NovelToon NovelToon
Generasi Gagal Paham

Generasi Gagal Paham

Status: sedang berlangsung
Genre:Sci-Fi / Anak Genius / Murid Genius / Teen School/College
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.

Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?

Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.

Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 35 Masalah Itu Bernama Reputasi

SMA Garuda kembali menjadi topik hangat di media sosial. Setelah video Nala dan podcast mereka yang viral, reputasi sekolah yang dulu dikenal ketat, disiplin, dan unggul akademik, kini mulai terguncang. Para guru mulai resah, kepala sekolah makin sering dipanggil ke dinas, dan siswa-siswi pun ikut terkena dampaknya.

Hari itu, suasana ruang guru lebih tegang dari biasanya. Bu Endah, guru BK, duduk sambil menatap layar laptopnya dengan kening berkerut. Pak Taufik, guru matematika, melipat koran pagi yang memuat berita tentang "Remaja Pembangkang di Sekolah Unggulan." Judulnya membuat darah naik ke kepala.

"Kalian tahu nggak, berita ini makin menjatuhkan nama baik sekolah kita," ucap Pak Taufik dengan nada tinggi. "Dan semua ini gara-gara anak-anak itu."

Bu Endah mencoba menenangkan, "Pak Taufik, mungkin kita bisa bicara dulu baik-baik. Saya rasa, mereka bukan ingin menjatuhkan sekolah. Mereka hanya... merasa tidak didengar."

"Itu bukan alasan untuk membawa masalah internal ke publik," potong Pak Taufik tajam.

Sementara itu, di luar ruang guru, Nala, Dita, Juno, dan Raka berjalan melewati koridor yang kini penuh bisik-bisik. Beberapa siswa memandang mereka dengan rasa kagum, tapi tak sedikit pula yang menghindar, takut terseret masalah.

"Gue capek banget, sumpah," gumam Dita. "Gue pikir setelah kita speak up, semuanya bakal lebih baik."

"Justru makin ribet," sahut Juno sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding.

"Tapi kita nggak bisa mundur sekarang. Ini bukan cuma tentang kita, ini tentang semua yang selama ini ngerasa dikekang tapi nggak punya suara," tegas Nala.

Raka memandang mereka bertiga. "Tapi kita juga nggak bisa naif. Reputasi sekolah itu aset buat mereka. Kita dianggap ancaman."

Hari itu mereka dipanggil ke ruang kepala sekolah. Kali ini bukan hanya kepala sekolah yang hadir, tapi juga perwakilan dari dinas pendidikan.

"Kami sudah cukup sabar," kata Kepala Sekolah Pak Dimas dengan suara yang ditahan. "Tapi kalian harus tahu, apa yang kalian lakukan telah merusak nama baik sekolah ini."

"Dengan segala hormat, Pak," jawab Nala tegas. "Kami tidak bermaksud merusak. Kami hanya menyampaikan kenyataan."

Perwakilan dari dinas, seorang pria paruh baya dengan jas abu-abu, menatap mereka satu per satu. "Kalian masih muda. Kadang merasa tahu segalanya. Tapi dunia tidak bekerja seperti idealisme kalian. Reputasi sekolah ini bukan hanya milik kepala sekolah, tapi tanggung jawab semua pihak."

Dita mengangkat tangan. "Lalu, bagaimana dengan tanggung jawab pada kami sebagai siswa? Apa suara kami tidak penting?"

Pria itu tersenyum tipis. "Penting. Tapi ada jalurnya. Ada batasnya."

Setelah pertemuan itu, keempat sahabat itu keluar dari ruangan dengan hati campur aduk. Mereka sadar, melawan sistem bukan perkara sederhana. Mereka bukan hanya melawan aturan, tapi juga melawan ketakutan orang-orang dewasa yang tak mau nama baik mereka tercoreng.

"Kita perlu strategi baru," ucap Raka pelan.

"Podcast kita udah nggak cukup," tambah Juno. "Mereka udah mulai nutup telinga."

Nala menatap ke kejauhan, ke arah lapangan sekolah yang kosong. "Kalau suara kita nggak bisa mereka dengar lewat kata-kata, mungkin... kita harus berbicara lewat tindakan."

Malam itu, mereka berkumpul di rumah Dita. Laptop terbuka, kertas-kertas berserakan di meja. Mereka membuat peta masalah: sistem pendidikan yang kaku, guru yang tidak mendengar, peraturan yang mengekang, dan reputasi yang lebih penting dari kebenaran.

"Apa kita mau buat semacam gerakan?" tanya Dita.

"Gerakan diam yang nggak bisa mereka abaikan," kata Juno.

"Kita bisa mulai dengan menyebarkan pesan lewat poster. Bukan sekadar protes, tapi ajakan berpikir," usul Raka.

Nala mengangguk. "Kalau reputasi yang mereka jaga, kita kasih cermin. Biar mereka lihat, apa yang selama ini mereka pertahankan."

Dan malam itu, rencana aksi dimulai. Mereka tidak tahu apakah ini akan berhasil. Tapi satu hal pasti: mereka tidak akan diam.

1
Ridhi Fadil
keren banget serasa dibawa kedunia suara pelajar beneran😖😖😖
Ridhi Fadil
keren pak lanjutkan😭😭😭
Irhamul Fikri: siap, udah di lanjutin tuh🙏😁
total 1 replies
ISTRINYA GANTARA
Ceritanya related banget sama generasi muda jaman now... Pak, Bapak author guru yaaa...?
Irhamul Fikri: siap, boleh kak
ISTRINYA GANTARA: Bahasanya rapi bgt.... terkesan mengalir dan mudah dipahami pun.... izin ngikutin gaya bahasanya saja.... soalnya cerita Pasha juga kebanyakan remaja....
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!