sudut bibirnya terangkat tipis. Ia menggeleng pelan. "Tidak. Dia istri yang penuh pengertian," jawabnya, suaranya terdengar lebih lembut dibanding biasanya. "Hanya saja... aku belum memberitahunya soal kondisi Appa."
Ekspresi Ny. Hana berubah sedikit terkejut. "Kenapa?" tanyanya, alisnya mengerut.
Jae Hyun menghela napas pelan. "Beberapa hari ini kondisi kesehatannya juga nampak kurang baik," jelasnya. "Ia sering mengeluh sakit pinggang dan punggung, perutnya juga kram, dan aku melihatnya lebih mudah lelah dibanding biasanya. Aku tidak ingin menambah beban pikirannya."
Mata Ny. Hana menghangat mendengar bagaimana putranya yang begitu memperhatikan istrinya. Ada sedikit senyum bangga di wajahnya.
"Kau benar," ucapnya lembut. "Kalau begitu, kau juga jangan sampai mengesampingkan perhatian untuknya. Jaga baik-baik menantuku itu, kau tak akan bisa menemukan wanita sebaik dirinya lagi."
Jae Hyun tersenyum tipis, tapi ada sesuatu di matanya_perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ia tahu betul bahwa ia tidak ingin kehilangan Riin, meskipun masih ada bagian dalam dirinya yang terikat oleh masa lalunya dengan Youn Jung.
"Tentu saja," gumamnya pelan. "Aku juga tak ingin kehilangannya, Eomma."
Ny. Hana tersenyum kecil. Ia bisa melihatnya_Jae Hyun mungkin belum menyadari sepenuhnya, tapi ia telah jatuh cinta pada Riin lebih dalam dari yang ia kira.
***
Jae Hyun baru saja melangkah masuk ke dalam lobi, setelan jas abu tuanya tampak sempurna tanpa cela. Ia menoleh sekilas, pandangannya tertuju pada dua sosok yang berdiri tidak jauh darinya.
Riin dan Seon Ho.
Mereka berdua tampak seperti baru saja selesai dari makan siang bersama_tertawa kecil, berdiri terlalu dekat. Dan entah kenapa, meskipun Jae Hyun tahu betul siapa dirinya dalam hidup Riin, pemandangan itu tetap menciptakan sensasi perih yang menusuk tak beralasan di dadanya.
Langkahnya terhenti sejenak. Pandangan Jae Hyun menjadi lebih tajam, nyaris tak terbaca, tapi sorot matanya dingin dan tak menyenangkan. Riin sempat membuka mulut, bersiap memberi penjelasan_meski tak ada kesalahan yang benar-benar terjadi.
Namun, Jae Hyun tidak memberinya kesempatan.
Tanpa sepatah kata pun, pria itu hanya mengalihkan pandangannya dan melanjutkan langkah ke ruang kerjanya. Tegas, cepat, dan jelas-jelas menghindari konfrontasi. Atau… mungkin menahan diri dari ledakan emosi yang belum tentu bisa dikendalikan.
Suasana di sekitar mereka membeku sejenak.
Riin terpaku di tempat, senyum yang semula hangat di wajahnya memudar perlahan. Ia tahu suaminya mungkin tertekan oleh banyak pekerjaan. Tapi tetap saja_tatapan itu terlalu dingin. Terlalu asing.
Di sebelahnya, Seon Ho langsung menangkap perubahan ekspresi Riin. Mata pria itu yang tenang kini tampak lebih gelap, seperti menyimpan pertanyaan yang tak bisa ia lontarkan.
"Riin-ssi, kau baik-baik saja?" tanyanya hati-hati, lembut, dengan nada suara yang penuh perhatian. "Kalau kau mau, aku bisa menjelaskan situasinya pada Sajangnim. Aku tidak ingin dia salah paham."
Riin menggeleng cepat sambil memaksakan senyum. "Tidak perlu. Dia... dia hanya sedang sibuk. Aku juga harus segera menemuinya. Ini tentang pekerjaan."
Seon Ho menatapnya beberapa detik lebih lama, seolah mencoba membaca isi hatinya. Tapi ketika Riin menunduk sedikit dan merapikan pakaiannya dengan gugup, ia tahu_ini bukan hanya soal pekerjaan.
"Kalau begitu… temui aku kalau kau butuh sesuatu," ucap Seon Ho dengan nada tulus.
***
Riin masuk setelah mendapat persetujuan. Langkahnya pelan, gugup, seolah baru pertama kali bertemu pria yang kini duduk di balik meja besar kayu hitam itu.
Jae Hyun tidak menatapnya. Ia hanya menunjuk kursi di hadapannya dengan gerakan singkat. "Duduklah." perintah Jae Hyun. Suaranya pendek, dingin, dan asing.
Tak ada pelukan. Tak ada senyum seperti biasanya saat mereka hanya berdua. Tak ada sapaan manis. Hanya jarak.
Riin menarik napas pelan sebelum duduk. Ia menatap wajah pria itu_mencari isyarat familiar. Tapi yang ia temukan hanya ekspresi kaku dan mata yang nyaris tak mengenalinya.
“Kudengar dari Sekretaris Shin, tadi kau mencariku untuk menanyakan sesuatu. Soal apa?”
Nada bicara Jae Hyun seperti pengacara yang sedang menginterogasi saksi.
Riin meremas jari-jarinya di atas pangkuan. “Ini tentang proyek terjemahan materi pemasaran. Aku menemukan beberapa inkonsistensi data, dan... aku ingin memastikan_sebelum membuat kesalahan.”
Jae Hyun mengambil berkas yang disodorkan Riin. Tatapannya menyisir kata demi kata dengan cepat dan presisi. Lalu, ia menghela napas tajam.
“Seorang penulis dan penerjemah profesional seperti kau bahkan tidak bisa menyelesaikan hal sesederhana ini?” katanya tajam. “Riin, ini bukan standar kerjamu.”
Riin tersentak. “Aku tahu, itu sebabnya aku memutuskan untuk bertanya langsung padamu_agar tidak salah langkah.”
“Pertanyaan seperti ini bisa kau ajukan pada rekan kerjamu. Tak perlu selalu padaku,” jawab Jae Hyun ketus, matanya tetap tertuju pada kertas. “Kau bahkan melakukan kesalahan mendasar. Apa setelah bukumu terbit, kau merasa bisa menyepelekan hal lain?”
Perasaan asing dan luka dalam kata-kata itu membuat dada Riin nyeri. Ia mencoba tetap tenang.
“Maaf, aku memang ceroboh. Tapi kau tidak perlu sekasar itu. Cukup tunjukkan bagian yang salah, dan aku akan memperbaikinya.”
Namun nada Jae Hyun naik, emosinya meledak, tidak seperti biasanya. “Apa?! Kau pikir aku punya waktu untuk mengurusi kesalahanmu terus-menerus?! Sekalipun aku suamimu, bukan berarti kau bisa bersandar padaku untuk hal sekecil ini. Ini kantor, Riin. Bertindaklah profesional!”
Kata-kata itu seperti cambuk. Tegas. Menyakitkan. Dan terkesan tidak adil. Riin menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. Ia berdiri perlahan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu. Aku juga tidak pernah memintamu untuk memperlakukanku dengan spesial disini. Tapi mungkin kau benar, aku memang salah. Maaf sudah mengganggu, Sajangnim."
Ia membungkuk_bukan sebagai istri_tapi sebagai bawahan yang ditolak oleh atasannya. Lalu ia pergi, cepat, sebelum air mata sempat tumpah di hadapannya.
***
Riin melangkah cepat keluar dari ruang kerja. Nafasnya tidak teratur, matanya basah. Ia tidak tahu harus ke mana, hanya tahu bahwa ia harus menjauh.
Seon Ho yang kebetulan baru keluar dari ruangannya, langsung melihatnya. Tanpa pikir panjang, ia mengejarnya.
“Riin-ssi!” panggilnya pelan, tapi penuh kekhawatiran. “Apa yang terjadi? Dia… dia bicara kasar padamu, ya?”
Riin tidak menjawab. Ia hanya menggeleng, buru-buru menyeka air matanya.
Seon Ho mendekat, menahan bahunya dengan hati-hati. “Kalau kau tidak nyaman berada di sini… ayo kita pergi sebentar. Aku rasa, kau butuh udara segar.”
Riin hanya mengangguk pelan. Kepalanya berat, pikirannya berkabut. Perutnya kembali terasa nyeri, dan tubuhnya lemas.
Dan di ruang kerja yang sunyi, Jae Hyun duduk membeku di balik mejanya.
Tangannya mengepal. Matanya kosong menatap kertas yang kini tak ada artinya. Ia memejamkan mata, mencoba meredam emosi yang meledak tanpa kendali.
Ia tahu ia salah.
Ia tahu Riin sedang tidak dalam kondisi baik. Ia tahu Riin tidak pantas mendapatkan perlakuan barusan. Tapi beban dari ayahnya, tanggung jawab perusahaan ganda, kecemburuan yang tak ia akui… dan perasaan bersalah karena masih memikirkan Youn Jung, membuat semua emosinya tumpah secara keliru.
***